Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menegaskan, usulan memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir dalam waktu dekat ini tidak dapat diakomodir. Pangkalnya, secara regulasi, masa jabatan tersebut hanya dibatasi selama lima tahun.
Hal itu disampaikan Akmal menanggapai usulan terkait perlunya perpanjangan masa jabatan sejumlah kepala daerah yang akan segera berakhir, ketimbang menunjuk aparatur sipil negara (ASN) sebagai penjabat sementara (Pjs).
Diketahui, dalam waktu dekat, yakni mulai 12 Mei 2022, sebanyak 272 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya. Mereka terdiri dari gubernur, wali kota hingga bupati yang tersebar di 25 provinsi. Sementara pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan digelar secara serentak pada 2024 mendatang.
Akmal menjelaskan, masa jabatan kepala daerah telah diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 serta Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014. Dua aturan tersebut menjelaskan, masa jabatan kepala daerah yakni hanya lima tahun terhitung sejak pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, kata dia, tidak ada klausul perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Apabila diperpanjang, justru itu akan bermasalah dari sisi perundang-undangan dan berpotensi melanggar aturan.
"Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut tidak terdapat ruang regulasi untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah karena secara eksplisit normanya mambatasi hanya lima tahun," ujar Akmal dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Selasa (15/2).
Adapun UU Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat pengaturan tentang pilkada, termasuk ketentuan soal pilkada serentak tahun 2024 merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Selain itu, lanjut Akmal, mengenai penunjukan penjabat kepala daerah juga memiliki dasar hukum. Regulasi yang mengatur soal pilkada serentak, yakni UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020, di dalamnya memuat soal pengaturan tentang penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sampai dengan dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
"Dalam menunjuk penjabat kepala daerah, pemerintah pastinya mengedepankan kapasitas, kompetensi, dan integritas secara cermat, hati-hati serta selektif. Sehingga dapat menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di daerah," jelasnya.
Akmal meyakini ASN memiliki kapasitas yang bisa diandalkan untuk menjalankan tugas sebagai penjabat kepala daerah. ASN, kata dia, memiliki pengalaman dan kemampuan teknis.
"Selama ini pun berdasarkan pengalaman yang ada, para penjabat kepala daerah bisa berkomunikasi baik dengan pihak DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) setempat," ujarnya.
Selain itu, tambah Akmal, pemerintah pun tak akan lepas tangan begitu saja ketika penjabat kepala daerah sudah ditunjuk dan bekerja. Sesuai ketentuan Pasal 373 UU Nomor 23 Tahun 2014 dan amanat Pasal 132 ayat (6) PP Nomor 6 Tahun 2005, pemerintah akan secara ketat melakukan pembinaan dan pengawasan. Hal ini untuk menjamin kinerja penjabat kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Seiring dengan upaya pembinaan, pengawasan, dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat diharapkan kerja sama seluruh lembaga dan elemen di masyarakat untuk turut mendukung dan mengawasi kinerja pemerintahan daerah di masa transisi agar tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.