close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sultan Bachtiar Najamudin dilantik sebagai Ketua DPD RI yang baru di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Oktober 2024. /Foto dok. DPD RI
icon caption
Sultan Bachtiar Najamudin dilantik sebagai Ketua DPD RI yang baru di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Oktober 2024. /Foto dok. DPD RI
Politik
Minggu, 06 Oktober 2024 12:50

Lagi-lagi gaduh, masih relevankah DPD?

La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Sultan Bachtiar Najamudin, sempat terlibat adu mulut yang sengit dalam pemilihan Ketua DPD RI.
swipe

Perebutan kursi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (01/10) lalu, berlangsung panas. Kedua kandidat Ketua DPD, La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Sultan Bachtiar Najamudin, sempat terlibat adu mulut yang sengit.

Cek-cok keduanya bermula saat pembagian formulir dukungan sebesar 25% sebagai syarat mengajukan paket pimpinan DPD. Pada sebuah momen, La Nyalla tampak maju ke tengah ruang sidang dan mengucapkan sesuatu.

Entah apa kata-kata yang keluar dari mulut La Nyalla yang membuat Sultan murka. Senator asal Bengkulu itu mendekati La Nyalla dan menunjuk-nunjuk mukanya. Senator lainnya langsung bergerak berupaya melerai keduanya. 

Dalam pemungutan suara, kubu Sultan-- sepaket dengan GKR Hemas, Yorrys Raweyai, dan Tamsil Linrung sebagai para wakil ketua--memenangi pertarungan setelah mengoleksi 95 suara. Kubu La Nyalla hanya meraup 56 suara.

Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan menilai drama adu mulut yang mewarnai perebutan kursi Ketua DPD RI memalukan. Apalagi, ini bukan kali pertama  pemilihan Ketua DPD dan rapat di DPD diwarnai kegaduhan.

“Sulit berharap DPD untuk perbaiki kinerjanya karena benih konflik sudah muncul di awal dan ini mempengaruhi soliditas mereka ke depan. Ada banyak faksi ataupun gank di kelembagaan mereka,” ujar Yusak kepada Alinea.id, Jumat (4/10).

DPD, kata dia, bakal menghadapi jalan terjal untuk menguatkan kelembagaan mereka. Apalagi, anggota DPD sudah terlihat membangun faksi-faksi sendiri.

Meski sama-sama pembuat undang-undang seperti DPR, DPD hanya bisa mengusulkan undang-undang untuk dibahas. DPD tidak punya wewenang untuk mengesahkannya.

“Kewenangan terbatas sekali, opsinya ke depan DPD dibubarkan sebaiknya karena tidak jelas fungsinya. Kalau dikaitkan penguatan daerah perjalanan DPD selama ini juga tidak linear dengan penguatan daerah,” ujar Yusak. 

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Djati mengatakan DPD belum sekuat DPR secara politis. Namun, tak seharusnya anggota DPD mencoreng mandat yang diberikan rakyat dengan rutin membuat kegaduhan.

“Saya pikir fungsi DPD adalah sebagai lembaga penjembatan antara aspirasi daerah dengan pusat dalam proses pembuatan kebijakan publik,” ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (4/10).

Di daerah masing-masing, menurut Wasisto, para senator punya tanggung jawab untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat di lingkup nasional. Hanya saja, tinggal dalam kancah inilah peran mereka perlu ditunjukan lebih nyata.

“Sebenarnya secara politis, DPD belum sekuat DPR. Namun, paling tidak DPD punyai akar pendukung yang kuat di dapilnya masing-masing,” jelasnya.
 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan