Risiko Pengrusakan Hutan Meningkat Jelang Pemilu 2024, Isu Lingkungan Wajib Diprioritaskan Pemerintah dan Para Peserta Pemilu
Para kontestan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diminta mengutamakan isu lingkungan. Pangkalnya, tengah terjadi krisis iklim global sehingga perlu komitmen untuk menanggulanginya dan "pesta demokrasi" merupakan momentum untuk memilih pemimpin yang memiliki agenda perlindungan lingkungan.
"Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan, dan lahan serta pengendalian krisis iklim," ucap Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, dalam TalkShop "Menjaga Hutan Tersisa: Nasib Hutan di Momen Politik 2024", Kamis (15/6).
Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Salma Zakiyah, mengingatkan, hutan alam Indonesia tersisa 9,7 juta ha. Hutan alam tersebut perlu dilindungi agar tidak memperparah krisis iklim.
"Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen," katanya. "Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan," tambahnya.
Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma mengungkapkan, 16,6 juta ha hutan alam berada di area perizinan berusaha pemanfaatan hutan pada hutan alam (PBPH HA), 3,5 juta ha di area konsesi minerba, 3,1 juta ha di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha di area PBPH pada hutan tanaman (HT). Indonesia akan sulit mencapai target iklim sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030 jika hutan alam di dalam izin-izin tersebut tak diselamatkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Mufti Barri, khawatir dengan tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. Dicontohkannya dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, terutama pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Di akhir era Orde Baru dan pemerintahan SBY, terjadi pelepasan hutan sekitar 275.000 ha dan sekitar 291.000 ha sesaat sebelum pergantian presiden," ujarnya. "Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik. Kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum."
"Kami juga berharap Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya, yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir," imbuh Mufti.
Adapun Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia selain pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, penegakan hukum menjadi kunci pelaksanaan safeguard meskipun standar Indonesia masih lemah.
"Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan presiden yang pro hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu, perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan," paparnya.
Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia (TII), menambahkan, politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik. Transparansi pendanaan para calon presiden (capres) dan calon anggota legislatif (caleg) pun menjadi hal penting yang harus dikemukakan.
"Kandidat calon presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam," jelasnya.
Ia pun meminta para pemilih tidak terfragmentasi saat pemilu. "Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pascapemilu."