Pernyataan Ketua DPR Puan Maharani agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jamiman Hari Tua (JHT) ditinjau ulang dinilai hanya sebagai gimik politik belaka.
"Sebagai pimpinan legislatif semestinya Ibu Puan paham bahwa fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah tidak cukup disampaikan lewat kritik. Sebab kritik itu domainnya rakyat, bukan levelnya wakil rakyat. Dalam skema demokrasi, tugas parlemen bukan mengkritisi, tetapi mengoreksi," kata Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh, Said Salahudin kepada Alinea.id, Kamis (17/1).
Said menegaskan, tanpa langkah konkret untuk menyoalnya, kritik Puan terhadap penerbitan Permenaker JHT hanya akan dianggap sebagai sebuah kelatahan politik. Menurut dia, DPR tidak cukup bekerja dengan narasi, tetapi juga harus disertai aksi.
"Kalau ada kebijakan pemerintah yang dipandang melawan konstitusi, hal itu semestinya diproses lewat penggunaan Hak Interpelasi!" ujarnya.
Menurut Said, jika Permenaker 2/2022 dianggap perlu diperbaiki, maka dalam merespons beleid itu, Puan sebagai pimpinan DPR seharusnya lebih mengedepankan mekanisme yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Dalam norma tersebut tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak oleh konstitusi untuk antara lain mengajukan Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Apalagi, kata dia, JHT merupakan persoalan yang penting, strategis, dan berdampak yang luas karena selain menyangkut nasib ratusan juta buruh.
"Ada dana kelolaan senilai Rp372,5 triliun rupiah di situ. Nah, mengapa tidak hak konstitusional itu saja yang digunakan oleh Ibu Puan dalam menyoal Permenaker 2/2022? Sebagai Ketua DPR saya kira posisi beliau sangat strategis untuk menginisiasi penggunaan Hak Interpelasi terkait kebijakan JHT," kata Said.
Dia menambahkan, kalau dalam pelaksanaan Hak Interpelasi itu ditemukan adanya motif atau kepentingan tertentu dari Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah atas penerbitan Permenaker tersebut, maka DPR tidak saja harus mendorong pencabutan aturan tersebut, tetapi juga perlu merekomendasikan kepada presiden untuk memberhentikan bawahannya itu.
Sebelumnya, Puan menyebut, Permenaker yang baru dikeluarkan ini memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.
"Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Dan sekali lagi, JHT adalah hak pekerja," ujar Puan pada Rabu (16/2).
Meski para pekerja yang terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup. Puan menilai, JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.
Oleh karenanya, Puan meminta agar Permenaker 2/2022 ditinjau kembali. Ia juga mengingatkan pemerintah untuk melibatkan semua pihak terkait untuk membahas persoalan JHT, termasuk perwakilan para pekerja/buruh dan DPR.