Sepak terjang para pendengung: Dari Dewi Tanjung hingga Andi Arief
Dibalut pakaian serba hitam, politikus Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Dewi Tanjung menyambangi kantor Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Jalan Medan Merdeka, Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (14/1) lalu. Di belakang Dewi, puluhan orang "membuntuti".
Dewi cs menamakan diri mereka kelompok Aksi Jakarta Bergerak. Kedatangan mereka untuk memprotes kinerja buruk Anies dalam menangani banjir di DKI Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Dewi menyebut aksi itu digelar dengan niatan melengserkan Anies.
"Presiden saja bisa lengser. Soeharto saja bisa lengser. Apalagi, cuma gubernur. Kami akan (protes) ke DPRD juga akan tembus ke Kemendagri juga akan tembus ke Presiden," kata Dewi di sela-sela aksi.
Dewi dan rekan-rekannya tak bertahan lama di depan Balai Kota. Pasalnya, kelompok Aksi Jakarta Bergerak dihadang massa pro-Anies. Kelompok massa yang menamakan diri Bang Japar itu bersiaga di balik pagar Balai Kota.
Kedua kelompok massa sempat bentrok. Kelompok Dewi dipaksa mundur ke arah Patung Kuda Arjuna Wijaya. Dewi bahkan mengaku dicaci dan sempat kena timpuk botol. "Saya demo dia, kenapa dia keberatan. Selama ini, mereka (massa pro-Anies) suka demo," kata Dewi saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Dewi mengatakan, demo di Balai Kota murni inisiatif pribadi. Menurut Dewi, PDI-P tak pernah menugaskannya memprotes Anies. "Itu murni perasaan hati saya. Saya memang warga DKI, KTP DKI, Jakarta Selatan. Jadi, wajar dong mengkritik pemimpin. Mereka tuh juga suka mengkritik pemerintah pusat. Masa saya tidak boleh mengkritik pemerintah daerah sekelas Anies Baswedan," kata Dewi.
Nama Dewi bukan kali ini saja disorot. Awal November 2019, Dewi melaporkan penyidik KPK Novel Baswedan ke Polda Metro Jaya. Laporan polisi itu tertuang pada nomor LP/7171/XI/2019/PMJ/Dit. Krimsus.
Perempuan yang bernama asli Dewi Ambarwati menilai Novel telah merekayasa kasus penyiraman air keras. Menurut Dewi, dalam kasus tersebut banyak kejanggalan. Kepada pewarta, Dewi menyinggung efek air keras yang tidak merusak pipi Novel.
Belakangan, tudingan Dewi terbukti keliru. Bareskrim Polri menangkap dua anggota Polri aktif berinisial RB dan RM sebagai pelaku penyiraman. Dewi kembali menepis adanya perintah partai dalam laporan ini. "Enggak ada sama sekali," ujar mantan artis sinetron itu.
Dewi memang terkenal sebagai tukang lapor. Sebelum melaporkan Novel Baswedan, wajahnya kerap nongol di Polda Metro Jaya untuk membuat laporan. Pada Pilpres 2019 lalu, Dewi melaporkan Eggi Sudjana, pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Bachtiar Nasir.
Keempat orang itu berada di barisan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) di Pilpres 2019. Artinya, keempatnya merupakan lawan politik PDI-P yang mengusung Joko Widodo-Maruf Amin (Jokowi-Ma'ruf).
Seperti demo Anies dan laporan dugaan rekayasa kasus Novel, Dewi juga menepis jika semua itu dilakukan atas perintah partai. Menurutnya, kritik dan laporan-laporan yang ia layangkan ke Polda Metro Jaya murni sebagai inisiatif pribadi.
"Enggak ada (perintah partai). Saya cuma kader biasa, bukan orang hebat di partai. Saya cuma nyaleg doang di PDI-Perjuangan. Bukan siapa-siapa saya di PDI-Perjuangan. Cek saja di PDI-Perjuangan," katanya sebelum menutup sambungan telepon.
Dewi bukan satu-satunya politikus yang aktivitasnya berselimut kontroversi. Di Partai Demokrat, peran sebagai pelontar isu dipegang Andi Arief. Jika Dewi "aktif" di Polda, Andi lebih sering bikin gaduh via media sosial.
Pada Pilpres 2019 misalnya, Wasekjen Demokrat itu sempat mengembuskan isu Prabowo meminang Sandiaga Uno sebagai pendamping karena iming-iming duit. Di akun Twitternya, Andi bahkan sempat menyebut Prabowo sebagai "jenderal kardus".
Via cuitan di Twitter, Andi juga turut memviralkan isu keberadaan kontainer surat suara dari China yang sudah dicoblos untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf di Tanjung Priok. Isu itu terbukti hoaks setelah KPU, Bawaslu, dan Bea Cukai mengecek langsung ke lapangan.
Memasuki 2020, Andi kembali bikin heboh. Ia menuding Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto terseret dalam kasus suap komisioner KPU Wahyu Setyawan.
Jika benar ada dua staf sekjend Hasto Kristiyanto dengan inisial S dan D juga ikut OTT KPK bersama caleg Partai tersebut, maka apa arti sebuah tangisan?
— andi arief (@AndiArief__) January 9, 2020
Andi bahkan menuding Hasto menyembunyikan eks caleg PDI-P Harun Masiku yang kini berstatus buron. Masiku ditengarai menyuap Wahyu agar bisa menjadi anggota DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
"Saatnya Hasto jujur menjelaskan di mana Harun Masikhu. Bukan malah membayar buzzer. Sejuta buzzer gak akan bisa menghapus fakta," cuit Andi via akun Twitter pribadinya @AndiArief_.
Cuitan Andi itu sempat membuat politikus PDI-P Henry Yosodiningrat naik pitam. Menurut Henry, Andi tengah berhalusinasi karena ketergantungan narkoba. Andi memang pernah ditangkap karena mengonsumsi sabu.
"Jangan percaya Andi Arief. Omongannya ngelantur karena dia pecandu narkoba. Ucapan Andi Arief ini asal njeplak, tendensius. Enggak ada ucapan dia yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Henry di Jakarta, Selasa (23/1) lalu.
Dibela partai
Ditemui Alinea.id usai rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1), Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan tak ada yang salah dengan sepak terjang Andi Arief di jagat maya. Menurut dia, Andi hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang politikus di Demokrat.
"Bukan hanya Bung Andi Arief, ada Rachland Nashidik. Ada banyak tim. Saya kira itu fungsi kami sebagai partai politik untuk melakukan pengawasan. Tidak ada yang salah di situ. Itu bagian dari kami untuk melakukan kritik, pengawasan agar semua instrumen kelengkapan negara menjalankan tugasnya," kata Hinca.
Disinggung soal blunder Andi pada kasus hoaks tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos di Pilpres 2019 lalu, Hinca mengatakan, Demokrat tak pernah menginstruksikan Andi untuk mengembuskan isu itu. Namun, menurut Hinca, Demokrat tak menyalahkan Andi.
"Semua kader Demokrat itu memiliki pengetahuan yang cukup. Untuk itu, dan saya kira itu tugasnya. Tidak mesti harus perintah DPP. Semua kader, sepanjang dia lihatnya ada yang enggak benar, ya, harus bersuara," kata dia.
Meskipun kerap memicu "perang" lewat isu-isu yang diembuskannya, Hinca menegaskan, perilaku Andi masih sesuai aturan main di Demokrat. Perangai Andi, kata Hinca, justru seharusnya jadi anutan bagi politikus lain. "Sulit sekali mencari politisi sekelas Andi Arief," kata dia.
Diakui Hinca, Andi punya posisi khusus sebagai salah satu "penyerang" di Demokrat. Tugasnya ialah "menguliti" kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa melenceng dan menyuarakan isu-isu yang menjadi perhatian
"Saya punya 13 wakil sekjen. Kalau main bola itu ada penyerang kiri, penyerang kanan. Biasa itu. Sampai sekarang enggak ada yang salah dengan Andi Arief. Kalau ada yang salah kan saya sekjennya. Saya enggak pernah mengatakan ada sesuatu yang salah," ujar Hinca.
Selain Andi dan Dewi, sepak terjang serupa juga ditunjukkan Arief Poyuono di Gerindra dan Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat.
Belum lama ini, Arief--yang partainya sudah bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf--mengembuskan isu dugaan duit korupsi Jiwasraya mengalir ke kas dana kampanye Jokowi di Pilpres 2019. Adapun Humphrey sempat mengungkapkan isu mahar sebesar Rp500 miliar bagi calon menteri Jokowi.
Berbau kepentingan politik
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan era media sosial memang memungkinkan politikus menebar isu di ruang publik. Isu-isu tersebut potensial menjadi besar karena tengah hangat diperbincangkan dan turut disebarluaskan media konvensional.
"Kita lihat, misalnya, Andi Arief. Ketika dia men-twit isu-isu politik tertentu, maka kemudian twit-nya itu dikutip media massa mainstream dan menjadi pembahasan di media sosial. Ya, memang sekarang politisi tidak harus bikin press conference," kata Qodari saat dihubungi Alinea.id, Kamis (23/1).
Lebih jauh, Qodari mengatakan politikus selalu memiliki agenda tertentu saat menyebarluaskan sebuah informasi. Karena itu, media massa sebaiknya tak menelan mentah-mentah "dengungan" kelompok politikus di jagat maya.
"Medsos itu banyak distorsinya. Justru media massa harus jadi arena clearing house bagi isu-isu yang beredar di medsos. Jangan ikut-ikutan gaya medsos, transaksional, kemudian tidak ada cover both side," kata dia.
Pernyataan senada diutarakan pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad. Menurut Nyarwi, para politikus kini kerap menggunakan media sosial untuk membingkai isu. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna medsos terbesar.
"Itu hal yang normal saja bagi para politisi saat ini. Tidak hanya mereka, dulu Pak Mahfud MD sebelum jadi Menkopolhukam termasuk sosok politisi yang rajin merespons berbagai isu melalui sosmed. Dalam hal ini Twitter," kata Nyarwi saat dihubungi Alinea.id, Rabu (22/1).
Menurut Nyarwi, sulit untuk mengetahui apa intensi para politikus dalam menebar isu di media sosial. Namun demikian, ia berharap para elite politik tetap mengedepankan etika dalam berkomunikasi di ruang publik.
Terlebih, lanjut Nyarwi, bukan tidak mungkin mereka turut menyebarkan informasi bohong via media sosial. "Apalagi, jika memicu keonaran publik. Itu bukan saja kurang etis, namun bisa memiliki konsekuensi hukum. Konsekuensi itu dikategorikan pelanggaran hukum," ujar dia.