Pilkada Serentak 2024 diwarnai kemenangan kotak kosong. Dari total 37 daerah yang pilkadanya hanya diikuti satu pasang calon, kotak kosong setidaknya menang di dua daerah, yakni pada Pemilihan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Pangkalpinang dan Pilbup Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.
Di Pilwalkot Pangkalpinang, pasangan Maulan Aklil (Mole) dan Masagus M Hakim hanya meraup 35.177 suara atau 41%. Kotak kosong mendominasi 48.528 suara atau 57,98%. Di Pilbup Bangka, kotak kosong menekuk pasangan tunggal Mulkan-Ramadian dengan raihan 57,25% berbanding 42,75%.
Adapun di Pilwalkot Banjarbaru, suara tidak sah mendominasi. Hasil hitung-hitungan Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi (GMPD) Banjarbaru, perolehan suara tidak sah di Pilkada Banjarbaru mencapai 78.807 suara atau 68,6%. Berstatus sebagai paslon tunggal, Erna Lisa Halaby dan Wartono (Lisa-Wartono) hanya meraup 36.113 suara atau 31,4%.
Lisa-Wartono mendadak menjadi paslon tunggal setelah KPU Kota Banjarbaru membatalkan pencalonan pasangan Muhammad Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah (Ariffin-Said) jelang pencoblosan. Meski begitu, foto Aditya-Said masih terpampang di kotak suara. KPU berdalih belum sempat mengganti foto Aditya-Said dengan gambar kotak kosong.
Meskipun didiskualifikasi, sebagian besar warga Banjarbaru yang masih mencoblos gambar Aditya-Said di surat suara. Sesuai aturan, surat suara semacam itu dianggap sebagai suara tidak sah. Selain itu, ada pula warga yang marah pasangan jagoannya didiskualifikasi dengan merusak surat suara.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai kemenangan kotak kosong menandakan kekecewaan publik terhadap para kandidat yang dihadirkan parpol sebagai calon kepala daerah. Kandidat yang dimunculkan dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat setempat.
"Dalam banyak kasus, aspirasi lokal ini seperti 'dibegal' dan calonnya terlihat sudah ditentukan oleh elite politik atas nama koalisi besar. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, 'Ngapain saya memilih kalau calon yang membawa aspirasi saya ternyata tidak mendapat tiket?'" ujar Adib kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Selain diwarnai kemenangan kotak kosong, Pilkada Serentak 2024 juga ditandai dengan rendahnya partisipasi publik untuk mencoblos. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, rata-rata partisipasi publik di Pilkada Serentak 2024 tak sampai 70%.
Adib berpendapat rendahnya partisipasi publik turut dipengaruhi pilihan paslon yang dihadirkan parpol atau koalisi parpol. Calon yang ditentukan elite, kata dia, umumnya adalah mereka yang memiliki jaringan politik kuat di tingkat pusat, tetapi tidak punya "akar" di daerah.
"Kondisi ini membuat militansi di akar rumput menjadi lemah, sehingga masyarakat merasa malas atau enggan untuk memilih. Selain itu, masyarakat juga jengah terhadap polarisasi yang begitu kuat, terutama saat pilpres. Banyak yang sudah lelah dan akhirnya kehilangan semangat untuk berpartisipasi," tuturnya.
Publik, kata Adib, menginginkan tokoh-tokoh dengan rekam jejak yang jelas. Kandidat yang dihadirkan sudah semestinya merupakan tokoh-tokoh yang sudah dikenal di akar rumput dan paham hal-hal apa saja yang dibutuhkan warga setempat.
"Itulah yang disebut politik rekam jejak. Namun, elite politik justru seolah-olah memaksakan politik instan. Tokoh yang tidak dikenal tiba-tiba muncul begitu saja tanpa latar belakang yang jelas. Dalam jangka panjang, publik bisa semakin tak percaya terhadap partai politik," jelasnya.
Di sisi lain, Adib juga mengkritik peran KPU yang lemah dalam upaya meningkatkan partisipasi publik. Ia mencontohkan KPU DKI Jakarta menghabiskan anggaran hampir satu triliun rupiah, tepatnya sekitar 975 miliar, untuk penyelenggaraan pemilu. "Namun, apa yang dilakukan KPU, saya kira, minim dalam hal mendukung peningkatan partisipasi pemilih," ujarnya.
Analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati sepakat kemenangan kotak kosong adalah reaksi publik terhadap absennya calon alternatif di pilkada. Apalagi jika lawan kotak kosong ialah petahana yang kinerjanya buruk selama memimpin.
“Ini (kemenangan kotak kosong) bentuk hukuman simbolis atas kinerja petahana yang gagal memenuhi ekspektasi masyarakat selama lima tahun terakhir,” ujar Wasisto kepada Alinea.id, Minggu (1/12).
Wasisto menekankan pentingnya elite-elite politik memberikan ruang bagi kandidat lain atau calon independen untuk mengikuti kontestasi elektoral. Dengan begitu, publik bisa memiliki lebih banyak opsi dalam menentukan pemimpin.
"Hal (paslon tunggal) tersebut yang kemudian memicu publik yang memilih jadi pemilih golput. Idealnya dalam nominasi paslon pilkada jangan terlalu birokratis dan sentralistik sehingga publik tidak diberi kesempatan bersuara soal calon pemimpin yang mereka inginkan," ujar dia.