Kongkalikong Gerindra di balik kursi DPR Mulan Jameela
Penyanyi Mulan Jameela telah resmi ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024. Dia dilantik bersama dengan 574 anggota DPR RI lain pada 1 Oktober 2019.
Mulan akhirnya dapat berlenggang ke Senayan mewakili Partai Gerindra dari Daerah Pemilihan Jawa Barat (Dapil Jabar) XI. Namun demikian, majunya Mulan bukan dikarenakan ia meraih suara terbayak. Mulan hanya menggantikan dua caleg Gerindra yang sebelumnya dinyatakan lolos dari dapil tersebut, yakni Ervin Luthfi dan Fahrul Rozi.
Hal tersebut sesuai dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pascamenerima tiga surat dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra. Surat pertama, yaitu surat bernomor 023A/BHADPPGERINDRA/IX/2019 pada tanggal 11 September 2019, perihal Penjelasan Kedua Soal Langkah Administrasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 520/Pdt/Sus.Parpol/2019/PN.Jkt.Sel.
Surat kedua, yakni Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Nomor 004A/SKBHA/DPPGERINDRA/IX/2019 tentang Pemberhentian Keanggotaan Sebagai Langkah Administrasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 520/Pdt.Sus.Parpol/ 2019/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Agustus 2019.
Kemudian, surat ihwal keputusan DPP Partai Gerindra Nomor 004B/SKBHA/DPPGERINDRA/IX/2019 tentang Pemberhentian Keanggotaan Sebagai Langkah Administrasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 520/Pdt.Sus.Parpol/ 2019/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Agustus 2019.
Surat-surat tersebut dikirim Partai Gerindra ke KPU merujuk kepada putusan hakim dalam gugatan yang sempat dilayangkan oleh Mulan beserta beberapa caleg Gerindra lainnya untuk menggugat rekan separtainya sendiri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hakim pun mengabulkan gugatan mereka, dan menyatakan beberapa caleg Gerindra yang tergugat, salah duanya Ervin dan Fahrul dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon terpilih anggota DPR RI.
Sebelumnya, Mulan Jameela dan beberapa caleg Gerindra gagal lainnya ke PN Jakarta Selatan dengan alasan, bahwa berdasarkan pasal 419 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penghitungan suara untuk legislatif dilakukan berdasarkan seluruh suara sah setiap partai politik. Merujuk pasal tersebut, mereka berdalih tidak ada caleg Gerindra yang terpilih. Oleh karenanya, menurut gugatan, Partai Gerindra-lah yang berhak menentukan siapa yang maju menjadi anggota DPR.
Bukan hanya putusan gugatan itu saja, alasan KPU membatalkan keterpilihan beberapa caleg Gerindra dan menggantikannya dengan Mulan beserta para penggugat juga didasari oleh status caleg tergugat yang telah dipecat oleh partainya. KPU, dalam hal ini mengaku hanya menjalani aturan, bahwa salah satu syarat sahnya caleg maju haruslah berstatus kader partai politik.
“Paramater KPU bukan putusan pengadilan. Yang paling vital sehingga kami harus melakukan proses pergantian karena sebelumnya kami juga telah menerima surat pemberhentian keanggotaan yang bersangkutan menjadi kader partai,” kata Komisioner KPU Evi Novita Ginting Manik kepada Alinea.id, Kamis (10/10).
Menurut Evi, KPU telah merima surat pemberhentian keanggotaan sebelum putusan gugatan dari hakim PN Jakarta Selatan mereka terima. Ia menjelasakan saat itu partai Gerindra terlebih dahulu mengirimkan surat pemberhentian keanggotaan atas beberapa caleg.
Berangkat dari itu, disusul dengan lampiran putusan hakim, KPU memutuskan untuk membatalkan keterpilihan beberapa caleg tersebut, di antaranya Ervin dan Fahrul. KPU merasa syarat yang harus mereka penuhi kemudian menjadi tidak sah ketika satus mereka bukanlah kader partai.
“Nah, ini kan menjadi salah satu syarat ya, bahwa seorang caleg dikatakan sah untuk menjadi caleg itu harus anggota partai politik. Kalau kemudian dicabut keanggotaannya maka itu kemudian tidaklah lagi memenuhi syarat. Itu ada di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum,” jelas Evi.
Evi menegaskan, pihaknya tidak langsung memutuskan begitu saja. KPU, dalam hal ini telah melakukan klarifikasi kepada Gerindra apakah caleg-caleg tersebut benar-benar dicabut statusnya sebagai kader. Gerindra pun telah menjelasakan alasan mereka mencabut. Namun, dikatakan Evi, alasan tersebut merupakan masalah internal partai. KPU tidak berhak mencampurinya.
Saat ditanya apakah KPU melakukan klarifikasi kepada caleg-caleg tersebut, Evi menerangkan hal itu tidak ada dalam aturan KPU. Menurut Evi, dalam aturan yang berlaku, KPU hanya memiliki urusan dengan partai politik. Alasannya yang menjadi peserta pemilu, dalam hal ini pileg, bukanlah individu melainkan partai yang mengusulkan calon-calonnya.
“Aturan kita memang tidak ada klarifikasi kepada calegnya kita hanya melakukan klarifikasi kepada partai politiknya. Karena partai politik yang mengeluarkan SK pengunduran mereka. Nah, soal mekanismenya itu kan bahwa itu mengikuti mekanisme internal di dalam partai politik yang diatur dalam AD/ART,” tegasnya.
Menjaga kemurnian suara
Langkah yang diambil oleh KPU ini kemudian mendapatkan kritikan keras dari Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Bukan hanya KPU, untuk masalah ini Titi juga mengkritik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dihubungi terpisah, Titi mengatakan, seharusnya KPU dan Bawaslu sebagi lembaga penyelenggara dan pengawasan pemilu tidak cepat mengambil keputusan. Bagi Titi, klarifikasi yang dilakukan KPU kepada Gerindra dirasa kurang dan tidak berimbang.
“Ketika misalnya seseorang itu diganti hanya karena alasannya dipecat, setidaknya prasyarat untuk kemudian pergantian itu harus dilakukan sesuai dengan aturan main dan prosedur. Seharusnya KPU melakukan klarifikasi juga kepada caleg apakah benar dia sudah dipecat, merima surat pemecatan. Kemudian, apakah dipecatnya melalui mekanisme sesuai dengan undang-undang partai,” ujar Titi secara terpisah.
Menurut Titi, KPU dan Bawaslu juga wajib memastikan bahwa pemecatan yang dilakukan oleh partai sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam prinsip demokrasi, harus ada keseimbangan. Oleh sebab itu alangkah lebih baik KPU dan Bawaslu berperan dalam hal ini.
Apalagi sistem pemilu di Indonesia mengacu pada sistem proporsional, daftar terbuka dan suara terbanyak berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu. Ditambah suara pemilih dalam pemilu menganut prinsip kedaulatan rakyat. Artinya siapa yang terpilih, merekalah yang dikehendaki oleh rakyat.
“KPU dan Bawaslu juga sebagai penyelenggara pemilu itu harus bekerja secara profesional, akuntabel, terbuka, berkeadilan, jujur dan adil (jurdil). Dalam konteks ini, maka KPU dan Bawaslu mestinya tidak tergesa-gesa melakukan pergantian calon, mereka harus memainkan perannya untuk menegakkan konsistensi kita di dalam menjalankan pemilu agar tetap terjaga dari kemurnian suara pemilih,” imbuh Titi.
Jika tidak demikian, secara tidak langsung KPU dan Bawaslu tidak merefleksikan prinsip keadilan dalam pemilu. Dikatakan Titi, hal ini patut menjadi evaluasi besar agar penyelenggara pemilu kedepan dapat menunjung tinggi demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Pasalnya dalam kasus sengketa jabatan caleg Gerindra ini, Titi melihat ada ketimpangan hak. Aroma otoritarianisme partai amat tercium. Ia melihat Gerindra sangat arogan ketika melakukan pemecatan dengan keputusan sepihak.
“Nyatanya kan mereka yang dipecat ini mengaku tidak tahu duduk perkaranya sehingga harus dipecat. Bahkan beberapa ada yang mengaku baru tahu setelah KPU memutuskan,” urai Titi.
Pemecatan yang dilakukan partai seharusnya juga mengikuti mekanisme sesuai dengan AD/ART partai. Setiap partai setahu Titi merupakan institusi demokrasi. Selain itu, partai politik juga menjunjung tinggi kedaulatan yang berada pada setiap anggota mereka.
Seluruh anggota partai politik memiliki haknya masing-masing. Maka dari itu, jika pemecatan dilakukan sepihak begitu saja, Titi menyebut Gerindra telah mencoreng marwah partai politik sebagai institusi demokrasi itu sendiri.
Jika pun Gerindra menganggap anggotanya yang dipecat telah melakukan pelanggaran kode etik, itu merupakan risiko partai. Seharusnya sejak awal Gerindra melakukan penyaringan seketat mungkin sebelum ia mencalonkan anggotanya menjadi caleg.
“Harusnya orang yang dipecat diberikan kesempatan juga untuk membela diri sehingga ada hak yang sama dan seimbang dari semua pihak dan tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena suara rakyat yang sudah diberikan itu sekali lagi harus dihormati. Itulah yang disebut dengan daulat rakyat. Daulat rakyat itu tidak bisa begitu mudah dan entengnya dinegasikan atau dikesampingkan,” urainya.
Kedaulatan rakyat ini tidak boleh dinegasikan atau dikesampingkan hanya karena menghendaki seseorang atau pihak-pihak yang menjadi selera partai saja. Hal ini yang dominan terlihat dari masalah caleg Gerindra.
Gerindra berdalih bahwa caleg yang dipecat sebagai anggota partai telah melakukan pelanggaran kode etik. Wakil Ketua Bidang Advokasi Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko mengklaim pemecatan caleg terpilih dilakukan karena mereka diputus melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Partai Gerindra.
Ia tidak merinci pelanggaran etik apa yang dilakukan oleh mereka. Namun demikian, salah satu etik yang telah dilanggar, kata Hendarsam adalah politik uang atau money politics. Menurutnya pelanggaran tersebut fatal karena Gerindra ingin menjaga catatan perwakilannya di DPR tak pernah terciduk kasus korupsi.
“Politik uang itu tindak pidana lho. Dan kalau menurut UU Pemilu kita yang punya otoritas menilai seseorang melakukan politik uang atau tidak, itu hanya di Bawaslu dan di pengadilan. Bawaslu melalui mekanisme pelanggaran administratif dan pengadilan melalui putusan penanganan tindak pidana. Nah, kalau memang partai mengetahui bahwa kader yang punya indikasi melakukan praktik politik uang, kenapa tidak melaporkan melalui jalur pidana? Harusnya partai juga berkontribusi bagi penegakan hukum agar tercipta keadilan pemilu,” urai Titi.
Konspirasi argumentasi
Sengketa jabatan anggota DPR RI Mulan dan caleg yang gagal ini nampaknya akan beranjak pada babak baru. Kendati Mulan telah dilantik sebagai anggota DPR RI, beberapa caleg yang merasa kursinya diambil oleh Mulan masih tidak menerima keputusan hakim PN Jaksel.
Bahkan, mereka berniat untuk menggugat hakim Pengadilan Negeri (PN) Jaksel, yang menerima gugatan Mulan Jameela, ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY). Mereka masih ingin berjuang karena merasa haknya telah dirampas dan pemecatan yang dilakukan oleh Gerindra tidak jelas duduk perkaranya.
Jika gugatan mereka diterima dan dikabulkan oleh MA dan KY, menurut Titi, seharusnya mereka dapat kembali mendapatkan haknya sebagai caleg terpilih. Artinya, Mulan beserta caleg yang telah menggugat mereka dan menggantikan posisi mereka di DPR RI harus mundur.
“Ya bisa saja. Kan memang harus tetap mengikuti putusan pengadilan, karena dalih Gerindra ketika memecat mereka untuk menaikkan Mulan juga mengikuti putusan pengadilan. Harusnya hukum bisa dilihat secara profesional,” kata Titi.
Sementara itu, saat dihubungi Alinea.id, Ervin membenarkan pihaknya tengah menyiapkan gugatan atas putusan hakim PN Jaksel. Dikatakannya, hingga sekarang ia dan beberapa caleg yang gagal melenggang ke Senayan, secara legal formal belum menerima dan akan terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Walau demikian, ia belum mau membicarakan secara detail langkah-langkah apa saja yang akan ia jalani.
Bagi Ervin, masih banyak ketidakjelasaan atas kasus yang mereka alami, apalagi hal ihwal pemecatan dari partai Gerindra. Menurutnya, hingga hari ini ia belum mengetahui apa sebenarnya alasan partai Gerindra memberhentikannya.
“Saya diberhentikan saja, saya baru tahu saat KPU mengeluarkan rilis. Ini kan tidak fair. Mereka bilang money politics, tapi kami saja tidak tahu dan merasa tidak pernah dipanggil partai untuk memberikan keterangan. Saya bilang ini tuh konspirasi argumentasi, toh nyatanya sudah ada caleg dari Gerindra yang dilaporkan terindikasi money politics tapi masih jadi kader. Jadi kan kalau argumennya kayak gitu, masyarakat bisa melihat kebodohannya,” ucap Ervin.
Ervin tidak ingin mengambil pusing mengenai tuduhan melanggar etik partai atau pun dianggap melakukan politik uang. Semuanya ia serahkan kepada pandapangan masyarakat, utamanya di dapil tempat ia mencalonkan diri. Ia amat yakin masyarakat di sana mengetahui kebebnaran yang sesungguhnya.
Terkait mekanisme mahkamah internal Partai Gerindra, Ervin juga mengaku mereka tidak pernah mengetahui nama-nama mereka dibahas di sana. Seharusnya, kata Ervin, sebagai partai politk di negara yang demokratis, jika ditemukan kesalahan-kesalahan etik anggota partai tersebut sejatinya diberikan kesempatan untuk menjelaskan.
“Mereka ini kan yang saya hadapi amat cakap dalam masalah hukum, mereka mencari celah dari aturan-aturan hukum yang bisa menendang kami. Jadi saya sendiri untuk sekarang masih mempersiapkan materi-materi gugatan secara komprehensif,” sambungnya.
Lebih jauh, Ervin juga mengatakan dalam kasusnya KPU juga turut bertanggung jawab. Ervin memandang KPU belum bertindak secara komprehensif guna menjaga proses demokrasi agar tidak parsialis. Kalaupun terjadi parsialitas, lanjut Ervin, hal ini menunjukkan bahwa lembaga tersebut tidak kredibel dalam melaksanakn tugasnya.
“KPU harusnya tidak langsung memutuskan. Semuanya perlu komprehensifitas dalam informasi. Jangan mendengar hanya dari satu sudut pandang. Kalau begitu yang dilakukan KPU menurut saya mencoreng dirinya sendiri. Saya bilang mereka tidak bisa diandalkan oleh seluruh masyarakat atau seluruh warga negara untuk menjaga hakikat dari hak demokrasi pemilu,” papar dia.