Tingkat elektabilitas bakal calon presiden Ganjar Pranowo dinilai tak akan signifikan terpengaruh konflik-konflik agraria yang sempat meletup di Jawa Tengah. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menilai pemberitaan mengenai konflik-konflik itu mulai senyap.
“Jadi, saya melihatnya seperti itu. Untuk kepentingan elektoral, pasti kasus-kasus tersebut dikondisikan agar tidak keluar, agar tidak mencoreng elektoral Ganjar Pranowo,” ucap dia saat dihubungi, Kamis (31/8/2023).
Setidaknya ada dua konflik agraria yang mengemuka pada era kepemimpinan Ganjar. Pertama, polemik pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang. Sejak Mei 2014, warga Kendeng memprotes penambangan dan pembangunan pabrik semen di Kendeng karena khawatir merusak ekosistem pegunungan karst dan berdampak pada mata pencaharian mereka.
Pada 2015, putusan MA membatalkan izin pembangunan pabrik tersebut. Ganjar merespons dengan menerbitkan izin baru. Pada akhir 2016, KLHK meminta pembagunan ditunda. Dua bulan berselang, Ganjar menerbitkan izin baru dengan dalih kajian lingkungan sudah sesuai.
Keputusan itu memicu protes warga setempat hingga pemerintah memutuskan moratorium. Meski begitu, penambangan semen hingga kini masih berlangsung di Kendeng. Warga terdampak mengeluhkan kerap gagal panen lantaran kerap kebanjiran akibat tambang.
Konflik lainnya ialah terkait penolakan warga terhadap penambangan batu andesit dan pembangunan Bendungan Bener di Wadas, Purworejo. Konflik itu mengemuka pada awal 2022 setelah tindakan represif aparat terhadap warga di Wadas terekam dalam sebuah video yang beredar luas.
Ganjar sempat turun tangan langsung meredakan konflik tersebut. Di depan publik ia meminta maaf kepada warga Wadas dan sempat menginap di Wadas tanpa pengawalan untuk berdialog dengan warga. Upaya itu cukup membuahkan hasil. Pada Juli 2022, sebagian besar warga telah bersedia melepaskan tanahnya.
Namun demikian, menurut Ujang, kedua konflik itu belum sepenuhnya tuntas. Di Kendeng, warga masih kerap menggelar protes lantaran penambangan masih berlangsung hingga kini. Di Wadas, protes serupa juga rutin terjadi. Juli lalu, sejumlah warga Wadas bahkan menyambangi rumah relawan Ganjar di Jakarta Pusat untuk berunjuk rasa.
“Oleh karena itu, harus diselesaikan secara baik-baik, secara komprehensif, secara menyeluruh hingga akar-akarnya agar persoalan Kendeng dan Wadas itu tuntas, tidak menimbulkan kerja-kerja politik ke depan,” terang Ujang.
Dalam konteks politik, menurut Ujang, menutup-nutupi isu negatif merupakan strategi yang lumrah dilakukan para politikus. Dengan demikian, konflik-konflik yang mengemuka seolah-olah dianggap sudah ditangani.
“Kalau dikondisikan saja agar tidak muncul, tapi akar persoalan masih ada, masyarakat kan akan merasa tertekan, merasa kecewa. Dan suatu saat akan muncul kembali pasca-pilpres (pemilihan presiden),” kata dia.
Terkait pembangunan pabrik semen di Kendeng, Ganjar telah mengikuti instruksi pemerintah pusat untuk moratorium. Dalam sebuah rapat koordinasi di Jateng, Ganjar juga sempat menyatakan mencabut izin pembangunan pabrik dan penambangan lantaran berisiko merusak lingkungan.
Adapun terkait konflik Wadas, Ganjar menyebut sudah memberikan ganti rugi Rp11 miliar kepada ketua kelompok yang menolak pembangunan Bendungan Bener. Selain itu, ia juga sudah berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo terkait progres proyek tersebut.
“Ini nanti akan menyelesaikan satu pengendalian banjir. Dua, suplai air dan kemudian derivat turunan dari proyek itu,” kata Ganjar di Rakernas XVI Apeksi yang diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan, belum lama ini.