Politikus Partai Golkar Nusron Wahid mempertanyakan langkah DPP Golkar meniadakan kegiatan rapat pleno sejak Pemilu 2019 digelar. Menurut anggota tim sukses Bambang Soesatyo itu, rapat pleno DPP Golkar seharusnya digelar tiap dua bulan.
"Sampai hari ini, bulan September, berarti lebih dari 10 bulan tidak ada rapat pleno. Padahal, banyak agenda urgen dan agenda penting yang membutuhkan keputusan bersama dalam pleno," kata Nusron kepada wartawan di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9).
Nusron mengatakan, ia dan 142 kader Golkar lainnya mendesak DPP segera menggelar rapat pleno. Selain untuk mengevaluasi hasil Pileg dan Pilpres 2019, pleno juga perlu digelar untuk membahas komposisi pimpinan DPR, MPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
"Yang dibutuhkan teman-teman adalah rapat pleno untuk membuat keputusan politik. Keputusan politik apa? Misalnya kapan kita konsolidasi organisasi dimulai, keputusan strategis itu diambil," tuturnya.
Lebih jauh, Nusron memaparkan fakta-fakta janggal perolehan suara Golkar di Pileg 2019 dan kaitannya dengan Pilpres 2019. Berbeda dengan parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf lainnya semisal PDI-P, PKB dan Nasdem, menurut Nusron, Golkar tidak mendapatkan efek ekor jas dari Jokowi-Maruf di beberapa daerah.
"Di Garut, Golkar menang (pileg), tapi Jokowi jebol. Kalau di Bogor lebih kacau lagi. Dari pemenang, Golkar menjadi kalah dan jokowi juga enggak nambah (suaranya) dibandingkan tahun 2014. Artinya, di daerah-daerah itu, ada Golkar maupun tidak ada. Golkar itu suaranya konstan," ujar dia.
Nusron mengaku tidak tahu kenapa terjadi anomali dalam raihan suara Golkar di beberapa daerah. Ia menegaskan hal itu hanya bisa diketahui dari rapat pleno. "Yang dibutuhkan temen-temen adalah rapat pleno untuk membuat keputusan politik," ujarnya.