close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pedagang mendorong gerobak berisi buah melintas di depan sejumlah bendera partai politik nasional yang dipasang di jembatan Pantee Pirak, Kota Banda Aceh, Sabtu (23/3/2019). /Antara Foto.
icon caption
Pedagang mendorong gerobak berisi buah melintas di depan sejumlah bendera partai politik nasional yang dipasang di jembatan Pantee Pirak, Kota Banda Aceh, Sabtu (23/3/2019). /Antara Foto.
Politik
Jumat, 09 April 2021 09:20

LP3ES sebut refomasi parpol menjadi agenda mendesak

Jika reformasi parpol tidak dilakukan, maka akan merusak demokrasi di indonesia
swipe

Oligarki politik, patriarki, feodalisme, kaderisasi dan buruknya pengelolaan keuangan parpol menjadi masalah besar. Padahal, parpol adalah jantung dari demokrasi. Ironisnya, kondisi yang terjadi saat ini parpol menjadi institusi yang paling tidak demokratis.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengaku, adanya kecenderungan putar-balik (reverse) sistem politik ke arah otoriterisme, seperti yang juga disitir oleh almarhum Daniel Dakhidae.

Di sisi lain, ada kecenderungan parpol adalah institusi publik yang paling tidak dapat dipercaya. Kalah jauh dari institusi pemerintah, KPK bahkan dibandingkan dengan instansi militer sekalipun. Parpol menjadi lembaga yang paling rendah kepercayaan publik.

"Suvei LSI itu menyebutkan parpol hanya memperoleh tingkat kepercayaan 39% saja pada 2019, sementara KPK malah mendapat 63%," kata dia dalam diskusi daring, Kamis (8/4).

Masalah-masalah lain yang masih menjerat parpol adalah oligarki politik, oligarki media, rendahnya kualitas pemilu, macetnya kaderisasi, feodalisme, masalah keuangan, parpol yang tidak lagi memilii ideologi yang jelas, korupsi, dan politik dinasti. Malah terjadi hal yang lebih buruk, yakni disinyalir semua kader parpol telah ada yang terciduk KPK. 

"Agaknya membutuhkan suatu kesabaran revolusioner menghadapi keadaan yang terjadi. Merangkul teman-teman parpol mungkin masih menjadi sebuah keharusan meski amat spekulatif. Masalahnya, bagamaimana memecahkan kebuntuan itu?" tanya dia.

Sementara peneliti politik LP3ES Aisah Putri Budiarti mengatakan, regulasi hukum telah direformasi untuk mereformasi parpol. Namun dengan itu reformasi kemudian menjadi stagnan dan perubahan justru menjadi problem baru. Dengan adanya amandemen konstitusi Pasal 6A (2) dan Pasal 22 E (3), UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada (ditambah Keputusan MK), parpol harus mengadopsi berbagai hal perubahan regulasi politik.

Salah satu masalah besar yang terjadi di parpol adalah adanya personalisasi. Personalisasi terjadi ketika muncul beberapa individu yang punya pengaruh atau kekuasaan besar terhadap partai politik dan cenderung menjadi identitas yang membangun image partai. Hal Itu berlangsung di empat partai besar (Gerindra, PDIP, Demokrat, Nasdem).

Di satu sisi, personalisasi memang punya dampak terhadap soliditas, stabilitas partai dan usia yang panjang. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah dampak jangka panjang yang berbahaya, karena individu/elit partai tidak selamanya bisa memimpin partai karena faktor tertentu sakit, dan sebagainya. Ketika parpol kehilangan tokoh personal, maka parpol akan menjadi bermasalah. Apalagi insitutionalisasi partai yang berbasis personal, dan bukan ideologi.

"Refomasi parpol menjadi agenda mendesak. Jika tidak, maka akan merusak demokrasi di indonesia. Sistem kepartaian dengan manajemen yang terlembaga baik akan semakin memperkuat demokrasi. Jika yang terjadi sebaliknya maka demokirasi di indponesia menjadi semakin terancam," kata dia.

Sementara itu Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan, reformasi parpol adalah keharusan kecuali negara tidak lagi memilih sistem demokrasi. Demokrasi workable jika ada parpol, demokrasi tidak bisa bekerja tanpa partai. Namun, menguatkan partai sering disalahpahami sebagai dapat menguasai semuanya, tanpa bisa diawasi oleh kekuatan yang lain. Padahal memperkuat parpol adalah membuat partai menjadi sehat sesuai kaidah-kaidah parpol dalam demokrasi.

"Konstitusi Indonesia sudah memilih sistem demokrasi. Komitmen masyarakat pada demokrasi cukup stabil sekitar 70 % sejak 2004. Namun, masyarakat juga melihat praktik demokrasi yang cenderung naik turun. Praktik demokrasi dinilai semakin jelek dalam setahun terakhir. Tingkat kepuasan negatif makin meningkat, sementara kepuasan positif makin menurun. Hal itu akibat problem dan praktik politik dalam negeri selama ini," papar dia.

Itulah sebabnya, Djayadi menilai parpol di Indonesia terbelenggu pada tiga masalah utama. Pertama, oligarki partai. Kedua, Tidak adanya transparansi. Parpol di Indonesia beroperasi seperti black box. Serba misteri dan masyarakat seperti dipaksa untuk tinggal menerima saja. Ketiga, hubungan parpol dengan masyarakat cukup jauh dan lemah.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan