close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menkumham Yasonna Laoly menjadi perwakilan pemerintah dalam paripurna pengesahan UU MD3/AntaraFoto.
icon caption
Menkumham Yasonna Laoly menjadi perwakilan pemerintah dalam paripurna pengesahan UU MD3/AntaraFoto.
Politik
Selasa, 13 Februari 2018 12:25

Kritik terhadap DPR dan presiden bisa berujung pidana

Batasan antara kritik dan penghinaan tak dijabarkan secara jelas dalam UU MD3 dan RKUHP.
swipe

Ruang kritik terhadap DPR semakin menyempit setelah rapat paripurna kemarin menyepakati revisi UU MD3 menjadi UU. Salah satu poin yang turut disahkan ialah ketentuan Pasal 122 huruf k yang berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut ada keanehan dalam pasal itu, yakni munculnya perluasan wewenang MKD untuk memproses entitas di luar anggota DPR. Padahal, kewenangan MKD kata dia adalah mengurus etika anggota dewan.

“Ada keanehan jika dikasih wewenang memproses hukum di luar DPR. Semula hanya berwenang persoalan etika anggota, tapi diperluas mengurus etika publik,” terang Lucius saat berbincang dengan Alinea, Selasa (13/2).

Pasal 122 huruf k juga dianggap rentan untuk membungkam sikap kritis publik. Apalagi, tak disebutkan detail apa saja yang dikategorikan merendahkan martabat DPR. Lucius pun mengindikasikan adanya tendensi pembajakan demokrasi sekaligus kecenderungan otoritarian.

“Semakin kelihatan arus utamanya, baik legislatif dan eksekutif,” sambungnya.

Pandangan senada dilontarkan Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Dia lalu memaparkan masuknya ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 237, 238 dan 239 RKUHP.

“Ini sudah mulai mengerikan ya iklim demokrasi kita, semua bisa dipidana,” keluhnya kepada Alinea.

 

Sedangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, pasal penghinaan presiden yang diubah menjadi delik umum, dapat diartikan siapapun yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap presiden dapat diproses secara hukum tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban. Pasal ini pun bersifat karet karena tidak ada pengaturan yang jelas antara kritik dan penghinaan terhadap presiden, sehingga dapat diberlakukan secara subjektif oleh aparat penegak hukum.

Namun, guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir mengungkapkan, secara keilmuan hukum dan dalam kaul internasional, memang diperlukan perlindungan terhadap kehormatan institusi negara yang diwakili pimpinan negara seperti presiden dan wakil presiden. Dia pun menganalogikan regulasi penghinaan terhadap institusi itu layaknya pisau bermata dua.

“Disatu sisi perlu menjaga kehormatan tapi di sisi lain berkaitan dengan kritik,” terang Mudzakkir kepada Alinea.

Meski demikian, Mudzakkir menegaskan perlunya batasan dalam RKUHP dengan menyebutkan bahwa kritik tidak boleh diklarifikasi sebagai penghinaan. Terkait itu, ia menyarankan tambahan beleid yang mempertegas bahwa menyatakan pendapat adalah hak konstitusional, maka warga negara tak bisa dipidana.

“Menurut saya harus ada di UU, kalau kita kritik harus ada catatan disitu. Sekarang masih demi kepentingan umum dan membela diri. Presiden kan tidak ada kepentingan membela diri,” tandasnya.

img
Syamsul Anwar Kh
Reporter
img
Syamsul Anwar Kh
Editor

Tag Terkait

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan