close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seorang warga yang menyalurkan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang bersifat langsung./ Garudayaksa
icon caption
Ilustrasi seorang warga yang menyalurkan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang bersifat langsung./ Garudayaksa
Politik
Selasa, 10 April 2018 14:58

KPK bantah mendukung pemilu tak langsung

Sebanyak 122 perkara korupsi DPRD yang ditangani KPK jadi indikasi, korupsi selalu berkelindan dengan persoalan anggaran dan wewenang.
swipe

“Tidak tepat jika kita mengkambinghitamkan sistem pilkada langsung yang sudah kita pilih sebelumnya, sebagai salah satubentuk proses demokrasi di Indonesia seolah menjadi penyebab korupsi,” kata juru bicara KPK, Febri Ardiansyah, Selasa (10/4).

Meski ia tak memungkiri, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah acap kali terjadi. Sejak awal 2018 saja, telah muncul delapan kasus korupsi yang menyeret kepala daerah. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menjadi pesakitan KPK kendati masih berstatus sebagai pemimpin aktif. Terakhir tadi malam (9/4) Gubernur Zumi Zola ditetapkan sebagai tahanan KPK, usai menjalani pemeriksaan sejak pukul 10.00.

Tak hanya pemimpin daerah, belakangan ini KPK mengumumkan 38 nama DPRD Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai tersangka. Sampai saat ini KPK masih terus melakukan pemeriksaan saksi terkait.

Persoalan tersebut membuat Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD. Kementerian Dalam Negeri pun sepakat dengan DPR untuk mengevaluasi pelaksanaan pilkada langsung seperti dilansir Antara.

Febri lantas membantah tegas jika lembaga antirasuah ini disebut-sebut menjadi motor yang mengusulkan pemilihan tak langsung.

“Kami tegaskan hal tersebut tidak benar. KPK tidak pernah menyimpulkan apalagi mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD.”

Menurutnya korupsi dapat terjadi pada saat dipilih DPRD ataupun secara langsung. Biaya kontestasi politik yang tinggi justru masalah yang lebih penting untuk diselesaikan. Alih-alih menghapus hajatan demokrasi, ongkos politik mahal diduga jadi faktor pemicu maraknya praktik korupsi. Entah dialokasikan untuk mahar politik maupun ongkos lain-lain guna mendukung pencalonan mereka di pilkada.

Ia menambahkan sampai saat ini 122 perkara korupsi yang melibatkan anggota DPRD telah diproses KPK. Hal itu menggambarkan pembuktian KPK, dalam menangani kasus selalu terkait penyelewengan anggaran dan wewenang.

“Kami sudah membuktikan dalam sejumlah kasus yg ditangani, bahwa kewenangan pembentukan regulasi, anggaran dan bahkan pengawasan diselewengkan dengan imbalan sejumlah uang,” katanya.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan