Situasi demokrasi Indonesia sangat panas, upaya koalisi terus terjadi, dan belum ada satupun yang deal. Padahal, menuju pemilu bukan hanya soal koalisi dan hasil survei, tetapi juga soal isu-isu penting untuk Pemilu 2024.
'Saat pemilu kian dekat, elite politik tampak hanya sibuk untuk menggalang koalisi, melakukan kampanye untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Namun jarang kita temukan diskusi substantive tentang masalah-masalah publik. Kami menghimbau agar pemilu menjadi festival gagasan di mana politisi saling beradu argumen tentang bagaimana mengatasi persoalan publik bangsa seperti kerusakan alam, oligarki, kesenjangan sosial, represi terhadap ruang kebebasan sipil dan banyak hal mendasar lain demi kemajuan bangsa," kata Direktur Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/6).
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika disebut Pemilu 2024 adalah pertaruhan keberlangsungan demokrasi, karena tren kemunduran demokrasi yang terus berlangsung bahkan mengarah pada putar balik ke arah otoriterisme. Salah satu ancaman serius yang sempat muncul adalah adanya upaya pengingkaran terhadap konstitusi melalui wacana amandemen undang-undang dasar untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
Dia juga mengutip pernyataan, Herbeth Feith Indonesianist Australia yang menyebutkan, dalam sejarah, ketika konstitusi diingkari di Indonesia, maka yang akan terjadi adalah rentetan otoriterisme masif, seperti yang telah terjadi pada era orde lama dan orde baru.
Sementara Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini mengatakan, situasi yang dihadapi ke depan bukan hanya Pemilu 2024 tetapi juga sekaligus adanya bencana ekonomi, krisis pangan dan energi. Di sisi lain subsidi bahan bakar pemerintah saat telah menyentuh angka Rp500 triliun.
Di sisi lain, tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi juga menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi. Politik uang yang tinggi dengan subsidi yang mengalir ke kelompok-kelompok tertentu merupakan bagian dari korupsi politik masif. Masuk ke lingkungan politik seperti arena perjudian, terjebak pada informality trap. Jika masuk menjadi anggota parlemen misalnya, tidak terkena kasus di KPK itu sudah merupakan prestasi besar.
Ambang batas 20% yang dipertahankan oleh partai politik, akan menyebabkan parpol bisa mengendalikan siapa yang didukung menjadi Gubernur BI, Ketua BPK, Ketua KPK dan lainnya. Padahal, parpol juga merupakan sumber korupsi juga di mana terdapat jual beli calon tetapi tidak terkena sanksi hukum. Ke depan perbaikan terhadap hukum ketatanegaraan Indonesia harus juga bisa menjangkau hal hal tersebut.
Sementara peneliti KITLV Leiden dan Guru Besar Universitas Amsterdam Ward Berenschot menyebutkan, tantangan demokrasi di Indonesia masih berkisar pada tingginya tingkat korupsi, oligarki, parpol yang perlu dibenahi. Tantangan terasa semakin besar, semakin berbahaya bagi demokrasi. Akan banyak orang yang frustrasi dan memilih berpikir pintas untuk mengembalikan saja keadaan ke era diktator pada masa yang lalu.
"Amat penting untuk bersikap tidak menyerah. Memang sulit, tetap ada beberapa akar masalah yang memang harus diatasi terkait sistem electoral. Tetapi bukannya tanpa ide pemecahan misalnya dengan memperkuat wewenang Bawaslu, perbesar anggarannya, juga prasyarat hukumnya. Penting untuk mengerti dengan baik sistem politik yang ada sekarang. Memahami bagaimana titik masuk untuk bisa menghentikan praktik-praktik jual beli suara atau korupsi pemilu," papar dia.
Selain itu, tambah dia, dibutuhkan kelompok-kelompok ilmuwan dan akademisi politik yang paham masalah dan membuat proposal. Untuk menyampaikan beberapa agenda penting untuk perbaikan sitem elektoral dan politik untuk disampaikan kepada pemerintah dan parlemen.