close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Paparan hasil survei dari Lembaga Survei terkait Pilkada Jatim/ Antara Foto
icon caption
Paparan hasil survei dari Lembaga Survei terkait Pilkada Jatim/ Antara Foto
Politik
Sabtu, 24 Maret 2018 09:15

Lembaga survei cenderung menggiring publik

Cara cepat dan sederhana untuk menilai sebuah produk riset dari lembaga survei melihat komponen utama, yakni jumlah responden.
swipe

Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata menilai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengatur tentang survei belum memadai untuk melindungi kepentingan publik. FFH menilai aturan tersebut sebatas untuk memaksa lembaga survei untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas dari produknya. 

Aturan dimaksud adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Pada Pasal 49 disebutkan hasil survei atau jajak pendapat diumumkan ke publik dengan pemberitahuan sumber dana, metodologi, jumlah responden dan tanggal pelaksanaan.

"Aturan itu belum sepenuhnya dapat menjangkau untuk menilai apakah sebuah produk riset dari sebuah lembaga survei dikatakan tidak membohongi para pemilih," kata Dian seperti dikutip Antara.

Dian memberikan contoh salah satunya melalui teknik pertanyaan yang disampaikan kepada responden. Sebagai contoh, jika A (nama samaran kepala daerah saat ini atau petahana) berhasil mengurangi angka pengangguran, siapakah yang akan bapak atau ibu pilih sebagai calon kepala daerah pada pilkada mendatang? Pilihan jawabannya, ada kandidat A, B, C, dan seterusnya.

"Di sini responden atau pemilih sudah mulai digiring pada pilihan kandidat A. Atau menempatkan angka yang salah. Seperti angka tingkat kesukaaan publik lebih tinggi daripada angka tingkat keterkenalan seorang tokoh," katanya.

Dian mengungkapkan, pengaturan seperti yang dinyatakan dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2017 itu merupakan perulangan dari pengaturan kedua rezim komisioner sebelumnya di KPU yang sama-sama mengundang pro dan kontra.

Pada rezim Abdul Hafiz Anshari (2007-2012) persoalan ini pernah diulas. Begitu pula di rezim Husni Kamil Malik (2012-2017).

Menurut Dian, kembali hidupnya pasal pengaturan itu dilatarbelakangi maraknya hasil survei yang berseliweran di ranah publik. Pangkal persoalannya adalah kerap adanya perbedaan di antara hasil riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga riset.

Menurut Dian, cara cepat dan sederhana untuk menilai sebuah produk riset dari lembaga survei adalah dengan melihat komponen utama, yakni jumlah responden, tingkat kepercayaan, dan margin of error.

Jika ketiganya valid, maka secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memitigasi isu ini, FFH pernah memberikan pelatihan cara mendeteksi dini dan mengidentifikasi secara sederhana hasil riset yang dilaksanakan oleh lembaga survei pada rezim pemilu. Saat itu yang diberikan pelatihan adalah wartawan sebagai garda terdepan dalam memublikasikan hasil riset dari lembaga survei.

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan