Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, mengungkapkan ada kelompok radikal yang menunggangi salah satu calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2019. Sebagai penumpang gelap, kelompok radikal ini mempunyai agenda yang berorientasi pada kekuasaan.
“Para pendukung pasangan capres-cawapres ini mempunyai kepentingan masing-masing. Mereka ini kelompok radikal yang dari ciri-cirinya, memiliki kesadaran politik, pragmatis, kontekstual, dan berorientasi kekuasaan jihad-khilafah-imamah," kata Soleman melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (14/5).
Menurut dia, situasi politik Indonesia saat ini semakin memanas. Terlebih, waktu pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap hasil pemilihan presiden (pilpres) 2019 semakin dekat, yakni pada 22 Mei 2019.
Sementara itu, pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih mempertahankan pendiriannya yang mengklaim memenangi Pilpres 2019, meski hasil Situng KPU sampai kini menunjukkan paslon Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul.
Lebih lanjut, Soleman mengatakan, dirinya menduga tokoh-tokoh garis keras juga memanfaatkan situasi politik yang tengah memanas ini. Ia pun tak menampik kemungkinan adanya penyusupan Hizbut Tahrir dengan agenda utamanya adalah mewujudkan proyek kekhalifahan dunia.
“Bahkan tidak tertutup kemungkinan masih ada lagi pendukung lain yang tidak terdeteksi, alias pembonceng gelap," jelasnya.
Fakta lain yang harus mendapat perhatian khusus, kata Soleman, adalah adanya penangkapan terduga teroris oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Setelah ditangkap, diketahui para terduga teroris itu berasal dari jaringan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Lampung.
“Hal itu, menambah panjang daftar pendukung yang sewaktu-waktu dapat melaksanakan agendanya sendiri-sendiri,” ujarnya.
Untuk menghadapi kondisi yang demikian, kata Soleman, pemerintah memiliki dua alat yaitu intelijen dan hukum. Saat ini, kata dia, pemerintah tengah memainkan alat hukum dengan membentuk Tim Asistensi Hukum untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan rakyat.
“Pembentukan tim hukum ini diambil pemerintah untuk mencari jalan terbaik menurut hukum yang ada,” ujar Soleman.
Dalam memainkan alat hukum ini, Soleman menambahkan, pemerintah harus memilah pasal-pasal yang ada pada undang-undang untuk dimanfaatkan dalam mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dari sekian banyak pasal, hanya pasal makar yang sangat mungkin dapat digunakan.
“Tetapi, penggunaan pasal ini mendapatkan kritikan yang luar biasa. Ada yang suka dan ada yang tidak.Karena itu, jangan paksakan pemerintah menggunakan alat satunya lagi bernama intelijen,” ucap Soleman.
“Kita mungkin masih ingat istilah petrus dalam sejarah Orde Baru. Untuk melindungi kepentingan orang banyak saat itu, petrus terpaksa dimainkan.”
Saat itu, orang-orang yang diduga sebagai biang perusuh secepat kilat dikirim ke daerah lain agar tidak membuat onar dan mengganggu kepentingan orang banyak. Menurut Soleman, tak menutup kemungkinan, hal yang sama serupa Petrus bisa saja dimainkan pemerintah saat ini.
“Karena itu, jangan paksa pemerintah untuk memainkan alatnya itu. Patuhilah aturan main yang ada, hormati kepentingan orang lain, jangan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan golongan,” kata Soleman. (Ant)