Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Agun Gunandjar (kedua kanan) bersama Wasekjen DPP Partai Gerindra Andre Rosiade (kanan), Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding (kedua kiri) dan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (
Wacana menghidupkan kembali GBHN bisa menjadi bola liar.
Perebutan posisi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI diprediksi bakal berlangsung panas hingga menit terakhir. Pasalnya, tak hanya dibidik parpol-parpol kubu Jokowi-Ma'ruf, posisi kursi pimpinan MPR juga diminati parpol kubu oposisi.
Ketua DPP PKB Abdul Karding memandang perebutan ketua MPR memang pantas disebut 'seksi'. Pasalnya, Ketua MPR mempunyai kemewahan untuk duduk bersanding dengan Presiden dan pejabat negara lainnya.
"Wajar kalau MPR ini diperebutkan atau seksi. Yang menjadi Ketua MPR, otomatis akan membantu yang bersangkutan atau institusi menjadi baik," ujar Karding dalam Alinea Forum bertajuk 'Berebut Kursi Ketua MPR' di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (7/8).
Kompetisi memperebutkan kursi MPR 1, lanjut Karding, kian panas seiring berembusnya wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) via amandemen terbatas Undang-undang Dasar (UUD) 1945. "Amandemen itu bisa menjadi begitu liar dan menjadi sangat berbahaya," kata dia.
Karena itu, menurut Karding, posisi pucuk pimpinan MPR harus dimusyawarahkan secara matang dan jeli. Sebagai lembaga yang menonjolkan musyawarah dan kekeluargaan, Karding mengusulkan agar kursi Ketua MPR diisi oleh negarawan yang minim kepentingan politik.
Senada, ketua fraksi Golkar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, kursi ketua MPR seharusnya diisi oleh sesorang yang paham secara utuh tentang konstitusi dan makna filosofi pembukaan UUD 1945 berserta pasal-pasalnya.
"Marwah sebagai permusyawaratan sudah ending dan bukan lagi berbicara ideologi. MPR itu jalankan saja tugas dan kewenangan yang ada dengan melakukan kajian-kajian konstitusional di bidang ekonomi, politik, hukum, agama, sosial budaya, dan pertahanan," ujar dia.
Menurut Agun, MPR merupakan lembaga jelmaan kepentingan seluruh rakyat. Karena itu, meskipun kursi Ketua MPR RI diperebutkan deretan parpol, semangat kegotongroyongan dan saling menghargai harus tetap dijaga. "Hal-hal seperti itu harus terlandaskan dan terbangun," tuturnya.
Lobi politik
Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade mengatakan, perebutan kursi Ketua MPR tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang serius. Menurut Andre, MPR saat ini fungsinya bak event organizer yang tugasnya menggelar acara seremonial setahun sekali.
"Sekali setahun dia sidang pada tanggal 16 Agustus, lalu kemudian pada 17 Agustus ganti-gantian baca (naskah) Proklamasi atau apa. Tapi, memang ada wacana (oleh) parpol, MPR ini harus diberikan peranan yang besar," ujar dia.
Diakui Andre, Gerindra pun berminat mendudukkan kadernya di kursi pimpinan MPR. Apalagi, Gerindra merupakan parpol peraih suara terbanyak kedua di Pileg 2019. "Gerindra ingin berkontribusi dalam mendapatkan kursi pimpinan MPR," ujarnya.
Apabila diberikan jatah kursi pimpinan, Andre mengatakan, Gerindra bakal mengajukan Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani. Demi memuluskan langkah itu, lobi-lobi politik pun dilancarkan. "Ini sangat dinamis. MPR ini akan diputuskan last minute sesaat (sebelum) paket diajukan," kata dia.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, MPR saat ini tidak punya kewenangan yang kuat. "Sehingga tidak ada suatu yang kemudian sangat menarik sehingga harus diperebutkan secara panas," ujar Lucius.
Lebih jauh, ia mengatakan, wacana untuk menghidupkan kembali GBHN via amandemen juga tidak akan berjalan mudah. Pasalnya, untuk mengubah konstitusi, perlu kajian panjang yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Dulu pasti ada alasan GBHN dibuang dan sekarang mau dimasukkan lagi. Ini enggak jelas. Jangan sampai MPR nasibnya seperti DPD (yang) dilahirkan tapi tidak jelas mau diapakan. Harus dikaji secara serius," kata dia.