Pemerintah dan DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Selain perpanjangan masa pensiun personel TNI, penambahan lima jabatan sipil yang dapat ditempati oleh prajurit aktif TNI tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan jadi salah satu isu krusial mengemuka dalam revisi UU tersebut.
Lima institusi baru yang diusulkan ditambahkan dalam revisi UU TNI adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penangulanggan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 47 ayat 2 UU TNI, hanya sepuluh kementerian/lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit aktif, semisal Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Sandi Negara, dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai penempatan personel militer aktif di posisi sipil dapat melanggar berbagai regulasi, termasuk UU TNI. Isnur menegaskan bahwa militer seharusnya tetap menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan dan kedaulatan negara.
“Keterlibatan militer dalam jabatan sipil justru melanggar undang-undang TNI dan prinsip supremasi sipil. Ini adalah bentuk paradigma militerisme yang keliru dan bertentangan dengan semangat reformasi,” ujar Isnur kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti dampak negatif dari fenomena ini, termasuk potensi pelanggaran hukum. Menurutnya, pejabat sipil tunduk pada hukum sipil yang memungkinkan adanya gugatan hukum terhadap keputusan yang diambil. Sebaliknya, pejabat militer memiliki perlindungan hukum yang berbeda sehingga keputusannya sulit untuk digugat secara hukum di ranah peradilan umum.
Selain aspek hukum, Isnur juga menyoroti dampak pada profesionalisme di kedua sektor. Ia menjelaskan bahwa TNI dilatih dan dididik secara khusus untuk kepentingan pertahanan negara, bukan untuk menduduki jabatan sipil yang memiliki tuntutan kompetensi berbeda.
Di sisi lain, individu yang berkarier di sektor sipil juga telah melalui pendidikan dan pengalaman panjang yang seharusnya menjadi dasar dalam menempati posisi tertentu. "Jika jabatan sipil diisi oleh militer, maka peluang mereka untuk berkembang dan menduduki posisi puncak menjadi tertutup,” jelas Isnur.
Lebih jauh, Isnur mencurigai bahwa kebijakan ini berpotensi menjadi bagian dari kepentingan politik tertentu, terutama untuk mengakomodasi perwira-perwira TNI yang tidak memiliki jabatan. Ia juga mengaitkan hal ini dengan kemungkinan skenario politik menjelang Pemilu 2029.
“Kami khawatir ada motif politik di balik penempatan ini. Jangan sampai kebijakan ini menjadi langkah mundur bagi reformasi TNI yang telah berjalan selama ini,” tambahnya.
Isnur juga mengkritik rencana membolehkan personel TNI aktif berbisnis. Berkaca pada pengalaman di era Orde Baru, menurut dia, keterlibatan militer dalam jabatan sipil dan bisnis justru menghambat perkembangan demokrasi dan menimbulkan berbagai masalah baru.
“Kita harus belajar dari masa lalu. Jangan sampai langkah-langkah ini justru menjauhkan TNI dari rakyat dan berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, rancangan perubahan UU TNI diungkapkan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/3) lalu. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas turut hadir dalam rapat tersebut.
Beranggotakan YLBHI, Imparsial, Elsam, PBHI, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, HRWG, WALHI, KontraS, SETARA Institute, koalisi masysrakat sipil berpendapat daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU TNI yang diserahkan pemerintah ke DPR masih mengandung pasal-pasal bermasalah.
Menurut koalisi, revisi UU TNI bisa dijadikan jalan mengembalikan dwifungsi militer dan menguatnya militerisme dalam tata kelola pemerintahan. Koalisi mencontohkan penempatan TNI di Kejaksaan Agung sebagai bentuk dwifungsi TNI.
"Kejaksaan Agung memiliki fungsi sebagai aparat penegak hukum. Perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu," desak koalisi masyarakat sipil," tulis koalisi masyarakat sipil dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Kamis (13/3).
Koalisi juga menuntut supaya seluruh prajurit TNI yang saat ini menduduki jabatan sipil di luar dari sepuluh lembaga yang diperbolehkan dalam UU TNI untuk segera mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif TNI.
"Terutama Letkol Teddy Indra Wijaya (Seskab) yang berulangkali melanggar ketentuan dalam UU TNI, mulai dari terlibat dalam kampanye politik praktis 2024 hingga pengangkatannya sebagai Seskab," jelas Imparsial cs.