Meskipun tanpa partisipasi publik yang bermakna, revisi Undang-Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan revisi Undang-Undang Kementerian Negara disahkan menjadi UU. Kedua RUU kontroversial itu disahkan bersama revisi Undang-Undang Keimigrasian dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/8).
Menurut catatan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, rapat paripurna hanya dihadiri 48 anggota DPR. Sebanyak 260 anggota DPR mengajukan izin untuk tidak hadir. Sisanya tak memberikan keterangan alasan ketidakhadiran.
Hanya dihadiri segelintir anggota DPR, rapat paripurna tetap digelar. Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F. Paulus mengatakan jumlah peserta sudah memenuhi kuorum. Pengesahan ketiga RUU itu pun berjalan tanpa penolakan berarti.
Apa saja yang berubah dalam revisi UU Wantimpres?
Setidaknya ada 8 poin yang diubah dalam revisi UU Wantimpres. Saat memberikan laporan di rapat paripurna, Ketua Baleg DPR RI, Wihadi Wiyanto mengatakan poin-poin perubahan sudah dibahas secara mendetail dan disepakati semua fraksi yang ada di DPR.
Perubahan pertama adalah perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Presiden RI. Sebelumnya, Wantimpres disebut-sebut bakal diganti jadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagaimana pada era Orde Baru.
Pada Pasal 7 ayat (1), komposisi Wantimpres RI diubah. Dari jumlah anggota yang hanya 9 orang, kini Wantimpres RI terdiri dari "seorang ketua merangkap anggota, dan beberapa anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan."
"Empat, syarat untuk menjadi calon anggota dewan pertimbangan presiden RI ditambahkan huruf g terkait tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena melakukan pidana yang diancam penjara lima tahun atau lebih," ucap Wihadi.
Ketentuan pada Pasal 9 ayat (4) ditambah, yakni anggota Wantimpres RI merupakan pejabat negara. Keenam, rumusan Pasal 12 huruf b dan penjelasannya tentang pejabat manajerial dan non-manajerial yang disesuaikan dengan UU yang mengatur tentang ASN.
"Terakhir adalah penambahan rumusan lembaran negara dan tambahan lembaran negara pada Pasal 2 angka 2 dan 8 tentang ketentuan mengenai tugas dan peninjauan terhadap pelaksanaan UU," jelas Wihadi.
Apa poin-poin revisi dalam UU Kementerian Negara?
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek mengungkapkan setidaknya ada enam poin revisi dalam UU Kementerian Negara yang baru. Pertama, penyisipan Pasal 6A yang isinya pembentukan kementerian tersendiri yang didasarkan pada sub urusan pemerintahan sepanjang memiliki keterkaitan ruang lingkup urusan pemerintahan.
Kedua, penyisipan Pasal 9A terkait penulisan, pencantuman, dan/atau pengaturan unsur organisasi dapat dilakukan perubahan oleh presiden. Ketiga, penghapusan penjelasan Pasal 10 sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011.
Pada penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wakil menteriadalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet. Realitasnya, presiden tak selalu mengangkat pejabat karier sebagai wakil menteri.
Keempat, perubahan Pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Kelima, perubahan judul Bab VI menjadi "Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Lembaga Non Struktural dan Lembaga Pemerintah lainnya."
"Perubahan ini sebagai konsekuensi atas penyesuaian terminologi lembaga nonstruktural yang diatur dalam perubahan Pasal 25," tutur Awiek, sapaan akrab Baidowi, dalam rapat paripurna.
Sejak kapan kedua RUU itu dibahas?
Pembahasan RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara tergolong kilat. Kedua RUU itu diwacanakan untuk direvisi sejak gelaran Pilpres 2024 berakhir. RUU Kementerian Negara, misalnya, mulai dibahas DPR pada pertengahan Mei 2024. Artinya, RUU itu disepakati hanya kurang dari empat bulan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan pembahasan RUU bermasalah di DPR menunjukkan bahwa parlemen kini sedang berusaha "melayani" syahwat politik pemerintahan baru. Masa transisi pemerintahan dianggap waktu yang tepat untuk meloloskan regulasi kontroversial.
"Kebanyakan mata tak tertuju ke parlemen. Itu jadi waktu yang tepat untuk meloloskan sejumlah kebijakan yang jika dibicarakan pada waktu yang masih jauh dari titik akhir masa jabatan akan punya banyak risiko dikritik atau ditolak oleh publik. Masa transisi ini memang waktu yang tepat bagi siasat diam-diam itu," ucap Lucius kepada Alinea.id.
Kenapa pembahasan dan pengesahan kedua RUU itu bisa mulus di DPR?
Tak seperti revisi UU Pilkada, pembahasan kedua RUU tak menuai protes keras dari masyarakat. Pasalnya, kedua RUU itu tak langsung berkaitan dengan kepentingan publik secara umum. Tak ada demonstrasi besar yang digelar untuk memprotes kedua RUU itu.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Lampung Rudy Lukman mengatakan kedua RUU itu didorong untuk disahkan secara kilat lantaran adanya kepentingan politik yang mesti diakomodasi jelang pelantikan Presiden Prabowo Subianto.
"Sangat banyak RUU lain yang mendesak tidak kunjung dibahas karena memang kebutuhan politiknya tidak ada atau belum ada,” ujar Rudy seperti dikutip dari NU Online.
Revisi UU Kementerian disebut sebagai upaya mengakomodasi gemuknya koalisi parpol pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Prabowo butuh tambahan kuota jabatan untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya parpol baru dalam KIM, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (Dus)