close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. /Foto Antara
icon caption
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. /Foto Antara
Politik - Pemilu
Rabu, 04 September 2024 12:00

Kenapa pilkada lawan kotak kosong marak di Sumut dan Jatim?

Di Jatim, ada lima daerah yang bakal menggelar pilkada lawan kotak kosong. Di Sumut, enam daerah menghasilkan calon tunggal.
swipe

Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong marak di Pilkada Serentak 2024. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, hingga kini terdapat 43 daerah yang bakal menyelenggarakan pilkada dengan satu calon tunggal. Rinciannya, 1 di tingkat provinsi dan 42 di tingkat kabupaten/kota. 

Jawa Timur (Jatim) dan Sumatera Utara (Sumut) jadi "penghasil" calon tunggal terbesar. Di Jatim, pilkada lawan kotak kosong bakal dihelat di Gresik, Ngawi, Trenggalek, Pasuruan, dan Surabaya. Adapun di Sumut, calon tunggal muncul di Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Serdang Bedagai, Labuhan Batu Utara, Kabupaten Asahan, dan Nias Utara.

Analis ilmu politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal mencermati ada sejumlah faktor yang menyebabkan pilkada lawan kotak kosong marak di Jatim dan Sumut. Pertama, strategi borong partai yang dijalankan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Kedua, dominannya elektabilitas petahana. 

Faktor relasi kandidat dengan rezim Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo, menurut Iqbal, menjadi prakondisi yang membuat partai politik bersikap pragmatis. Parpol-parpol cenderung mendukung calon yang didukung rezim dan tidak berani menghadirkan calon penantang.

"Situasi ini memaksa partai politik lainnya berhitung hanya mengedepankan pragmatisme ketimbang idealisme partainya. Terjadilah koalisi jumbo di sejumlah daerah hingga tercipta potensi melawan kotak kosong," ucap Iqbal kepada Alinea.id, Selasa (3/9).

Kotak kosong lawan calon tunggal dilegitimasi Mahkamah Konstitusi (MK lewat putusan nomor 100/2015. Kotak kosong dihadirkan supaya tetap ada kompetisi dalam pilkada. Publik yang tak ingin daerahnya dipimpin pasangan kandidat yang tak dikehendaki bisa "menghukum" mereka dengan memilih kotak kosong. 

Sayangnya, menurut Iqbal, putusan itu justru membuka jalan untuk parpol-parpol bersiasat menghadirkan calon tunggal. Di Pilgub DKI Jakarta, misalnya, KIM sempat berupaya mendesain Ridwan Kamil sebagai calon tunggal. KIM sadar bakal sulit menang jika kandidat mereka diterjunkan melawan Anies Baswedan yang punya elektabilitas tinggi di ibu kota. 

"Dengan kata lain, petahana atau calon kuat itu dibuat tidak punya tiket perahu atau perahunya tidak cukup ambang batas buat berlabuh. Terkuak motif menghalangi kompetisi dengan memaksakan calon yang diusung kartel politik hanya melawan kotak kosong," ucap Iqbal.

Kombinasi dominannya petahana dan siasat KIM terpentas di enam daerah yang menggelar pilkada kotak kosong di Sumut. Terkecuali di Kabupaten Asahan, menurut Iqbal, semua kandidat tunggal di keenam daerah ialah petahana yang punya elektabilitas kuat. 

"Maka, seolah tak ada pilihan lain kecuali seluruh partai memilih untuk merapat dalam koalisi besar mengusung petahana. Pada kasus Pilkada Asahan, faktor afiliasi calon yang didukung rezim kuasa istana sangat kuat dan memaksa banyak partai enggan mengusung calonnya sendiri," jelas dia. 

Pilbup Asahan hanya bakal diisi pasangan Taufik Zainal Abidin dan Rianto. Pasangan Taufik-Rianto mengantongi surat rekomendasi dari 12 parpol. Berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN), Taufik sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Asahan.  

Situasi serupa muncul di pilkada-pilkada Jatim. Di Surabaya, misalnya, petahana Eri Cahyadi terlampau dominan sehingga sulit ditandingi kandidat lain. Walhasil, parpol-parpol bersepakat mengusung kader PDI-Perjuangan itu sebagai calon tunggal. 

"Popularitas petahana yang semula hanya diusung oleh PDI-P saja pasti membuat gentar partai-partai lain untuk mengusung jagoannya. Ketimbang ambil risiko kalah, mereka memilih ikut ramai-ramai mengusung petahana," ucap Iqbal.

Berbasis hasil Pileg 2024, Jatim cenderung dikuasai PDI-P dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kandidat PDI-P, menurut Iqbal, juga jadi calon tunggal di Ngawi dan Trenggalek. "Sedangkan Gresik, petahana di basis PKB ini tampak terlalu kuat," imbuh Iqbal. 

Meskipun punya landasan hukum, menurut Iqbal, pilkada lawan kotak kosong seharusnya dihindari oleh partai politik. Pasalnya, tidak terjadi kompetisi yang sehat dalam pilkada lawan kotak kosong. Akibatnya kualitas demokrasi di daerah pun berangsur menurun. 

Dampak rentetan lainnya dari fenomena pilkada kotak kosong yang dikondisikan rezim kekuasan ialah melemahnya fungsi keotonomian daerah. Kepala daerah tidak lagi otonom dan cenderung dikendalikan oleh pusat. 

"Misalnya terkait kekayaan sumber daya alam ataupun fiskal daerah. Sangat mungkin daerah bisa kehilangan kebebasan otonominya. Terlebih bila rezim memberlakukan mutlak sebuah proyek strategis nasional di daerah tersebut. Hampir pasti keotonomian daerah tersebut bisa berkurang banyak atau bahkan hilang," ucap Iqbal.

Analis politik dari Universitas Medan Area, Khairunnisa Lubis menilai fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong marak di Sumut lantaran niat KIM untuk menguasai basis-basis suara di Sumut, mulai dari level pilgub hingga pilbup. 

"Walaupun terlihat lebih mudah untuk mengusung calon, namun kenyataannya berbanding terbalik ketika calon di Sumut terlihat unggul dan bukan dari bagian yang bisa menyesuaikan dengan koalisi yang dominan," ucap Nisah, sapaan akrab Khairunnisa, kepada Alinea.id, Selasa (3/9).

Karena cenderung didesain parpol-parpol pendukung rezim Jokowi dan Prabowo, Nisah berpendapat pilkada lawan kotak kosong hanya sekadar formalitas dalam memilih perwakilan penguasa. Jika kotak kosong menang, daerah tetap dikuasai rezim lantaran pilkada selanjutnya digelar pada 2029. 

Untuk mengisi kekosongan, pemerintah menunjuk pelaksana jabatan yang tak punya kontrak politik dengan pemilih. Artinya, tak jadi soal jika kandidat yang diusung KIM dengan memborong partai tak dipilih publik di daerah. 

"Dampak dari banyaknya calon tunggal yang melawan kotak kosong jelas akan dianggap formalitas saja oleh masyarakat. Pilkada bukan menjadi perhelatan yang istimewa agar membawa situasi yang lebih ideal," ujar Nisah. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan