close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi indeks kerawanan pemilu. Alinea.id/Catharina
icon caption
Ilustrasi indeks kerawanan pemilu. Alinea.id/Catharina
Politik
Rabu, 31 Mei 2023 16:44

Kerawanan Pemilu 2024: Dari politik uang hingga intimidasi

Bawaslu meluncurkan indeks kerawanan pemilu untuk mendeteksi dini potensi gangguan pelaksanaan Pemilu 2024.
swipe

Dalam peluncuran indeks kerawanan pemilu (IKP) di Jakarta, pada 16 Desember 2022, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Lolly Suhenty mengatakan, IKP menjadi basis untuk pencegahan dan pengawasan pemilu dan pilkada. IKP pun menjadi bagian dalam proyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran.

IKP 2024 dirilis saat ditetapkannya partai politik peserta Pemilu 2024. Tujuannya, agar semakin banyak tahapan yang diprediksi dan semakin tinggi peluang melakukan pencegahan terhadap potensi pelanggaran.

Bawaslu melibatkan pihak dari kementerian/lembaga, akademisi, peneliti, praktisi, dan pegiat pemilu saat proses penyempurnaan IKP. Dalam tahapan pengumpulan data, Bawaslu melibatkan seluruh anggotanya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Metode semacam IKP awalnya disusun menjelang Pemilu 2014. Saat itu, penyusunannya dalam format pemetaan kerawanan, belum berwujud indeks sistematis.

Provinsi paling rawan

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Lolly Suhenty memaparkan data hasil IKP 2024 di Jakarta, Jumat (16/12/2022)/foto: Publikasi dan Pemberitaan Bawaslu/bawaslu.go.id

Bawaslu menyusun IKP 2024 dengan menitikberatkan pada empat dimensi, yakni konteks sosial-politik, penyelenggara pemilu, kontestasi, dan partisipasi. DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling rawan, dengan skor IKP 88,95. Disusul Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.

“Sementara lima provinsi dengan IKP terendah berturut-turut dari yang paling rendah adalah Bengkulu (3,79), Sulawesi Selatan (10,20), Nusa Tenggara Barat (11,09), Jambi (12.03), dan Kalimantan Barat (12,69),” tulis Bawaslu sebagaimana dinukil dari IKP dan Pemilihan Serentak 2024.

Meskipun Maluku Utara ada di posisi tiga kerawanan tertinggi, tetapi dua dari empat dimensi skornya maksimal, yakni konteks sosial-politik dan kontestasi yang mencapai 100. Indikator penyumbang utama tingkat kerawanan sosial-politik di Maluku Utara salah satunya kerusuhan berbasis SARA.

Indikator dimensi konteks sosial-politik, antara lain adanya kekerasan/kerusuhan berbasis SARA; intimidasi terhadap peserta, penyelenggara, dan pemilih; dan perusakan fasilitas penyelenggara pemilu.

“Maluku Utara merupakan provinsi paling rawan untuk kategori sosial politik dan kontestasi. Namun, paling aman untuk kategori dinamika partisipasi. Meskipun terdapat beberapa kasus,” tulis Bawaslu.

<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/13937799"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>

Meskipun tidak ada satu pun dimensi yang mencapai skor maksimal, tetapi DKI Jakarta menjadi yang paling rawan karena rerata bobot skor empat dimensinya paling tinggi. Catatan Bawaslu, dimensi kontestasi penyumbang terbesar tingkat kerawanan di ibu kota.

Indikator dimensi kontestasi, antara lain kampanye SARA, materi kampanye hoaks, laporan tentang politik uang oleh peserta/tim sukses/tim kampanye, dan peserta pemilu/calon yang tak melaporkan dana kampanye.

Temuan Bawaslu, masalah kampanye dan politik uang mewarnai persoalan kontestasi dalam pemilu dan pemilihan gubernur. Salah satu kasusnya berkelindan dengan materi kampanye bermuatan SARA, hoaks, dan kebencian.

“Bawaslu mengkategorikan beberapa kasus ini sebagai kasus dengan tingkat keseriusan tinggi. Di samping itu, terdapat sejumlah kasus money politics yang juga terpantau selama periode pemilu/pilgub di DKI Jakarta,” tulis Bawaslu.

Skor IKP Sulawesi Utara 87,48. Provinsi itu, sebut Bawaslu, punya tingkat kerawanan maksimum pada dimensi partisipasi. Indikator dimensi partisipasi, antara lain adanya upaya menghalang-halangi pemilih memberikan suara di TPS, adanya pemilih tambahan jumlah surat suara cadangan 2%, dan mobilisasi penolakan terhadap pemilu atau pilkada.

Sulawesi Utara pun punya persoalan dengan proses penyelenggaraan pemilu, keberpihakan penyelenggara, masalah logistik pemilu, serta beberapa kasus pelanggaran berat saat pemungutan suara.

“Data memperlihatkan bahwa terdapat sejumlah kasus di mana pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan sejumlah kasus di mana mereka yang tidak layak masuk dalam daftar pemilih tetap,” tulis Bawaslu.

Tiga provinsi dengan skor kerawanan dimensi kontestasi paling tinggi adalah Maluku Utara (100), DKI Jakarta (96,09), dan Lampung (89,30). Lampung masuk dalam tiga besar karena pelanggaran terkait kampanye calon. Temuan Bawaslu, Lampung memiliki skor subdimensi kampanye calon 93.95. Data menunjukkan terdapat delapan kasus serius pelanggaran jadwal kampanye, ribuan kasus serius kampanye hoaks di tempat umum, puluhan ribu kasus serius pelanggaran tempat kampanye, dan sepuluh kasus politik uang.

<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/13938499"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>

Menurut Plt. Kepala Pusat Penelitian, Pengembangan Pendidikan, dan Pelatihan Bawaslu, Ibrahim Malik Tandjung, politik uang biasanya mulai muncul ketika memasuki tahapan kampanye.

“Bahasanya lebih kepada sosialisasi. Tapi kan, praktiknya kumpulin orang. Bawaslu masuk ke ranah itu memberikan mekanisme pencegahan. Artinya, jangan sampai mengarah kepada mekanisme untuk yang berbau kampanye,” ucap Ibrahim kepada Alinea.id, Selasa (30/5).

Walau temuan Bawaslu soal politik uang terbilang banyak, tetapi Ibrahim mengaku, sulit untuk menangkap para pemainnya. Di daerah, politik uang bisa berlangsung sangat cepat dan bersifat senyap.

“Contoh kasus orang di pinggir jalan, tahu-tahu (ada) orang naik motor kasih duit sama stiker. Kita enggak tahu itu orang siapa,” ujar dia.

Bawaslu, katanya, hanya bisa menangani penerima yang mengadu. “Siapa operatornya? Kan yang begitu enggak ketemu,” katanya.

“Banyak cara yang dilakukan oleh orang (melakukan politik uang). Bahkan yang lebih menariknya, (ada kasus) kartu semacam e-Toll yang gambar muka (peserta pemilu), isinya itu misal Rp50.000.”

Sementara itu, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, kasus politik uang dalam dimensi kontestasi bisa terjadi karena suatu daerah menjadi basis kantong suara.

“Politik uang ini menjadi potensi untuk kerawanan karena memang di daerah, seperti Jawa Barat dan Jakarta, termasuk yang pendulangan massa,” ucapnya, Senin (29/5).

Dijelaskan Kaka, praktik politik uang di Jawa Barat menjadi rawan lantaran perebutan kursi di provinsi tersebut juga tinggi. Di Maluku Utara, menurut Kaka, politik uang terjadi karena basis massa dari partai politik tertentu dan cukup rawan konflik horizontal. Praktik lancung itu, sebut Kaka, sebagian besar terjadi di daerah yang bilangan pembagian kursinya kecil.

“Artinya, di daerah-daerah yang kursinya cukup banyak, tapi penduduknya sedikit,” tuturnya.

“Jadi, dimensi kontestasi adalah soal kantong suara, soal perolehan, soal siapa yang selama ini berada di sana.”

Kendati demikian, Kaka mengatakan, saat ini masyarakat sudah banyak belajar dan mengabaikan politik uang. Meskipun masih juga marak. “Uangnya makin besar yang dikeluarkan, tetapi hasilnya belum tentu sepadan dengan pengeluaran,” ujarnya.

 Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Jakarta./dok. Bawaslu

Kerawanan dimensi sosial-politik

Tiga provinsi yang menempati urutan teratas kerawanan tertinggi dimensi konteks sosial-politik ialah Maluku Utara (100), Sulawesi Utara (89,58), dan Papua (80,53). Sedangkan tiga provinsi dengan skor terendah adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah.

Bawaslu menyebut, Papua termasuk rawan karena ada persoalan terkait otoritas penyelenggara pemilu. Selain itu, pemilu atau pilkada pada level provinsi juga diwarnai potensi keruuhan yang melibatkan tokoh publik, tokoh politik, dan aparat keamanan.

<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/13938197"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>

Berdasarkan temuan KIPP, kata Kaka, soal dimensi konteks sosial-politik indikator intimidasi, semakin jauh daerah dari pusat kota, maka semakin besar pula intimidasi. Intimidasi juga kerap ditemukan di dunia maya.

“Misalnya, orang mem-bully di online, mempersekusi di online, kemudian orang khawatir di-doxing. Yang lebih sulit ditangani di online dan ini masih belum terakomodir di dalam kerawanan (IKP),” ujar Kaka.

Saat ini, yang diakomodir dalam dunia maya hanya ujaran kebencian, disinformasi, dan misinformasi. Oleh karenanya, Kaka menyarankan agar di beberapa dimensi ada penyesuaian dengan konteks kekinian.

Mengenai intimidasi, Ibrahim mengatakan, memang selalu dialami penyelenggara pemilu. Terlebih setelah masa kampanye. Intimidasi, ujar Ibrahim, kerap terjadi ketika caleg atau partai politik mengumpulkan “amunisi” untuk mengajukan sengketa atau penanganan pelanggaran.

Di sisi lain, Budi menuturkan, intimidasi di dunia maya sudah berlangsung sejak 2019. Misalnya, kasus penyelenggara pemilu yang diikuti lalu difoto saat bertemu seseorang. Pelaku mengancam akan menyebar foto, jika penyelenggara pemilu tak memenuhi keinginannya.

“(Permintaannya) kecenderungannya untuk memenangkan si A atau mengalahkan si B atau sama-sama kalah. Jangan sampai ada yang menang. Itu ada kejadiannya,” ucap dia.

Sementara dalam dimensi penyelenggara pemilu, tiga provinsi dengan skor kerawanan tertinggi adalah Kalimantan Timur (100), Sumatera Utara (94.29), dan DKI Jakarta (92.36). Sedangkan untuk dimensi partisipasi, tiga provinsi yang punya kerawanan tertinggi adalah Sulawesi Utara (100), Sulawesi Tengah (87,01), dan Kepulauan Riau (87,01). Namun, sebagian besar skornya 0.

Soal IKP, Kaka meyarankan perlu ada penyesuaian dengan situasi terkini dan diselaraskan dengan kondisi setiap daerah. Sebab, setiap provinsi memiliki kondisi yang berbeda, sehingga indikator yang digunakan tak perlu sama.

Infografik indeks kerawanan pemilu. Alinea.id/Catharina

“SMS (Sumedang-Majalengka-Subang) atau Cirebon dengan Bogor, Depok, atau Bekasi, itu dinamikanya berbeda sekali walaupun sama-sama Jawa Barat, sehingga perlu di-breakdown pada wilayah-wilayah itu,” ucapnya.

Budi menerangkan, penyesuaian indikator sudah dilakukan karena metode dan indikator IKP 2019 dengan 2024 berbeda. Nantinya pun Bawaslu akan melakukan pemetaan kembali secara tematik.

“Lebih ke subdimensinya dari empat dimensi. Contoh, tahapan kampanye. Dari kampanye itu, misal terkait netralitas ASN (aparatur sipil negara), sebetulnya dari se-Indonesia mana yang gede? Terus politik identitas, sebetulnya daerah mana yang gede?” ucap dia.

Langkah itu membuat pemetaan kerawanan yang dilakukan selanjutnya akan lebih fokus per indikator. Nantinya tidak hanya ada IKP 2024 saja, tetapi juga tematik yang disesuaikan dengan tahapan pemilu.

“Misal, tahapan kampanye, kemungkinan yang besar itu di mana sih? Selain kita membahas bagaimana mekanisme pencegahan dan pengawasannya, juga kita biar tahu sebetulnya daerah mana yang paling rawan terkait dengan kampanye,” ujarnya.

“Konteksnya beda-beda. Kayak Papua, kampanye enggak rawan, tapi pas nyoblos rawan. Tapi, kalau tempat lain, nyoblos adem semua.”

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan