Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI kembali menuai kontroversi setelah menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, Yulius Setiarto. Sanksi ini dijatuhkan karena pernyataan Yulius di Tiktok pada 25 November 2024.
Dalam sebuah unggahan di Tiktok, Yulius mempertanyakan keberadaan partai berseragam cokelat (parcok) dalam pemenangan salah satu kandidat di Pikada Serentak 2024. Parcok merupakan istilah yang dipakai Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto untuk menyebut aparat kepolisian yang terlibat dalam politik praktis.
"MKD memutuskan bahwa teradu yang terhormat Yulius Setiarto nomor anggota A234 Fraksi PDI-P terbukti melanggar kode etik dan diberikan sanksi tertulis teguran tertulis," kata Ketua MKD DPR Nazaruddin Dek Gam dalam sebuah rapat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12) lalu.
Sebelumnya, Yulius berdalih sedang menjalankan tugasnya sebagai anggota DPR dalam fungsi pengawasan. Menurut dia, ia punya hak konstitusional sebagai anggota DPR untuk mengutarakan pendapat. "Dan ada impunitasnya,” ungkap Yulius.
Sanksi serupa juga diberikan MKD kepada anggota DPR dari fraksi Gerindra, Nuroji. Nuroji diadukan ke MKD DPR karena pernah mengungkapkan kekecewaan pada tim nasional sepak bola Indonesia yang terlalu banyak diisi pemain naturalisasi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro menilai keputusan MKD aneh dan tidak beralasan. Secara khusus, ia menyoroti pemberian sanksi terhadap Yulius.
Menurut Herdiansyah, MKD terkesan jadi alat pemerintah untuk membungkam kritik. Ia menyebut sanksi terhadap Yulius mengindikasikan DPR bakal menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat anggota DPR dan penerapan aturan etika di parlemen.
“Kalau proses pengusutan hanya berasal dari komentar soal partai coklat, itu jelas ditujukan untuk mengontrol anggota DPR yang dianggap merugikan kekuasaan. DPR seharusnya menggunakan hak interpelasi, bukan menyeret anggotanya sendiri ke MKD,” ujar Herdiansyah kepada Alinea.id, Minggu (8/12).
Herdiansyah mengatakan MKD semestinya fokus pada tugasnya menjaga kehormatan DPR sebagai lembaga negara. Kritik anggota DPR terhadap kinerja pemerintahan tak seharusnya berbuah sanksi. Apalagi, isu keterlibatan aparat dalam politik praktis bukan kali itu saja bergulir di ruang publik.
“Tidak mengherankan karena sedari awal oposisi pun dikontrol pemerintah dengan cara menundukkan semua partai dan meminta mereka bergabung ke pemerintah. Itu skema mengontrol. Makin terasa dengan penanganan perkara di MKD itu yang tidak punya basis sebenarnya,” jelasnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyoroti ketergesaan MKD dalam menangani kasus ini. Menurutnya, proses tata beracara MKD yang diatur dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 mensyaratkan jeda waktu 14 hari untuk setiap tahapan penyelidikan dan pembuktian. Namun, hal ini tampaknya tidak dilakukan dalam kasus Yulius.
“Bagaimana bisa anggota DPR yang bertugas mengontrol pemerintah justru dijerat etik karena kritiknya? Apalagi dugaan keterlibatan aparat negara dalam pemilu adalah isu yang sering dibahas, bahkan oleh tokoh partai politik. Kenapa hanya Yulius yang dihukum?” kata Lucius kepada Alinea.id, Minggu (9/12).
Ia juga mempertanyakan logika MKD yang menganggap kritik terhadap lembaga kepolisian sebagai pelanggaran etik. “Kritik yang disampaikan anggota DPR bertujuan untuk penguatan lembaga negara. Apalagi ini disampaikan di media sosial, yang seharusnya tidak menjadi masalah,” tambah Lucius.
Keputusan MKD terhadap Yulius dianggap mengorbankan independensi dan keadilan lembaga tersebut. Lucius menilai bahwa tugas MKD adalah menjaga kehormatan DPR, bukan melindungi lembaga lain seperti kepolisian dari kritik.
“Jika MKD lebih cepat bertindak untuk kepentingan politik tertentu, maka lembaga ini justru mengurangi kehormatan DPR sendiri. MKD seharusnya bekerja dengan prinsip independensi, keadilan, dan etika yang kuat,” tegasnya.