close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan napi koruptor kasus jual beli jabatan di Kemenag, M. Romahurmuziy, kembali ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dokumentasi PPP
icon caption
Mantan napi koruptor kasus jual beli jabatan di Kemenag, M. Romahurmuziy, kembali ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dokumentasi PPP
Politik
Sabtu, 05 Februari 2022 14:50

Kembali berpolitik, bekas napi koruptor bikin partai dilema

Setidaknya ada tiga bekas napi koruptor yang kembali berpolitik melalui partai sebelumnya.
swipe

Sejumlah politikus yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi kembali berkiprah di partai politiknya. Setidaknya ada tiga nama, salah satunya bekas Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M. Romahurmuziy.

Rommy, sapaannya, kedapatan mengikuti acara partai, tepatnya Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PPP DIY di Bantul, pada Senin (31/1). Dia bahkan mendapatkan tempat khusus pada acara itu lantaran duduk di baris depan.

Kemudian, Andi Mallarangeng. Selepas menjalani masa hukuman, dirinya kembali aktif ke Partai Demokrat bahkan menjadi Sekretaris Majelis Tinggi dan kerap muncul mewakili partainya.

Pun demikian dengan M. Nazaruddin. Kembali ke Partai Demokrat setelah bebas, tetapi dirinya berada di kubu Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko.

Menurut pengamat politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, kembalinya mantan napi koruptor ke politik dilematis bagi partai politik. Pangkalnya, dinilai menoleransi perilaku koruptif saat menerima kembali kadernya itu.

"Partai politik seperti ini seolah menentang amanah reformasi yang anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," ucapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/2).

Partai politik tersebut, menurut Jamiluddin, juga bakal masih tergantung kepada kader bekas napi koruptor itu. Akibatnya, publik akan mempersepsikan partai gagal dalam kaderisasi.

Di sisi lain, tambahnya, partai politik mesti menghormati hak politik kadernya. Meskipun mantan napi koruptor, tetapi tetap memiliki hak untuk masuk partai politik. 

"Karena itu, partai politik akan merasa bersalah bila menolak kadernya kembali ke 'kandangnya' untuk berpolitik. Setidaknya partai politik tersebut akan merasa melanggar HAM kadernya untuk berpolitik," tuturnya.

Meskipun demikian, Jamiluddin meminta para mantan napi koruptor memahami dilema partai ini dan disarankan tidak terlalu aktif. "Agar masyarakat tidak memvonis partainya mentolerir perilaku koruptif."

"Kecenderungan itu tampaknya belum dimiliki para mantan napi koruptif. Mereka lebih mementingkan ambisi pribadi daripada dampak negatif ke partainya," tutup dia.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan