close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, gerakan tagar #2019GantiPresiden bukanlah makar. / Facebook
icon caption
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, gerakan tagar #2019GantiPresiden bukanlah makar. / Facebook
Politik
Kamis, 06 September 2018 22:41

Mahfud MD: #2019GantiPresiden bukan gerakan makar

Mahfud MD menilai gerakan tanda pagar alias hashtag #2019GantiPresiden bukanlah makar.
swipe

Mahfud MD menilai gerakan tanda pagar alias hashtag #2019GantiPresiden bukanlah makar. 

Perang tagar masih terus berlangsung di media sosial. Bahkan, saat ini sudah menjelma ke dunia nyata dengan menyematkannya dalam atribut kebutuhan sehari -hari. 

Tak ayal, hal ini kerap menimbulkan gesekan di masyarakat. Sebab, tersemat kepentingan politik dalam tagar tersebut.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, gerakan tagar tersebut seyogyanya tak melanggar hukum. Lantaran, hal tersebut merupakan tak lebih dari aspirasi suatu kelompok.

"Gerakan #2019GantiPresiden itu melanggar hukum? Tidak. Kenapa dibilang tidak melanggar? Tidak apa-apa, saya bukan pengikut, tapi saya tidak setuju kalau itu dikatakan melanggar hukum," kata Mahfud dalam diskusi yang bertajuk Membangun Indonesia Beradab, di Kantor Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (6/9).

Selain itu, Mahfud juga mengatakan, gerakan tersebut bukanlah makar seperti yang disebutkan sejumlah pihak. Sebab, ia menilai tak sesuai dengan ciri-ciri makar.

"Ada yang mengatakan makar, di mana makarnya? Tak ada. Dia tak menyandera presiden, dia juga tidak mengatakan mau mengganti Pancasila. Tapi kan dia mau ikut Pemilu, di mana makarnya?" ujarnya.

Ia menjelaskan kategori makar telah diatur dalam undang-undang pidana. Sehingga, gerakan tersebut dipandang belum bisa dikatakan makar.

"Di dalam pasal 104 sampai 129 kitab UU pidana, maka pertama, merampas kemerdekaan presiden sampai dia tak bisa kerja, dikurung ditahan, itu namanya makar, dan kedua berkomplot merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden, ketiga mengganti ideologi Pancasila, itu menurut KUHP," jelasnya.

Oleh karenanya, ia berpesan agar masyarakat Indonesia lebih memahami hukum dan memandang hukum secara berkeadaban.

"Saya bukan pengikutnya, tetapi kita harus berhukum dengan benar kalau mau berkeadaban restoratif justice juga. Perbedaan jangan dibenturkan melawan hukum, tidak boleh, kita itu menjadikan hukum sebagai harmoni membangun harmoni," pungkasnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan