close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi. Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Sabtu, 21 Desember 2024 12:07

Kenapa kita perlu menolak pilkada kembali ke DPRD

Kalangan mahasiswa berencana mengonsolidasikan aksi menolak wacana pilkada dikembalikan ke tangan DPRD.
swipe

Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD terus menuai pro dan kontra. Tak hanya di kalangan elite-elite politik, wacana itu jadi perdebatan di kalangan organisasi masyarakat (ormas). Teranyar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan dukungan resmi terhadap wacana itu. 

"Mendorong pemerintah, DPR, partai politik, dan berbagai pemangku kepentingan untuk serius menindaklanjuti ajakan Presiden agar mengkaji ulang sistem pemilihan umum secara langsung untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah," tulis MUI dalam dokumen keputusan Mukernas MUI yang digelar di Jakarta pada 17-19 Desember. 

Wacana itu juga dikomentari Mantan Menkopolhukam Mahfud MD. Mahfud sepakat pilkada dikembalikan ke DPRD dengan alasan membuat korupsi lebih terbatas dan lebih terfokus. Menurut Mahfud, pilkada langsung bikin praktik jual beli suara kian lazim. 

“Baik pemilihan langsung maupun tidak langsung, ada larangan politik uang dan larangan kecurangan. Namun, larangan itu biasanya malah dilanggar,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu seperti dikutip dari Tempo.

Isu perubahan sistem pilkada dari langsung ke tidak langsung diembuskan Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12). Prabowo berdalih pilkada langsung terlalu banyak menghabiskan anggaran. 

Sosiolog dari Universitas Jember Muhammad Iqbal mengatakan ide pilkada dikembalikan ke tangan DPRD harus ditolak. Menurut dia, pilkada oleh DPRD membunuh hak rakyat untuk memilih secara langsung calon pemimpin pilihannya.

Dalih demokrasi itu melelahkan dan pilkada itu sangat mahal dan sarat korupsi, menurut Iqbal, tidak tepat. Iqbal berkaca pilkada era Orde Baru yang justru menyuburkan korupsi dan praktik transaksional di kalangan elite politik. 

"Watak dan perilaku koruptif yang sentralistik di masa Orde Baru faktanya masih banyak terjadi setelah lebih 25 tahun era Reformasi. Di masa Orde Baru kepala daerah yang dipilih DPRD, secara sentralistik, sejatinya adalah cerminan kehendak politik rezim Suharto," kata Iqbal kepada Alinea.id, Jumat (20/12). 

Reformasi, kata Iqbal, lahir dengan semangat ingin menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya untuk menegakkan supremasi hukum. Namun, mimpi itu belum tercapai hingga saat ini. 

Praktik KKN masih marak di pusat dan daerah. Pemerintah pusat merespons itu dengan melucuti banyak kewenangan dan keotonomian daerah. Seiring itu, hukum kerap jadi senjata politik untuk menghabisi atau menjegal lawan politik.

Rencana mengembalikan pilkada ke tangan DPRD, lanjut Iqbal, merupakan kelanjutan upaya membangun ulang sistem sentralistik ala Orde Baru. Ia berharap agar masyarakat sipil, mahasiwa, dan tokoh-tokoh bangsa bersama-sama menolak wacana itu. 

"Pilkada dipilih oleh DPRD sama sekali tidak akan menghapus praktik politik uang, jual beli suara, dan mahar politik. Hanya pindah ruang saja dari rakyat ke para wakil rakyat. Sistem demokrasi pemilu harus terus dievaluasi dan diperbaiki, tentu kita setuju. Tetapi, itu tidak dilakukan dengan cara mematikan hak berdemokrasi," kata Iqbal. 

Wacana mengembalikan pilkada oleh DPRD juga ditolak kalangan mahasiswa. Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) Herianto mengatakan aliansi mahasiswa akan menggelar konsolidasi untuk menyikapi wacana itu. 

"Karena mengingat hal ini darurat bagi rakyat yang ke depan. Suara-suaranya akan dirampas. Yang perlu kami pertegas bahwa mahasiswa tidak akan tingal diam melihat segala kebijakan pemerintah. Kami akan selalu merespons. Terlebih, ini untuk kesejahteraan rakyat," kata Herianto kepada Alinea.id, Jumat (20/12).

Ini bukan kali pertama wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD menyeruak. Pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), wacana serupa juga timbul-tenggelam. Namun, tak pernah ada upaya serius dari DPR dan pemerintah untuk merealisasikan wacana tersebut.

Rencana mengembalikan pilkada ke tangan DPRD juga pernah mencuat di pengujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014. Ketika itu, DPR merevisi kilat UU Pilkada untuk mengembalikan kuasa DPRD memilih kepala daerah. Diprotes keras oleh publik, SBY mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU Pilkada. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan