Mampukah Ummat dan Gelora kangkangi partai induk mereka?
Meskipun diwarnai drama, Partai Ummat akhirnya lolos menjadi peserta Pemilu 2024. Akhir Desember lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan partai yang didirikan Amien Rais itu lolos sebagai peserta pemilu.
Sebelumnya, Partai Ummat dicoret KPU lantaran tidak memenuhi syarat (TMS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara. Amien cs menggugat keputusan itu ke Bawaslu. Seiring itu, beredar rumor KPU pusat mengintimidasi petugas KPU daerah untuk tidak meloloskan Partai Ummat.
Ketika itu, Bawaslu memediasi konflik. KPU pun lantas menggelar verifikasi ulang keanggotaan parpol di sejumlah kabupaten dan kota. Usai verifikasi, partai yang diketuai Ridho Rahmadi itu dinyatakan memenuhi semua persyaratan. Partai Ummat lantas jadi partai peserta pemilu ke-24.
Usai dinyatakan lolos, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, M S Kaban mengaku partainya tengah menyusun strategi pemenangan. "Ini (strategi) akan diplenokan. Jadi, (sekarang) belum pleno,” ujar Kaban kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Kaban tak mengungkap target terukur. Namun, ia berharap partai berbasis Islam bisa sekuat saat Pemilu 1955. Ketika itu, gabungan suara Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama hampir 40% dari total suara nasional.
“Jadi bukan sekadar perolehan suaranya, tapi proses perolehan suaranya itu. Nuansa-nuansa kejujuran dan keadilan itu harus muncul. Ini harus menjadi syarat. Jadi, kita ingin kualitas demokrasi kita itu bukan demokrasi semu, tapi demokrasi yang substantif,” jelasnya.
Partai Ummat resmi berdiri pada awal Mei 2021. Partai ini didirikan Amien setelah berkonflik dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan pada Kongres PAN, sekira setahun sebelumnya. Amien tak setuju PAN kembali dipimpin Zulkifli.
Sejumlah petinggi PAN ikut pindah gerbong, semisal Nazaruddin, Fauzi Kadir, Benny Suharto, dan Ahmad Hanafi Rais. Nazaruddin dan Benny kini menjabat Waketum Partai Ummat. Fauzi dipercaya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Ummat Riau.
Hanafi kini tercatat sebagai anggota Majelis Syuro Partai Ummat. Sebelum hengkang, Hanafi merupakan pengurus DPP PAN, anggota DPR, dan ketua fraksi PAN di DPR. Belakangan, eksodus kader dari PAN ke Ummat juga terjadi di sejumlah daerah.
Kaban mengakui konstituen Partai Ummat beririsan dengan PAN, terutama pada pemilih dari kalangan Muhammadiyah. Namun, ia meyakini publik bakal menggandrungi Partai Ummat. Kaban menyebut partai-partai berideologi nasionalis-religius saat ini tak mampu menggerakkan perubahan.
"Itu kan juga menjadi peluang adanya perpindahan selera pilihan. Selain itu, masyarakat atau publik sudah ramai merespons bahwa Pak Amien membentuk Partai Ummat. Itu sebuah alternatif pilihan bagi pemilih-pemilih pemula dan juga pemilih-pemilih sepuh," tutur dia.
Kaban optimistis Partai Ummat bakal laku di kalangan generasi muda. Apalagi, Partai Ummat dipimpin Ridho yang baru berusia 37 tahun. "Kita memang mempersiapkan generasi anggota parlemen, generasi pemimpin-pemimpin nasional dari kalangan muda yang brilian," imbuhnya.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan partainya dengan Partai Ummat berbeda dari perspektif ideologi. Menurut Viva, PAN merupakan partai nasionalis-religius, sedangkan Partai Ummat bercorak Islam.
“Perbedaan ideologi partai akan menyebabkan adanya perbedaan basis massa partai. Masing-masing memiliki ceruk sendiri atau basis konstituen sendiri,” ucap Yoga kepada Alinea.id saat ditanya soal irisan pemilih PAN dan Partai Ummat, Rabu (11/1).
Menurut Yoga, irisan konstituen antara PAN dengan Partai Ummat tidak signifikan. Ia berdalih hampir semua parpol di Indonesia punya irisan konstituen dengan parpol pesaing mereka. "Dengan derajat yang berbeda-beda dan variatif," jelasnya.
Lebih jauh, Yoga mengungkapkan PAN sudah siap menyongsong pesta demokrasi 2024. Dia mengklaim mesin politik partai sudah bergerak. Berbarengan dengan itu, PAN kini tengah rutin menggelar pelatihan saksi di tempat pemungutan suara (TPS).
“Banyak bakal caleg potensial mengisi setiap dapil (daerah pemilihan), dan semakin tingginya soliditas pengurus dan kader serta semangat juang yang ideologis untuk dapat meraih kemenangan di Pemilu 2024,” ucapnya.
Gelora gerus PKS?
Selain Partai Ummat dan PAN, situasi serupa diyakini bakal dialami Partai Gelora dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pada Pemilu 2024, Gelora diprediksi bakal berebut ceruk suara yang sama dengan PKS. Selain karena Gelora dianggap pecahan dari PKS, ideologi kedua parpol juga terkesan serupa.
“Memiliki kalkulasi seperti itu wajar karena background. Bahwa kemudian PKS mungkin khawatir ada irisan seperti itu, itu wajar-wajar saja juga. Jadi, ya, nanti kita tinggal lihat di 2024 nanti siapa yang paling banyak dipilih," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelora, Rico Marbun kepada Alinea.id.
Gelora didirikan eks Presiden PKS Muhammad Anis Matta pada 2019. Sejumlah pentolan PKS ikut hengkang bersama Anis, semisal Fahri Hamzah yang kini jadi Waketum Gelora, Mahfudz Siddiq, dan Achmad Riyaldi. Mahfudz menjabat sebagai Sekjen Gelora dan Achmad jadi bendahara partai.
Selain dari PKS, Gelora juga menampung sejumlah politikus dari parpol lain semisal Deddy Mizwar dan Dedi Suwendi Gumelar atau Miing. Sebelum bergabung dengan Gelora, Miing tercatat pernah menjadi kader PDI-Perjuangan dan PAN. Adapun Deddy Mizwar tercatat pernah menjadi kader Partai Demokrat.
Meskipun punya sejumlah politikus populer, Rico mengatakan, Gelora punya pekerjaan rumah (PR) untuk mengenalkan kembali mereka ke publik. Ia menyebut sebagian besar masyarakat belum tahu Fahri dan kawan-kawan kini telah berbaju Gelora.
“Misalnya, Pak Anis Matta dan Pak Fahri Hamzah itu kan mantan Wakil Ketua DPR. Jadi ini PR, tapi sekaligus kekuatan kita karena orang-orang ini, itu dulu juga merupakan magnet elektoral," terang Rico.
Gelora, kata Rico, tak punya target muluk-muluk. Gelora hanya berharap bisa lolos parliamentary threshold (PT) sebesar 4%. Untuk mencapai target itu, Gelora telah menyiapkan sejumlah strategi. Pertama, mendongkrak popularitas parpol hingga 100% dalam beberapa bulan ke depan.
Kedua, menambah jumlah kader dan pengurus di daerah. Ketiga, membuka pendaftaran caleg dari Partai Gelora. "Bukan hanya (menambah jumlah kader) sampai tingkat kelurahan, tapi juga sampai tingkat TPS,” ucap Rico.
Saat ini, Gelora punya sekitar 756 ribu kader di seluruh tanah air. Rico mengklaim struktur keorganisasian Partai Gelora relatif telah terbangun merata di seluruh provinsi. “Tidak ada lumbung suara khusus. Semua daerah itu kita pastikan bahwa kita harus dapat suara yang maksimal di situ,” ujarnya.
Soal peluang lolos ke parlemen, Rico optimistis. Berbasis survei internal, Rico menyebut saat ini masih ada sekitar 60% pemilih belum menentukan parpol yang bakal dicoblos pada Pemilu 2024. "Kami, dari Partai Gelora, yakinlah bahwa ada peluang itu,” ujarnya.
Rico mengatakan Gelora tidak terbebani dengan anggapan parpol baru biasanya gagal lolos ke parlemen. Menurut dia, peluang semua parpol untuk lolos atau kandas di Pemilu 2024 sama. Ia mencontohkan sejumlah parpol lawas yang gagal di Pemilu 2019.
“Tapi, memang ada kaitannya dengan strategi komunikasi (dan) pemenuhan janji-janji. Jadi, kaitannya dengan kerja-kerja elektoral. Jadi itu kenapa saya pikir peluangnya sama,” jelasnya.
Pada Pemilu 2019, ada tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas, yakni Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dari daftar tersebut, Hanura, PBB, dan PKPI merupakan parpol lama. Parpol-parpol lainnya baru memulai debut pada Pemilu 2019.
Ditanya soal eksistensi Gelora yang potensial menggerus raihan suara PKS pada Pemilu 2024, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera merespons secara diplomatis. Ia menyebut semua parpol akan berjuang mati-matian untuk meraup suara.
"Semua punya peluang yang sama untuk dapat kepercayaan rakyat. Syaratnya, melayani dan bantu rakyat. PKS siap kontestasi pelayanan, karya, dan gagasan dengan semua kawan-kawan parpol lain,” ujar Mardani kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Namun demikian, Mardani mengakui ada potensi perpindahan pemilih PKS ke parpol lain di Pemilu 2024 nanti. Ia meyakini jumlahnya tidak akan signifikan. “Selalu ada perpindahan, walau kecil. Yang utama buat PKS, membantu dan melayani rakyat,” cetusnya.
Sulit lolos
Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam, mengatakan kemunculan parpol baru menjelang pemilu adalah hal lumrah dalam demokrasi. Namun demikian, kebanyakan parpol didirikan tanpa mengusung visi, misi, dan ideologi baru.
“Partai Gelora dan Ummat adalah contoh partai baru produk dari masalah internal partai induk. Namun, dalam kondisi saat ini di mana masyarakat jemu dengan model politik konvensional, nampaknya dua partai tersebut akan sulit masuk Senayan karena syarat ambang batas yang cukup tinggi,” ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Berdasarkan hasil survei IPS pada pertengahan 2022, Arman mengatakan, Partai Ummat dan Partai Gelora terlihat masih sangat kecil dan belum terpotret eksistensinya. Di lain sisi, PAN yang notabene sebagai parpol induk Partai Ummat pun masih harus berjuang keras supaya bisa lolos ambang batas parlemen 4%.
Eksistensi Partai Ummat dan Partai Gelora, lanjut Arman, sudah pasti bakal menggerus suara PAN dan PKS. Pertanyaannya, seberapa besar kedua parpol baru itu bisa mencuri suara dari parpol induk mereka?
“Yang mesti dilakukan oleh PKS dan PAN adalah membangun jejaring grassroot yang lebih kokoh sambil terus bergerak melakukan inovasi berpolitik dengan model politik gagasan,” ujar Arman.
Sebagai partai anyar, Partai Ummat dan Partai Gelora punya segudang pekerjaan rumah. Selain mengenalkan para pentolan partai eks parpol induk, kedua parpol itu juga harus bisa mengeluarkan terobosan-terobosan untuk menarik simpati publik.
“Partai baru harus berani mengambil langkah yang ekstrem dan di luar dari biasanya kalau tidak ingin hanya menjadi penari latar dalam pileg (pemilihan legislatif) nanti,” katanya.
Bagi PKS dan PAN, informasi perpindahan tokoh-tokoh politik yang belum sepenuhnya diketahui publik juga bisa dimanfaatkan. PAN dan PKS bisa memanfaatkan momentum terbatasnya pengetahuan publik untuk mengonsolidasi dukungan terhadap parpol.
"Jika dianggap menguntungkan pada segmen pemilih tertentu, maka partai lama atau induk harus bisa mengkapitalisasi potensi tambahan dukungan dari pemilih militan yang belum tahu perpindahan figurnya,” jelas Arman.