Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan mahar politik yang kerap terjadi di partai politik turut dibahas dalam pertemuan dengan Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar.
Menurutnya, tidak dapat dipungkiri mahar politik adalah realitas yang muncul dalam demokrasi Indonesia saat ini. Donal menyatakan itu berkaca dari calon kepala daerah yang harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit.
"Kemana uang itu habis atau lari? Banyak kemudian tudingan itu seolah-olah uang itu lari kepada voters atau pemilih. Padahal uang itu justru sering ditilap oleh oknum-oknum pengurus partai politik dalam proses kandidasi," katanya di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).
Dalam pertemuan di Kemendagri, selain ICW, turut hadir perwakilan dari KODE Inisiatif, Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan organisasi masyarakat lainnya.
Donal menambahkan, persoalan tersebut justru yang kini jarang disentuh untuk diperbaiki. Padahal, menurutnya yang menjadi masalah dalam kontestasi calon kepala daerah berada di partai politik yang ditentukan oleh elitenya, bukan aspirasi masyarakat.
Sehingga, apabila mekanisme itu terus berlanjut, terang dia, maka yang akan terjadi adalah dagang kandidat dalam pilkada. Hal itu menunjukkan pemilihan bukan berbasis pada kompetensi, melainkan relasi kuasa.
"Basisnya bukan kompetensi, bukan kualifikasi, tetapi basisnya soal isi tas, relasi kuasa, golongan darah. Golongan darah juga yang paling sering muncul dari ini. Dengan pencalonan beberapa anak pejabat politik menjadi calon kepala daerah," ujar dia.
Selain mahar politik, Kemendagri juga membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan pemilu presiden (Pilpres) dan legislatif (Pileg) tetap serentak bersama organisasi masyakarat sipil.
"Hari ini kami dialog dengan kawan-kawan masyarakat sipil, dari NGO, termasuk teman-teman peneliti tentang gagasan dan hal-hal lainnya ketika keserentakan ini dilaksanakan," ujar Bahtiar.
Hal itu dilakukan menyusul adanya enam opsi terkait keserentakan pemilu yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yakni:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/wali kota.
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kab/kota dan memilih bupati/wali kota.
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.