close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera.Foto: Istimewa.
icon caption
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera.Foto: Istimewa.
Politik
Senin, 18 April 2022 16:18

Krisis Sri Lanka, PKS sentil tingginya utang pemerintah

Sri Lanka yang saat ini terlilit utang mencapai Rp732,2 triliun harusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia. 
swipe

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengingatkan pemerintah untuk belajar dari krisis Sri Lanka. Menurut dia, tingginya utang pemerintah yang kini telah mencapai angka Rp7.014,58 triliun dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 40,17% perlu diwaspadai.

"Utang bagaimanapun buruk. Angka Rp7.000 triliun yang lebih dari 40% PDB tentu mengkhawatirkan. Tentu pemerintah perlu waspada dan menyiapkan langkah mengamankan risiko akibat utang ini," ujar Mardani di Jakarta, Senin (18/4).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah telah berada di angka Rp7.014,58 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 40,17%.

Berdasarkan dari laporan APBN KiTa edisi Maret 2022, peningkatan total utang pemerintah ini seiring dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman pada bulan Februari 2022. Utang itu diklaim untuk menutup pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mardani berpendapat, negara Sri Lanka memang tidak sebanding dengan Indonesia baik secara populasi maupun pendapatan secara ekonomi. Namun demikian, Sri Lanka yang saat ini terlilit utang mencapai Rp732,2 triliun harusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia. 

"Saya yakin kita beda dengan Sri Lanka. Kita lebih kuat dan lebih besar. Tapi pemerintah perlu waspada. Risiko bisa naik," tegas dia.

Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya senilai US$51 miliar (Rp732 triliun) di tengah krisis ekonomi terburuk selama lebih dari 70 tahun terakhir sejak tahun 1948.

Beberapa penyebabnya adalah kurangnya devisa negara yang membuat Sri Lanka tidak mampu membayar impor bahan pangan pokok dan bahan bakar. Kelangkaan parah membuat harga-harga kebutuhan pokok meroket.

Pemadaman listrik di Sri Lanka sudah berlangsung secara rutin di separuh hari atau lebih, ditambah dengan kekurangan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar minyak (BBM) membuat publik marah. Tuntutan mereka terhadap pengunduran diri presiden semakin besar.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan