Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjawab komentar warganet terhadap penggagas komunitas Jokowi-Prabowo (Jok-Pro) 2024 atau mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama tiga periode. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari sebagai bagian dari penggagas komunitas Jok-Pro 2024 dianggap pemberontak konstitusi negara.
Warganet pun mempertanyakan berbagai pihak yang mendiamkan isu yang berpotensi menguntungkan penguasa dan melanggar undang-undang tersebut. Bahkan, mengkritik mengapa pengamat politik tersebut diberikan panggung politik untuk mengumbar isu tersebut.
“Kurang telah di-mention kepada saya. Sebab, saya bukan anggota parpol (partai politik) atau MPR. 2 atau 3 periode arenanya di parpol dan MPR. Tetapi, secara pribadi saya lebih setuju seperti sekarang, maksimal 2 periode saja. Adanya konstitusi itu, antara lain untuk membatasi kekuasaan baik lingkup maupun waktunya,” ucapnya dalam akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd, Minggu (20/6).
Ini bukan pertama kalinya Mahfud MD merespons isu masa jabatan presiden tiga periode melalui akun Twitternya. Sebelumnya ia menyebut pascareformasi 1998, jabatan presiden terbatas hanya dua periode.
“Salah satu alasan penting mengapa kita dulu membubarkan Orde Baru dan melakukan Reformasi 1998 adalah karena jabatan presiden tidak dibatasi jumlah periodenya. MPR kemudian membuat amandemen atas UUD 1945, membatasi 2 periode saja. Kalau mau mengubah lagi itu urusan MPR; bukan wewenang presiden,” ujar Mahfud, Senin (15/3).
Presiden Joko Widodo, katanya, menolak usulan tersebut. “Presiden Jokowi tak setuju adanya amandemen lagi. Bahkan, pada 2 Desember 2019 mengatakan bahwa kalau ada yang mendorongnya menjadi presiden lagi, maka ada 3 kemungkinan; 1. Ingin menjerumuskan; 2. Ingin menampar muka; 3. Ingin mencari muka. Kita konsisten saja, batasi jabatan presiden 2 periode,” ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menilai, kemunduran demokrasi di Indonesia bukan dilakukan kudeta militer, seperti teori otoritatif Samuel Huntington. Namun, fenomena hari ini justru disebabkan politisi sipil yang terpilih secara demokratis.
Politikus sipil tersebut membohongi nilai-nilai demokrasi, serta mengabaikan oposisi, media yang independen, dan memberangus masyarakat sipil. Berkaca dari pengalaman Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyatakan, ada empat indikator perilaku otoriter dalam bukunya How Democracies Die; What History Reveals About Our Future.
Salah satu indikator temuannya di Indonesia adalah penolakan atau komitmen lemah atas aturan main demokratis yang terlihat dari awetnya isu Presiden Jokowi tiga periode. Sebab, sebuah isu yang muncul secara natural bakal mampu bertahan sekitar 1-2 minggu saja. Namun, isu Presiden Jokowi tiga periode seolah-olah diupayakan untuk terus dipertahankan.