close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Alinea.id/Aisya Kurnia
Politik
Sabtu, 29 Oktober 2022 06:46

Layakkah Prabowo menghuni Istana Presiden? 

Sejumlah survei menempatkan Prabowo sebagai pejabat publik dengan kinerja terbaik. Namun, elektabilitasnya selalu kalah dari Ganjar.
swipe

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto hampir pasti bakal maju di perhelatan Pilpres 2024. Agustus lalu, Gerindra telah memastikan dukungan untuk mantan Danjen Kopassus itu untuk kembali maju sebagai capres. Jika tidak ada aral melintang, Prabowo tinggal menentukan rekan koalisi untuk Gerindra dan pasangan pendamping.

Pilpres 2024 bakal jadi kali keempat Prabowo berkontestasi di level tertinggi. Sejak 2009, Prabowo tak pernah absen dari ajang tersebut, baik sebagai cawapres maupun capres. Namun, pria yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) itu tak pernah sukses memenangi pilpres.  

Tak hanya didorong syahwat politik, Prabowo juga punya modal elektabilitas untuk mengarungi Pilpres 2024. Sejak setahun terakhir, nama Prabowo selalu masuk dalam jajaran tokoh dengan elektabilitas tertinggi berbasis survei sejumlah lembaga. 

Dalam survei yang dirilis September lalu, misalnya, Indikator Politik Indonesia menempatkan Prabowo di posisi kedua jajaran capres dengan elektabilitas tertinggi dengan raihan 19,6%. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menempati posisi pertama dengan elektabilitas sebesar 29%. Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berada di posisi ketiga dengan elektabilitas 17,4%. 

Hasil survei Charta Politika yang dirilis pada bulan yang sama menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Ganjar ditempatkan di posisi pertama elektabilitas sebesar 31,3%. Prabowo di posisi kedua dengan elektabilitas sebesar 24,4% dan Anies sebesar 20,6%. 

Dirilis pada Oktober lalu, hasil sigi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menempatkan Prabowo di posisi kedua dengan elektabilitas 27,5%. Ganjar di posisi pertama dengan elektabilitas mencapai 32,1% dan Anies di tempat ketiga dengan tingkat keterpilihan sebesar 26%.

"Dukungan pada Ganjar mengalami kenaikan dari 25,5% pada Mei 2021 menjadi 32,1% pada Oktober 2022. Sementara elektabilitas Prabowo cenderung melemah dari 34,1% menjadi 27,5% pada periode yang sama. Anies mengalami sedikit penguatan dari 23,5% menjadi 26%," ucap Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Minggu (23/10).

Publik juga mempersepsikan kinerja Prabowo sangat baik sebagai pejabat publik. Hasil survei Populi Center yang dirilis Rabu (26/10) lalu, misalnya, menempatkan Prabowo pejabat publik yang paling baik kinerjanya jika dibandingkan dengan kandidat capres lainnya. 

Dalam survei kali itu, Populi merekam persepsi publik terhadap enam tokoh yang digadang-gadang bakal maju menjadi capres di Pilpres 2024. Tingkat kepercayaan publik terhadap Prabowo sebesar 76,1%. Prabowo mengungguli Anies Baswedan (70,9%) dan Ganjar Pranowo (69,1%).

"Dari enam tokoh yang dievaluasi kinerjanya secara terpisah, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan menjadi tokoh dengan penilaian baik atau positif paling tinggi," kata peneliti Populi Center Olivia Prastiti saat memaparkan hasil survei. 

Itu bukan kali Prabowo dipersepsikan kompeten oleh publik. Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis Agustus lalu, misalnya, menempatkan Prabowo sebagai menteri yang kinerjanya paling memuaskan. 

Total ada 70% responden yang menyatakan kinerja Prabowo memuaskan. Di bawah Prabowo, ada nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan tingkat kepuasan publik mencapai 69% dan Menteri Sosial Tri Rismaharini dengan raupan 63%.

Hasil serupa ditemukan Political Weather Station (PWS) dalam survei yang digelar pada 15-28 Juni 2022. Ketika itu, Prabowo ditempatkan di puncak dengan tingkat kepuasan publik sebesar 15,1%. Di bawah Prabowo, ada nama Sandiaga Uno (11,8%) dan Menteri BUMN Erick Thohir (11,4%). 

Presiden Joko Widodo (kanan) berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019).  /Foto Antara

Kinerja sebagai Menhan

Prabowo didapuk jadi Menhan pada 23 Oktober 2019, tak lama setelah Pilpres 2019 berakhir. Setelah mendapat mandat dari Jokowi, Prabowo  bergerak kilat. Selama 18 bulan pertama, tercatat ada 14 negara yang ia kunjungi. Selain menggelar diplomasi pertahanan, kunjungan juga dimaksudkan untuk menjajaki kerja sama pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista). 

Punya koneksi luas di dunia pertahanan, Prabowo sukses memboyong sejumlah alutsista dari berbagai negara, semisal 6 pesawat tempur Dassault Rafale produksi Dassault Aviation asal Perancis, kapal selam Scorpene, dua unit pesawat Airbus A400M, dan sejumlah kapal perang fregat produksi pabrikan Italia. Saat ini, Prabowo juga tengah menjajaki kemungkinan membeli jet tempur f-15 EX dari Amerika Serikat. 

Selain modernisasi alutsista, program fenomenal Kemenhan di tangan Prabowo lainnya yang tergolong sukses ialah rekrutmen dan pelatihan Komponen Cadangan (Komcad). Dibuka perdana pendaftarannya pada Agustus 2020, total sudah ada sekitar 3.100 personel komcad yang lulus pelatihan TNI. 

Meski begitu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai kinerja Prabowo belum mengesankan. Ia menyebut tidak ada pencapaian progresif dan monumental yang diraih Kemenhan saat berada di bawah kendali Prabowo. 

Secara khusus, Gufron menyoroti upaya Kemenhan mencapai minimum essential force (MEF) yang terus meleset dari target. Di lain sisi, Prabowo dianggap cenderung abai terhadap profesionalisme TNI. Itu terlihat dari maraknya pelibatan TNI dalam urusan-urusan keamanan domestik. 

"Seharusnya kan itu menjadi concern Kemhan sebagai representasi dan otoritas sipil. Selama ini, apa coba yang dilakukan oleh Kemhan sebagai otoritas sipil dalam konteks memastikan pembangunan profesionalisme tadi berjalan dengan baik? Jadi, enggak cuma, misalnya fokus pengadaan pembelian alutsista, sementara aspek yang lain diabaikan oleh mereka," ujar Gufron kepada Alinea.id, Selasa (25/10).

MEF dicanangkan pemerintah sejak 2007 dan mulai dilaksanakan pada 2009. MEF terbagi dalam tiga tahap, yaitu fase I pada periode 2010-2014, fase II pada 2015-2019, dan fase III pada 2020-2024. Pada Oktober 2019, pencapaian MEF baru 63,19% dari target MEF fase II sebesar 75,54%. 

MEF merupakan kekuatan minimum TNI yang mutlak disiapkan demi terlaksananya tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual alias perang. MEF tercapai berbasis postur ideal persenjataan di setiap matra TNI. 

Pada MEF fase III, TNI AL menargetkan memiliki 182 unit KRI, 8 kapal selam, 100 unit pesawat udara, dan 978 unit kendaraan tempur. TNI AD menargetkan mempunyai 723.564 unit senjata ringan, 1.354 unit meriam, roket, atau peluru kendali, 3.758 unit kendaraan tempur, dan 224 unit pesawat terbang. Adapun TNI AU menargetkan 344 unit pesawat, 32 unit radar, 72 rudal, dan 64 unit penangkis serangan udara.

Target MEF tiap matra itu masih jauh dari postur ideal MEF. Pada matra TNI AD, misalnya, postur ideal jumlah senjata ringan untuk capaian MEF 100% ialah sebanyak 783.462 unit. Postur ideal jumlah meriam, roket, dan rudal mencapai 2.162 unit, ranpur sebanyak 4.858 unit, dan pesawat terbang sebanyak 1.224 unit.

"Tidak hanya cukup dipersenjatai. Jadi, menurut saya, ada banyak bolong, evaluasi catatan kritis yang sampai hari ini Kemhan tidak melakukan pembenahan yang berarti (terkait profesionalisme TNI). Ini harus dievaluasi dan diperbaiki oleh Kemenhan," ujar Gufron.

Selain soal capaian MEF dan profesionalisme militer, Gufron juga mempersoalkan transparansi pengelolaan anggaran di Kemenhan. Untuk kementerian yang mengelola anggaran yang sangat besar, Kemenhan cenderung sangat tertutup. 

"Tentu harus ada pertanggungjawaban publik sejauh mana (anggaran) itu berhasil dikelola atau enggak oleh Kemhan. Tetapi, (dokumen anggaran) sangat susah, harus diakui, untuk diakses oleh publik. Padahal, anggaran itu kan sesuatu yang, saya kira, harus dapat diakses. Kan itu anggaran negara," kata Gufron. 

Kemenhan memang mengelola anggaran jumbo. Pada 2020, anggaran Kemenhan mencapai Rp127 triliun atau naik sekitar 13,28% dari tahun sebelumnya. Pada 2021, anggaran Kemenhan kembali naik menjadi Rp137 triliun. Tahun ini, anggaran Kemenhan mencapai Rp134 triliun

Detail penggunaan anggaran Kemenhan, khususnya yang terkait pengadaan alutsista, sempat memicu kontroversi. Pada Juni 2021, sebuah dokumen rahasia bocor menunjukkan rencana pemerintah membeli beragam persenjataan dibiayai utang luar negeri dengan nilai hingga US$125 juta. Rencana itu disusun Kemenhan tanpa konsultasi dengan TNI.

"Jadi, memang harus ada transparansi, akuntabilitas. Saya kira publik juga perlu mendengar, mengetahui, dan juga memberikan catatan kritis terhadap (penggunaan anggaran Kemenhan) itu," imbuh Gufron.

Prabowo Subianto membuka rapat pimpinan nasional Partai Gerindra di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Agustus 2022. /Foto Instagram @gerindra

Kinerja sebagai Ketum Gerindra

Di Gerindra, Prabowo mulai memimpin sejak September 2014, menggantikan Suhardi yang mangkat. Ketika itu, Prabowo sudah jadi ikon Gerindra. Pada 2014, Prabowo diusung sejumlah parpol sebagai capres berpasangan dengan Ketum PAN Hatta Rajasa. Pada pemilu sebelumnya, Prabowo digandeng Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres.

Pada Pileg 2014, Gerindra menjadi salah satu parpol pemenang dengan raihan 11,81% suara. Pada pileg berikutnya, perolehan suara kembali naik menjadi 12,57% atau setara 78 kursi di DPR. Partai tersebut hanya kalah dari PDIP di peringkat pertama dengan dengan raihan suara 19,33% atau setara 128 kursi di DPR.

Meskipun perolehan suaranya terbanyak kedua, tapi kursi Gerindra di DPR masih kalah jumlahnya dibandingkan Golkar yang notabene berada di peringkat tiga hasil pemilu legislatif dengan 12,31%. Kala itu, Golkar mendapatkan 85 kursi di parlemen.

Di tingkat provinsi, ada 287 kader Gerindra yang menjabat sebagai legislator. Di tingkat kabupaten dan kota, jumlah kader yang lolos ke parlemen mencapai 1.965 orang. Para kader tersebar di 491 DPRD kabupaten dan kota. Selain itu, tercatat ada 51 kader partai yang menjabat sebagai kepala daerah.

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat Gerindra merupakan partai yang perolehan suaranya menarik. Pasalnya, suara parpol berlambang Garuda itu naik secara bertahap.

“Ini terkait dengan posisi partai ini dan juga kondisi di mana secara ideologi, partai ini secara riil itu seolah-olah bisa menyatukan kelompok-kelompok nasionalis yang masih mendekat ke Islam,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (24/10).

Sebelum berada di bawah kendali Prabowo, menurut Firman, Gerindra dikenal sebagai parpol yang sikap politiknya terkesan bernuansa ekstrem kanan. Prabowo, kata dia, membawa Gerindra menjadi partai yang jauh lebih fleksibel. 

"Prabowo dekat dengan kelompok Islam yang juga sebenarnya, banyak yang mengatakan garis keras juga. Nah, ini kan dia (Prabowo) punya dua segmen pemilih akhirnya yang bisa dirangkul. Apalagi, kemudian ikut dalam pertarungan presiden. Nah, ini membawa sesuatu. Biasanya memang kalau kadernya ikut dalam pertarungan presiden, agak terdongkrak suara partai," jelas Firman. 

Firman menilai, kinerja Prabowo sebagai ketum masih terbilang biasa. Menurut dia, kader Gerindra memang bisa mendongkrak suara partai karena eksis dan bergerak, tapi aktivisme politik mereka tidak terlalu sistematis seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Soal minimnya kader Gerindra yang tersandung kasus korupsi, Firman menyebut hal itu hanya kebetulan. Menurut dia, Gerindra tak punya instrumen kebijakan yang bertujuan mencegah korupsi kader. "Makanya, saya sebut kebetulan," imbuh dia. 

Gerindra berstatus sebagai partai oposisi sejak Pileg 2009. Baru pada 2019, Gerindra bergabung ke dalam parpol pendukung pemerintahan. Kasus korupsi benur yang menjerat eks Menteri KKP Prabowo Edhy bisa dibilang jadi satu-satunya kasus korupsi berskala besar yang melibatkan kader Gerindra. 

Terkait peluang Prabowo di Pilpres 2024, Firman menilai ada kemungkinan Prabowo kembali gagal. Salah satu penyebabnya ialah hengkangnya para pendukung Prabowo saat Pilpres 2019 karena Prabowo dianggap tak loyal usai menerima pinangan Jokowi menjadi menteri.

Selain itu, Gerindra saat ini juga membangun poros koalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Posisi Cak Imin (Ketum PKB Muhaimin Iskandar) juga bukan satu anchor (jangkar) yang kuat mewakili kalangan nahdliyin. Ya, akan jadi satu pelajaran buat Gerindra sampai 2024,” kata dia. 

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Siti Zuhro, peneliti Pusat Riset Politik BRIN lainnya, menilai tak ada komparasi yang cukup seimbang untuk menilai kinerja Prabowo sebagai ketum. Namun, ia berpendapat Gerindra di bawah kendali Prabowo bukan partai politik yang ideal.

Secara khusus, Siti menyoroti pendidikan politik dan kaderisasi Gerindra. Menurut dia, promosi kader di parpol itu tak berbasis meritokrasi. Walhasil, sirkulasi jabatan di internal elite partai tak berjalan lancar.

“Karena promosi-promosi kader yang dilakukan itu, ya, mestinya kan transparan, akuntabel, terukur, sehingga kader-kader itu juga memiliki prospek ketika dia dijadikan kader di partai,” ujar dia kepada Alinea.id, Senin (24/10).

Hal lain yang disoroti adalah kepemimpinan Prabowo di Gerindra yang seakan-akan tunggal. Apa yang tejadi di Gerindra serupa dengan model kepemimpinan di sejumlah parpol lainnya, semisal di PDI-Perjuangan dan NasDem. 

“Ini termasuk tantangan membangun partai politik di Indonesia yang seringnya tidak meletakkan partai itu sebagai pilar dari demokrasi,” jelas Siti. 

Sedangkan mengenai pencegahan korupsi kader partai, menurut Siti, apa yang terjadi di Gerindra tidak bisa dijadikan acuan. Menurutnya, indikator banyak dan sedikitnya kader yang tersandung korupsi tidak ideal. “Jadi, belum di tataran role model yang betul-betul mampu diteladani,” ujarnya.

Menurutnya, persoalan mandeknya pendidikan antikorupsi bagi para kader tidak hanya terjadi di Partai Gerindra. Partai-partai lain pun demikian. Siti berpendapat, semestinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menggandeng partai, birokrasi, dan pemerintahan untuk pencegahan.

“Dengan partai melakukan MoU (memorandum of understanding). Jadi, dicegah tangkal istilahnya. Dicegah tangkal itu di sumber pertamanya. Jangan tunggu (kader) masuk DPR maupun DPRD,” katanya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan