Dinasti politik dalam Pilkada 2020 dinilai Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) sebagai penghambat demokrasi di tingkat lokal. Menguatnya fenomena itu terlihat dari sistem informasi dan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menunjukkan 55 kandidat dari 124 kandidat (44%) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.
“Fenomena dinasti politik tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan,” kata Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo seperti dinukil dari laman resmi Lemhanas, Jumat (12/2).
Agus menilai, dinasti politik mengakibatkan rekrutmen hanya dikuasai sekelompok atau segelintir orang via oligarki. Padahal, lanjutnya, Indonesia merupakan negara demokrasi, yang dalam memilih pemimpin rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan umum, baik memilih eksekutif maupun legislatif di tingkat nasional atau daerah.
Fenomena yang tak kalah menarik, kata Agus, masih kuatnya praktik politik uang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah dan Riau.
“Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional, dengan manfaat subyektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang,” ucapnya.
Agus juga melihat pilkada serentak diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Dampak ketidaknetralan ASN ini juga bersifat jangka panjang, di mana akan mempengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan profesionalisme, tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat, yang berarti politisasi ASN.
Terkait kondisi demokrasi fenomena pilkada yang akan terus terulang, menurut Agus perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Termasuk mengkaji peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya.