Buku "Menjerat Gus Dur", antara harapan dan sangkaan halusinasi
Satu dasawarsa wafatnya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, 30 Desember 2019, terbit sebuah buku berjudul "Menjerat Gus Dur" (2019) karya Virdika Rizky Utama. Buku ini sontak menjadi perbincangan sekaligus memantik polemik banyak pihak. Pasalnya, buku terbitan Numedia Digital ini memuat sebuah dokumen rahasia yang ditulis oleh bekas Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII di era Soeharto, Fuad Bawazier.
Dokumen tersebut berisi ihwal sebuah operasi senyap beberapa tokoh yang dikepalai oleh Fuad. Tujuannya untuk menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden secara sistematis.
Operasi senyap itu, berdasarkan buku ini disebut sebagi skenario 'Semut Merah'. Tak tanggung-tanggung, sosok yang termaktub berperan penting ikut menggulingkan Gus Dur merupakan tokoh-tokoh kawakan dalam dunia perpolitikan di tanah air.
Beberapa tokoh yang disebut Fuad telah bersekongkol untuk menggulingkan Gus Dur di antaranya politikus senior Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, politikus senior PAN Amien Rais, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, dan mantan Ketua MK Hamndan Zoelva.
Bukan hanya itu, terdapat pula nama mantan hakim MK Patrialis Akbar, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Japto Soelistyo Soerjosoemarno, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta putra mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto yang bernama Bambang Trihatmodjo. Tokoh-tokoh ini memiliki perannya masing-masing.
Mengetahui isi dalam buku ini, PP Muhammadiyah angkat bicara. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto atau akrab disapa Cak Nanto menerangkan, banyak data dalam buku "Menjerat Gus Dur" itu tidak valid.
Cak Nanto membantah keterlibatan seniornya di PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang dalam dokumen pada buku itu dikatakan berperan menggulingkan Gus Dur dengan cara mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto.
"Di sana kan ada keterangan Pak Din ikut menjerat. Padahal, yang kami ketahui, Pak Din mau proses menjadi guru besar kalau tidak salah. Pak Din bahkan tidak banyak pertemuan pada waktu itu," kata Cak Nanto kepada Alinea.id, Rabu (1/1).
Cak Nanto menegaskan, data yang diungkapkan dalam dokumen yang terdapat di buku "Menjerat Gus Dur" terlalu mengada-ngada. Penulis, kata dia, harus hati-hati dalam menyatut nama seseorang.
Adanya nama beberapa tokoh itu juga dikhawatirkan dapat memecah belah. Ia menilai, apa yang ditulis oleh Virdika merupakan hal yang tidak penting untuk dibesarkan.
"Pak Din sudah menyampaikan dia tidak terlibat dalam hal itu. Bahkan yang paling berperan waktu itu kepemimpinan Muhammadiyah ada di tangan Buya Syafii (Ahmad Syafii Ma'arif)," terangnya.
Pengaruh Din Syamsuddin, kata Cak Narto, sangatlah minim. Maka dari itu, menurut Cak Nanto, penulis tidak memahami konteks situasi politik saat itu.
Cak Nanto curiga buku ini sengaja dibuat guna menghidupkan emosi lama untuk menyudutkan agar hubungan NU dan Muhammadiyah tidak akur kembali. Cak Nanto mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan isi buku ini.
"Sekarang harusnya kita menatap langkah ke depan. Apa yang saya kira sudah terbangun, jangan sampai alau terjebak dengan masalah orang lain yang fakta sejarahnya sebenarnya masih banyak yang hidup, aktor politiknya masih banyak yang hidup. Makin dihamburkan malah makin mencoreng niat-niat tidak benar dalam konteks itu," ujar dia.
Halusinasi penulis
Salah satu tokoh yang juga disebutkan berperan penting menggulingkan Gus Dur, Hidayat Nur Wahid tegas membantah isi dokumen itu.
Hidayat yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera) dikatakan berperan dalam mengorganisir mahasiswa untuk mengepung Senayan guna memberikan tekanan kepada DPR agar menerima hasil kerja pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan kekuasaan (abuse of power).
Ia menggerakan mahasiswa bersama Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh Ali Marwan Hanan, massa PBB di bawah Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah Patrialis Akbar, serta massa rakyat dan preman yang diorganisir oleh Japto dan DPP Pemuda Pancasila.
Dihubungi terpisah, Hidayat lantang mengatakan bahwa narasi yang dibangun dalam buku tersebut sangat tendensius dan terkesan seperti halusinasi penulis semata. Ia heran, mengapa ada orang yang tega melakukan hal demikian. Pimpinan MPR RI ini menduga ada kepentingan khusus di balik terbitnya buku Menjerat Gus Dur.
"Untuk kepentingan apa? Wajar saja kalau ada yang menduga, jangan-jangan itu bagian dari skenario pengalihan isu dari isu-isu besar yang tengah melanda Indonesia untuk kemudian ditutup dengan isu ini," papar Hidayat dengan nada jengkel.
Sama dengan Cak Nanto, menurut dia isi buku ini hanya akan mengadu domba umat, terutama dirinya beserta PKS dengan keluarga Gus Dur, juga Nahdliyyin. Ia sendiri mengaku tidak pernah mendengar istilah skenario 'Semut Merah'.
Selain itu, Hidayat menerangkan, bahwa dirinya tidak pernah terlibat secara aktif dengan tokoh-tokoh yang disebutkan. Ia juga merasa aneh lantaran skenario tersebut baru dimunculkan sekarang.
Satu dasawarsa wafatnya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, 30 Desember 2019, terbit sebuah buku berjudul "Menjerat Gus Dur" (2019) karya Virdika Rizky Utama. Buku ini sontak menjadi perbincangan sekaligus memantik polemik banyak pihak. Pasalnya, buku terbitan Numedia Digital ini memuat sebuah dokumen rahasia yang ditulis oleh bekas Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII di era Soeharto, Fuad Bawazier.
Dokumen tersebut berisi ihwal sebuah operasi senyap beberapa tokoh yang dikepalai oleh Fuad. Tujuannya untuk menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden secara sistematis.
Operasi senyap itu, berdasarkan buku ini disebut sebagi skenario 'Semut Merah'. Tak tanggung-tanggung, sosok yang termaktub berperan penting ikut menggulingkan Gus Dur merupakan tokoh-tokoh kawakan dalam dunia perpolitikan di tanah air.
Beberapa tokoh yang disebut Fuad telah bersekongkol untuk menggulingkan Gus Dur di antaranya politikus senior Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, politikus senior PAN Amien Rais, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, dan mantan Ketua MK Hamndan Zoelva.
Bukan hanya itu, terdapat pula nama mantan hakim MK Patrialis Akbar, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Japto Soelistyo Soerjosoemarno, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta putra mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto yang bernama Bambang Trihatmodjo. Tokoh-tokoh ini memiliki perannya masing-masing.
Mengetahui isi dalam buku ini, PP Muhammadiyah angkat bicara. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto atau akrab disapa Cak Nanto menerangkan, banyak data dalam buku "Menjerat Gus Dur" itu tidak valid.
Cak Nanto membantah keterlibatan seniornya di PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang dalam dokumen pada buku itu dikatakan berperan menggulingkan Gus Dur dengan cara mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto.
"Di sana kan ada keterangan Pak Din ikut menjerat. Padahal, yang kami ketahui, Pak Din mau proses menjadi guru besar kalau tidak salah. Pak Din bahkan tidak banyak pertemuan pada waktu itu," kata Cak Nanto kepada Alinea.id, Rabu (1/1).
Cak Nanto menegaskan, data yang diungkapkan dalam dokumen yang terdapat di buku "Menjerat Gus Dur" terlalu mengada-ngada. Penulis, kata dia, harus hati-hati dalam menyatut nama seseorang.
Adanya nama beberapa tokoh itu juga dikhawatirkan dapat memecah belah. Ia menilai, apa yang ditulis oleh Virdika merupakan hal yang tidak penting untuk dibesarkan.
"Pak Din sudah menyampaikan dia tidak terlibat dalam hal itu. Bahkan yang paling berperan waktu itu kepemimpinan Muhammadiyah ada di tangan Buya Syafii (Ahmad Syafii Ma'arif)," terangnya.
Pengaruh Din Syamsuddin, kata Cak Narto, sangatlah minim. Maka dari itu, menurut Cak Nanto, penulis tidak memahami konteks situasi politik saat itu.
Cak Nanto curiga buku ini sengaja dibuat guna menghidupkan emosi lama untuk menyudutkan agar hubungan NU dan Muhammadiyah tidak akur kembali. Cak Nanto mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan isi buku ini.
"Sekarang harusnya kita menatap langkah ke depan. Apa yang saya kira sudah terbangun, jangan sampai alau terjebak dengan masalah orang lain yang fakta sejarahnya sebenarnya masih banyak yang hidup, aktor politiknya masih banyak yang hidup. Makin dihamburkan malah makin mencoreng niat-niat tidak benar dalam konteks itu," ujar dia.
Halusinasi penulis
Salah satu tokoh yang juga disebutkan berperan penting menggulingkan Gus Dur, Hidayat Nur Wahid tegas membantah isi dokumen itu.
Hidayat yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera) dikatakan berperan dalam mengorganisir mahasiswa untuk mengepung Senayan guna memberikan tekanan kepada DPR agar menerima hasil kerja pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan kekuasaan (abuse of power).
Ia menggerakan mahasiswa bersama Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh Ali Marwan Hanan, massa PBB di bawah Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah Patrialis Akbar, serta massa rakyat dan preman yang diorganisir oleh Japto dan DPP Pemuda Pancasila.
Dihubungi terpisah, Hidayat lantang mengatakan bahwa narasi yang dibangun dalam buku tersebut sangat tendensius dan terkesan seperti halusinasi penulis semata. Ia heran, mengapa ada orang yang tega melakukan hal demikian. Pimpinan MPR RI ini menduga ada kepentingan khusus di balik terbitnya buku Menjerat Gus Dur.
"Untuk kepentingan apa? Wajar saja kalau ada yang menduga, jangan-jangan itu bagian dari skenario pengalihan isu dari isu-isu besar yang tengah melanda Indonesia untuk kemudian ditutup dengan isu ini," papar Hidayat dengan nada jengkel.
Sama dengan Cak Nanto, menurut dia isi buku ini hanya akan mengadu domba umat, terutama dirinya beserta PKS dengan keluarga Gus Dur, juga Nahdliyyin. Ia sendiri mengaku tidak pernah mendengar istilah skenario 'Semut Merah'.
Selain itu, Hidayat menerangkan, bahwa dirinya tidak pernah terlibat secara aktif dengan tokoh-tokoh yang disebutkan. Ia juga merasa aneh lantaran skenario tersebut baru dimunculkan sekarang.
Harusnya menurut Hidayat, isu 'spektakuler' ini, maksimal dimunculkan setelah Gus Dur tidak menjadi presiden. Agar lebih jelas, harusnya ini dibeberkan ketika Gus Dur masih hidup.
"Tapi kenapa baru sekarang? Setelah 10 tahun Gus Dur wafat, dan setelah 'berkali-kali pemilihan presiden terjadi', termasuk posisi Gus Dur dan PKB sudah berganti. Maka menjadi aneh baru kali ini itu diungkap. Sekali lagi, untuk kepentingan apa?" kata dia.
Langkah Hukum
Buku ini sudah telanjur banyak terjual di masyarakat, khususnya bagi kalangan Nahdliyin. Sejak diterbitkan, buku ini bahkan ludes dengan waktu yang cukup cepat.
Melihata keadaan demikian, Hidayat mengatakan, ia dan PKS akan mencermati perkembangan dari peredaran buku tersebut. Sejauh mana dampak di lapanganya.
"Kalau kemudian dampaknya menghasilkan fitnah serius, tentu kami akan mengambil langkah hukum," tegas dia.
Ia memaparkan beberapa bukti bahwa dirinya tidak pernah terlibat dengan skenario 'Semut Merah'. Pertama, ia mengaku memiliki hubungan baik dengan Gus Dur.
Dikatakan Hidayat, kerap kali mereka berjumpa dan saling silaturahmi ke kediaman masing-masing. Bahkan ia mengaku sering mendapatkan guyonan dari Gus Dur sebagai tanda kedekatan mereka.
"Saya pernah di kantor beliau, beliau juga seringkali guyonan dengan saya dalam beragam momentum, dalam pertemuan terbuka. Dan saya juga pernah seringkali silaturahmi ke rumah beliau," ucap Hidayat.
Bukan hanya dengan Gus Dur, ia juga mengaku akrab dengan keluarganya. Oleh sebab itu, ia meminta agar hubungan tersebut tidak dinodai dengan fitnah.
Begitupun dengan PKS. Diterangkan Hidayat, hubungan PKS dan keluarga Gus Dur tidak pernah ada masalah. Sebagai contoh, kata dia, PKS diundang dalam acara haul satu dawarsa Gus Dur di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
"Ada Pak Mardani diundang. Beliau yang juga pernah menjadi pimpinan daripada pemuda PKS itu diundang di rumahnya, di kediaman almarhum Gus Dur di Ciganjur. Kemudian di Tebu Ireng itu juga Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim itu juga diundang untuk berdialog publik, sekaligus memperingati haul Gus Dur," urai Hidayat.
Melihat hal tersebut, Hidayat berharap masyarakat bisa berfikir logis. Dia menerangkan, jika ia dan PKS dianggap terlibat dalam menggulingkan Gus Dur, undangan tersebut secara logika tidak akan pernah ada.
Kendati demikian, Hidayat yakin masyarakat NU dapat berfikir rasional. Menurutnya, Nahdliyin pasti bisa memilah mana informasi fitnah atau fakta.
"Saya ingatkan untuk masyarakat NU dapat waspada juga akan upaya mengadu domba antara NU dan PKS, antara keluarga besar Gus Dur dan keluarga besar PKS," paparnya.
Bukan masalah dendam
Ketua Umum Barisan Kader (Barikade) Gus Dur Priyo Sambadha berpendapat, dokumen Fuad Bawazier yang termaktub dalam buku karya Virdika merupakan kronologi yang masuk akal. Nyatanya, kata dia, pelengseran Gus Dur memang sebuah gerakan politik.
"Jadi yang dituduhkan seperti isu yang berkembang, seperti kasus Buloggate dan Bruneigate dan seterusnya menurut saya tidak ada hubungannya dengan pelengseran Gus Dur. Karena itu juga secara yuridis tidak pernah terbukti dan tidak pernah menjadikan sebuah pengadilan," kata Priyo saat dihubungi.
Kendati menyebut pelengseran Gus Dur senagai gerakan politik, ihwal aktor-akto yang menggulingkan Gus Dur, Priyo mengatakan, sebaiknya hal itu ditelaah lebih jauh lagi.
Namun melihat nama-nama yang disebutkan, ia menerangkan bisa saja benar adanya. Pasalnya tokoh-tokoh tersebut, kata Priyo, saat itu berada pada posisi penting.
"Harapan kami sebetulnya, memang pelengseran Gus Dur sebagai presiden bisa ditemukan kejelasannya. Sehingga generasi muda itu bisa memahami betul apa yang saat itu terjadi," ujar Priyo.
Sejarah harus diperjelas demi kemajuan bangsa. Menguak sejarah, tegas dia, bukan berarti dendam atau mengadu domba. Sejarah memang harus jelas dan objektif dibuka.
"Kami tetap berharap bahwa fakta sejarah itu bisa terbuka seobjektif mungkin agar bangsa bisa belajar," tutupnya.