close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman (kiri) menyerahkan buku kenangan selama masa jabatan pertamanya kepada Sudharmono (kanan), yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Sabtu (8/1/1983)./Foto commons.wikimedia.org/Sumarjadi dalam Mimba
icon caption
Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman (kiri) menyerahkan buku kenangan selama masa jabatan pertamanya kepada Sudharmono (kanan), yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Sabtu (8/1/1983)./Foto commons.wikimedia.org/Sumarjadi dalam Mimba
Politik
Sabtu, 09 September 2023 07:15

Kursi panas wapres daripada Soeharto

Menjelang Sidang Umum MPR 1988, mengemuka dua nama calon wakil presiden (wapres) untuk mendampingi Soeharto.
swipe

Selasa, 1 Maret 1988 sebelum Sidang Umum MPR dimulai untuk mendengarkan pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto, para wakil fraksi yang ada di parlemen berdatangan, mendekat kepada sang presiden. Mereka menanyakan pencalonan wakil presiden (wapres).

Tak seperti pencalonan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (menjabat 1973-1978), Adam Malik (1978-1983), dan Umar Wirahadikusumah (1983-1988) sebagai wapres yang berjalan mulus, saat itu ada dua calon yang mengemuka.

Dengan bijak, Soeharto menjawab, kewenangan memilih dan mengangkat presiden dan wapres ada pada MPR, lewat sidang umum. Soeharto pernah membantah, dirinya selalu mengantongi nama wapres untuk mendampinginya.

Meski, ia sendiri mengakui dalam buku biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) bahwa ia menunjuk tim kecil terdiri dari lima orang untuk mencari kandidat wapres, sesuai kriteria yang diinginkannya.

Tim kecil itu bertugas melakukan lobi ke organisasi massa dan partai politik. Menjelang Sidang Umum MPR 1988 untuk menentukan presiden dan wapres, tim serupa yang ditunjuk Soeharto berjumlah sembilan orang. Walau, katanya, tugasnya berbeda dari sebelumnya.

“Tim ini bukan melakukan lobi, seperti sebelumnya, tetapi berusaha memfungsikan MPR, saya tetap melempar kriterianya,” ujar Soeharto dalam buku itu.

Dua nama yang mengemuka dicalonkan sebagai wapres adalah Sudharmono dan H. Djaelani Naro. Dalam buku yang sama, Soeharto juga mengakui, lebih lama mengenal Sudharmono ketimbang Naro.

Konspirasi militer?

Sudharmono sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg)./Foto commons.wikimedia.org/Pengalaman dalam Masa Pengabdian

Tak pernah terjadi sebelumnya, ada dua nama yang bakal menjadi wapres. Sedangkan Soeharto, sudah dipastikan lagi-lagi menjabat presiden.

“Sudharmono dicalonkan Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) dan Fraksi Utusan Daerah (F-UD), serta didukung Fraksi Angkatan Bersenjata RI (F-ABRI) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI),” tutur Soeharto di buku biografinya.

“Naro dicalonkan Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP).”

Naro dikenal sebagai tokoh Islam yang menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Rekam jejaknya, ia pernah menjadi tokoh Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Sedangkan Sudharmono merupakan purnawirawan ABRI berpangkat letnan jenderal. Ketika itu, ia menjabat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Ketua Umum Golkar.

Ada dugaan, sejumlah perwira tinggi ABRI berusaha menghalangi jalan Sudharmono menuju kursi wapres. Walau berasal dari kalangan militer, Sudharmono dinilai banyak menghabiskan kariernya di belakang meja, bukan memimpin pasukan. Hal ini kurang disukai beberapa orang di tubuh militer.

Lamat-lamat juga ada gejolak di peta politik nasional. Sosiolog Ariel Heryanto dalam bukunya State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2006) menyebut, ada pertikaian yang tak bisa diperbaiki antara pihak yang berada di lingkaran dekat Soeharto dengan kelompok yang makin berkembang di kalangan militer, di bawah pengaruh Panglima ABRI Leonardus Benyamin Moerdani atau Benny Moerdani.

“Pada masa ini, ketergantungan Soeharto pada militer berangsur-angsur berkurang ketika ia berhasil mendapatkan bentuk kekuasaan yang lebih otonom dan terkonsolidasi berdasarkan kesetiaan pribadi,” tulis Ariel.

“Ditambah dengan ‘kerajaan’ birokrasi dan ekonomi yang sudah mengakar kuat, sehingga kekuatan militer tidak lagi dapat diandalkan.”

Di sisi lain, menurut penulis Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia, 1945-2014 (2018), dengan jabatannya sebagai Mensesneg, Sudharmono bisa membantu patronasinya sendiri lewat kontrak-kontrak pemerintah, termasuk proyek-proyek militer yang membuat kesal beberapa petinggi ABRI.

Sudharmono pun berhasil membuat Golkar yang dipimpinnya sejak 1983 menjadi kekuatan politik yang perkasa. “Golkar berhasil merekrut kader baru di luar militer atau birokrasi, antara lain aktivis mahasiswa, pengusaha, maupun aktivis LSM,” tulis Vishnu.

Hubungan Soeharto dan Benny, tulis Vishnu, juga kian memburuk. Pangkalnya, Benny pernah mengkritik keterlibatan keluarga Soeharto dalam proyek-proyek negara.

“Saat itu, masyarakat dan militer menunjukkan kebencian terhadap gaya hidup mewah dan keserakahan yang tak terkendali dari anak-anak presiden,” tulis Ariel.

Imbasnya, kata Ariel, beberapa perwira militer yang sangat kompeten dicopot dari jabatannya, usai mereka menunjukkan tanda-tanda terlalu populer atau berpikiran independen. Keputusan tersebut diambil Soeharto sebelum Sidang Umum MPR 1988.

Benny dicopot dari jabatannya sebagai Panglima ABRI pada 27 Februari 1988. Posisinya diganti Try Sutrisno. Pada Maret 1988, ia diberi jabatan yang tak ada hubungan langsung dengan pasukan, yakni Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Puncaknya, Sudharmono dituding sebagai mantan anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat dengan PKI pada akhir 1940-an. Soemitro, yang pernah menjabat Wakil Panglima ABRI tahun 1971-1974 dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) tahun 1971-1974, menurut akademikus Salim Said dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) mengatakan Sudharmono “merah”.

“Tapi sumber kesalahan sebenarnya ada pada saya. Pada saat menjabat Pangkopkamtib, saya sibuk membersihkan yang di bawah, lalai melihat ke atas,” ujar Soemitro, seperti dikutip dari buku Salim Said.

Salim menulis, Benny terkejut ketika Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan keputusan Soeharto memilih Sudharmono sebagai wapres. “My god, ini gila. Saya kan pembantunya, mengapa saya tidak diberi tahu,” ujar Benny.

Menurut Salim, Soeharto sengaja tak memberi tahu Benny soal keputusannya mencalonkan Sudharmono lantaran The Smiling General—julukan Soeharto—tahu Benny tak senang dengan pilihannya. Ariel menambahkan, saat Sudharmono dicalonkan sebagai wapres, pihak militer menyodorkan calon alternatif, yakni Naro. Kemungkinan, nama Naro sengaja dicalonkan lewat F-PP, agar tujuan militer tak terendus.

Naro adalah sipil yang dekat dengan “raja intel” Ali Moertopo—Menteri Penerangan tahun 1978-1983. Antropolog Belanda, Martin van Bruinessen dalam bukunya NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut, Naro mengambil posisi Ketua PPP dari Mintaredja melalui manipulasi politik pemerintah yang dirancang Moertopo pada Sidang Umum MPR 1978.

Sudharmono jadi wapres

Ketua KPU Soepardjo Rustam (kiri) menerima daftar calon legislatif dari PPP yang diwakili Ketua Umum PPP Djaelani Naro (kanan) pada 17 September 1986./Foto commons.wikimedia.org/Buku Pemilu 1987.

Di sela-sela masa Sidang Umum MPR, yang diadakan dari 1 hingga 11 Maret 1988, perwakilan PPP pernah menemui Soeharto terkait pencalonan Naro. Soeharto, dalam buku biografinya, mengingatkan mereka tentang wacana voting, yang kemungkinan bisa terjadi.

Soeharto tak menghendaki terjadinya voting. Ia berkilah, pemungutan suara itu adalah wajah demokrasi liberal ala Barat, bukan demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Apalagi, ia yakin F-PP bakal kalah jika voting terjadi karena mayoritas anggota MPR mencalonkan Sudharmono. Dari hampir 1.000 kursi di DPR/MPR, F-PP hanya memiliki 90-an kursi.

“Baik F-PP dan Naro hanya menggunakan haknya saja, tetapi tidak memenuhi kewajiban,” ucap Soeharto dalam biografinya.

“Haknya memang ada untuk mengajukan calon. Tapi kala sudah tahu bahwa mungkin ada dua atau tiga calon, hendaknya fraksi memenuhi kewajibannya.”

Kewajiban yang dimaksud Soeharto adalah mengalah. Usai pelantikan sebagai presiden yang kelima kalinya pada 11 Maret 1988, Soeharto berada satu lift dengan Ketua MPR Kharis Suhud. Diakui Soeharto dalam buku biografinya, Kharis mengaku menerima surat dari F-PP. Lantas, Soeharto memerintahkan Kharis untuk membuka dan membaca isinya. Sesuai yang diharapkan, F-PP menarik pencalonan Naro sebagai wapres.

Dengan demikian, langkah Sudharmono menuju kursi wapres sudah kian terbuka. Acara pelantikan Sudharmono dilakukan pada 11 Maret 1988 malam. Setelah sebelumnya, Benny, menurut Salim, menandatangani security clearance bagi Sudharmono.

“Kami tidak menemukan bukti yang dituduhkan oleh Pak Mitro (Soemitro) dan intel-intel tua itu,” kata Moerdani dalam buku Salim.

Akan tetapi, drama kecil terjadi. Ketika pelantikan, seorang anggota F-ABRI, Brigjen Ibrahim Saleh menyela dengan interupsi. Akibat tindakan nekatnya itu, menurut Ariel, tak lama ia dicopot dari jabatannya sebagai anggota partemen. Ariel mendapat informasi dari beberapa jurnalis yang menghadiri pelantikan Sudharmono bahwa setelah berakhirnya sidang parlemen, Benny memanggil kerumunan wartawan dan mengadakan pertemuan mendadak.

“Ia melepas arloji emasnya dan menyerahkannya kepada Ibrahim sebagai bentuk apresiasi atas keberaniannya membeberkan hal-hal yang tidak benar pada sesi tersebut,” tulis Ariel.

“Moerdani menantang para jurnalis yang hadir untuk melaporkan hal tersebut dalam pemberitaan. Seperti yang diharapkan, tidak ada satu pun laporan berita yang muncul pada hari-hari berikutnya.”

Salim mengungkapkan, dalam wawancaranya pada Januari 1997, Ibrahim mengaku tindakannya itu sepengetahuan Ketua F-ABRI Letjen TNI Harsudiono Hartas. “Juga dilaporkan ke Benny Moerdani, lewat seorang perwira penghubung,” tulis Salim.

Namun, wartawan Julius Pour dalam bukunya Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007) menggambarkan Benny justru ingin Try Sutrisno yang dicalonkan sebagai wapres. Seturut itu, Salim Said dalam tulisannya “Soeharto dan Militer” di buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) menyebut, dalam wawancaranya pada 12 Mei 1997 di Jakarta, Benny menyangkal keterlibatannya soal upaya Naro untuk menjadi wapres.

“(Benny) Moerdani menjelaskan, Cilangkap (Markas Besar ABRI) tidak pernah mendukung Naro atau siapa pun (di luar ABRI) sebagai calon wapres. ‘Ketika itu, kami berpendapat bahwa perwira terbaik kami seharusnya dicalonkan untuk jabatan wapres. Dan saya sendiri mendukung pencalonan Try Sutrisno’,” kata Benny kepada Salim.

Terlepas dari itu, rumor latar belakang “merah” Sudharmono masih berembus menjelang Musyawarah Nasional IV Golkar tanggal 20 Oktober 1988. Dalam kesempatan wawancara kepada pers, ia tak membantah kabar burung tersebut.

“Bagaimana harus membantah isu yang berasal dari surat kaleng?” kata Sudharmono dalam Suara Pembaruan, 21 Oktober 1988.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan