Sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan mantan napi korupsi untuk maju menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) kian menjadi polemik. Keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan semangat antikorupsi, yang diimplementasikan oleh Komisi Pemilihan Umum dengan melarang mantan napi korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif (Pileg).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mengatakan persoalan itu terjadi karena adanya intervensi penafsiran hukum yang dilakukan oleh Bawaslu. Padahal Bawaslu seharusnya berpijak pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, karena telah diundangkan dan bersifat mengikat.
"Masalahnya disebabkan oleh intervensi Bawaslu dalam penafsiran hukum, padahal ketika peraturan tersebut diundangkan, berarti sudah sah harus berlaku," katanya di Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (6/9).
Mahfud mengatakan Bawaslu tak bisa bertindak seakan menolak peraturan tersebut, karena tak punya kewenangan untuk melakukannya. Adapun yang berwenang menolak peraturan tersebut hanyalah Mahkamah Agung (MA).
"Dengan Bawaslu turut campur, keadaan jadi kacau seperti ini. Akhirnya yang dulu sudah taat, karena Bawaslu membolehkan, sekarang mereka pada minta daftar baru, jadi kacau nih masalah ," ucapnya menjelaskan.
Karenanya Mahfud menyarankan agar putusan Bawaslu diabaikan, sembari menunggu hasil Judicial Riview PKPU Nomor 20 Tahun 2018 di MA.
"Menurut saya, keputusan Bawaslu itu harus diabaikan saja. Kita tunggu saja putusan MA soal Judicial Riview PKPU itu, kan itu sudah sah diundangkan. Dan sesuatu yang sudah sah dan diundangkan itu mengikat, kecuali dicabut oleh MA," katanya.
Bawaslu sebelumnya telah meloloskan 12 bacaleg mantan napi korupsi. Bawaslu menilai hal tersebut tak bermasalah, karena sudah sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.