Presiden Joko Widodo berpotensi kalah dalam Pilpres mendatang setelah digeber oleh tanda pagar #2019GantiPresiden dan isu lain.
Begitu temuan penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Hasil survei dengan judul "Mengapa Jokowi kuat, namun makin goyah?" tersebut diterima Alinea.id pada Senin (14/5).
Pada isu pertama, LSI merilis Jokowi sebagai calon presiden petahana masih menjadi Capres terkuat pada 2019. Namun, elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%, terpaut tipis dengan gabungan tokoh lain.
5 Isu penekan Jokowi
Popularitas dan elektabilitas Jokowi semakin tertekan lantaran sejumlah faktor. LSI mengelompokkan menjadi lima isu yang membuat keterpilihan Jokowi merosot.
Pertama, isu tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden yang melejit meski baru dirilis sekitar 1 bulan. Bahkan, sebanyak 50,8% responden pernah mendengar isu #2019GantiPresiden.
Jokowi tampaknya semakin goyah seiring semakin massif dan terstrukturnya serangan kampanye tersebut. Bahkan, sebanyak 49,8% responden yang diwawancarai oleh LSI menyukai isu #2019GantiPresiden.
Isu kedua, terkait tenaga kerja asing (TKA) yang sangat tidak disukai oleh publik. Isu TKA pernah didengar oleh 27,2% responden dan sebanyak 76,6% responden tidak setuju masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia.
"Kini isu itu baru dikenal di bawah 30%. Semakin isu itu meluas, semakin tidak menguntungkan Jokowi karena tingginya resistensi terhadap isu tenaga kerja asing," tulis hasil riset tersebut.
Akar ketiga adalah ketidakpuasan ekonomi, terutama lapangan kerja yang mudah membakar isu lainnya. Bahkan, sebanyak 54,3% responden tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja.
Keempat, responden sebanyak 47,8% menganggap agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Isu Islam dan politik menjadi faktor yang berpengaruh pada elektabilitas Jokowi.
Isu terakhir, publik yang percaya Jokowi bakal menang hanya mencapai 32,3%. Terpaut tipis dari jumlah responden yang yakin Jokowi bisa dikalahkan, yakni sebanyak 28%.
Cawapres potensial
LSI mengukur calon wakil presiden paling potensial bukan hanya dari faktor elektabilitas belaka. Lembaga survei ini mencontohkan, pada Pilpres 2009, Boediono bukanlah tokoh dengan elektabilitas paling tinggi.
Akan tetapi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru memilih Boediono sebagai Cawapres. Hal tersebut membuktikan bahwa elektabilitas tak selamanya menjadi indikator utama.
LSI membuat metode expert judgement dalam menilai Cawapres potensial yang terdiri atas 6 indeks kriteria. Indeks tersebut memiliki skor 1-10.
Setiap Cawapres akan diberi nilai oleh para ahli sesuai skor. Terdapat 30 ahli yang dilibatkan dalam penelitian kali ini dari kalangan peneliti dan akademisi dengan skor rerata dari 30 ahli yang telah dibulatkan.
Indeks tersebut adalah menambah dukungan elektabilitas, menambah kecukupan partai, menambah kapasitas kemampuan memerintah, akseptabilitas atau kenyamanan capres berpasangan, mengakomodasi kelompok politik penting seperti agama, suku, militer/sipil, dan terakir menambah dana untuk kampanye.
Untuk Cawapres potensial Jokowi, LSI membagi menjadi tiga yakni dari Parpol, militer, dan kalangan Islam. Khusus dari kalangan Islam, Cawapres potensial Jokowi yang memiliki skor tertinggi adalah TGB Zainul Majdi (37), Muhaimin Iskandar (36), dan Romahurmuziy (35).
Kalah pemilu
Untuk mengingatkan, LSI mencatat Megawati Soekarnoputri kalah pada Pilpres 2014. Padahal, kurang dari 11 bulan, Megawati unggul telak selisih 40% dengan kompetitor terdekat, tetapi kalah pada hari Pemilu.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub DKI Jakarta 2017 juga mengalami nasib sama. Elektabilitas Ahok H-11 unggul telak 45% dengan kompetitor terdekat, tetapi kalah pada hari Pemilu.
Pun demikian, Bibit Waluyo pada Pilgub Jateng 2013. Kurang dari 11 bulan, Bibit unggul telak selisih 35% dari kompetitor terdekat, tetapi kalah juga pada hari Pemilu.
Terakhir, Fauzi Bowo pada Pilgub DKI Jakarta 2013 yang harus menyerah pada Jokowi-Ahok pada hari Pemilu. Padahal, kurang dari 11 bulan, elektabilitas Foke jauh unggul 37% dari kompetitor terdekat.
Survei tersebut dilakukan melalui pengumpulan data pada 28 April-5 Mei 2018. Metodologi survei menggunakan multistage random sampling dengan responden sebanyak 1200 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner. Dalam survei yang dilakukan kepada para pemilih tersebut, margin of error sebesar plus minus 2,9%.