Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgub Sumut) 2024 hampir pasti hanya bakal diikuti oleh dua pasang calon. Selain Bobby Nasution dengan pasangannya, hanya kandidat dari PDI-Perjuangan yang bisa meramaikan pertarungan elektoral di provinsi tersebut.
Di-endorse Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby sudah mengantongi tiket maju dari enam partai yakni Partai Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Nasdem.
Di lain kubu, PDI-P masih menggodok sejumlah nama, di antaranya eks Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan mantan Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan. Berbasis hasil Pileg 2024, PDI-P mengantongi 21 kursi DPRD Sumut dan bisa mengusung calon sendiri.
Ketua DPD PDI-P Sumut Rapidin Simbolon mengatakan tak akan membiarkan Bobby melawan kotak kosong. Ia mengaku sudah mengusulkan nama Nikson dan Edy ke DPP PDIP.
"Soal nanti siapa yang menjadi keputusan DPP, tentu kami all out. Artinya, tegak lurus. Kita berjuang sampai menang," ujar Rapidin kepada wartawan di Kantor DPW PKS Sumut di Medan, Rabu (10/7).
Saat ini, PDI-P sedang menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jika terealisasi, gabungan kedua parpol itu menguasai sekitar 33% kursi di DPRD Sumut.
Analis politik dari Universitas Medan Area, Khairunnisa Lubis menilai Bobby masih mungkin kalah meskipun didukung koalisi gemuk dan disokong Jokowi. Salah satu pengganjal ialah kinerja Bobby sebagai Wali Kota Medan yang dianggap buruk oleh publik.
"Pasangan Edy Nikson terlihat berpeluang menjadi lawan sengit bagi Bobby. Beberapa kebijakan yang diberlakukan Bobby, dari hasil penelitian yang saya lakukan di lapangan, masyarakat jauh dari kata puas," ucap Nisah, sapaan akrab Khairunnisa, kepada Alinea.id, Jumat (13/7).
Nisah mencontohkan kebijakan parkir berlangganan yang dijalankan Bobby. Menurut dia, kebijakan menantu Jokowi itu diprotes keras oleh warga dan merugikan para juru parkir.
Khusus di Medan, Nisah berpendapat sebagian besar warganya justru lebih cenderung mendukung calon yang bakal diusung PDI-P, entah itu Edy atau pun Nikson.
"Antusiasme masyarakat Kota Medan menyambut baik berita tersebut, khususnya bagi para masyarakat Kota Medan yang menjadi langganan korban banjir dan para jukir yang merasa dirugikan," ucap Nisah.
Berkaca pada sejarah pilkada-pilkada di sejumlah daerah di Sumatera, Nisah berpendapat koalisi gemuk bukan jaminan kemenangan. Ia menyinggung pilkada-pilkada di Aceh dan Kabupaten Batubara yang justru dimenangkan calon independen.
"Di Aceh dan Kabupaten Batubara itu, pada tahun sebelumnya, yang berhasil duduk sebagai kepala daerah itu (mencalonkan diri) melalui jalur independen. Jadi, mau segemuk apa pun koalisi pendukung salah satu paslon, tidak menjamin," ucap Nisah.
Analis politik dari Universitas Lampung, Darmawan Purba sepakat Bobby tak mutlak bakal menang meski menyapu bersih hampir semua parpol. Kandidat dari PDIP--baik itu Edy, Nikson atau pun jika keduanya berpasangan--masih punya kans menaklukkan Bobby.
"PDIP-PKS memiliki pemilih yang paling loyal. Dengan penguasaan 33% kursi di DPRD Sumut, itu merupakan modal politik yang kuat bagi koalisi ini. Berhadapan dengan Bobby tentu tidak mudah. Dengan penguasaan jaringan politik dan akses modal ekonomi yang luas, tentu Bobby memiliki akselerasi politik yang kuat," ucap Darmawan kepada Alinea.id.
Di lain sisi, Darmawan juga memuji sikap PDI-P yang tegas menolak pilkada lawan kotak kosong. Apalagi, jika sikap itu diikuti PKS dengan membangun koalisi bersama PDI-P di Pilgub Sumut.
"Seharusnya partai politik menyediakan banyak calon untuk dipilih langsung oleh rakyat. Buat apa pilkada kalau tradisi berkompetisi kader-kader terbaik masing-masing parpol tidak terjadi? Apalagi melawan kotak kosong," ucap Darmawan.
Meskipun gemuk, menurut Darmawan, belum tentu koalisi parpol pengusung Bobby kuat. Ia membaca Ketua DPD Golkar Sumut, Musa Rajeckshah alias Ijeck hanya bakal setengah hati mendukung Bobby. Ijeck disebut kecewa lantaran gagal mendapatkan tiket dari Golkar untuk maju di Pilgub Sumut.
"Rekomendasi partai-partai terhadap Bobby juga dilalui dengan dinamika yang keras walaupun akhirnya bisa dieksekusi oleh elite partai, khususnya partai Golkar di mana Ijeck sebagai calon yang digadang-gadang dari awal akhirnya mengalah. Namun, belum tentu di akar rumput akan sejalan dengan keputusan partai," terang Darmawan.