Masa depan suram otonomi daerah di era Prabowo-Gibran
Gejala deotonomisasi daerah atau resentralisasi diyakini bakal menguat di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). Belum genap seratus hari, pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama lewat menteri dan kepala badan, mengeluarkan sejumlah kebijakan yang terkesan mempereteli kewenangan pemerintah daerah (pemda).
Terbaru, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa pemerintah sepakat menarik kewenangan pengelolaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) ke tingkat pusat. Menurut Zulkifli, pemerintah perlu mengelola langsung PPL demi mengejar target swasembada pangan pada 2027.
"Kita memiliki 37.000 hingga 38.000 penyuluh saat ini dan itu harus ditambah. Petani perlu mendapatkan bimbingan, mulai dari penggunaan pupuk hingga teknik bertani yang lebih efektif,” kata Zulkifli dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas) tingkat menteri bidang pangan di Jakarta, Kamis (28/11) lalu.
Meski tak beririsan dengan kewenangan pemda, kebijakan bernuansa sentralisasi juga dikeluarkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Oktober lalu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko merilis kebijakan pemindahan periset di daerah-daerah ke homebase pusat. Jika tidak ada perubahan, kebijakan itu berlaku mulai Januari 2025.
Di ranah politik, ancaman terhadap otonomi daerah juga muncul dari maraknya calon kepala daerah dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang memenangi kontestasi Pilkada Serentak 2024. Dikotomi kepala daerah KIM dan non-KIM potensial memunculkan keberpihakan pemerintah pusat terhadap daerah-daerah tertentu, semisal lewat anggaran atau proyek berskala nasional.
Pakar kajian otonomi daerah, Djohermansyah Djohan menilai deotonomisasi atau resentralisasi telah terjadi sejak era Jokowi. Ia mencontohkan kewenangan pemerintah daerah yang dipereteli pemerintah pusat lewat Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Salah satu yang paling gamblang ialah penarikan kewenangan penerbitan izin pertambangan ke pusat. Sebelum UU Minerba terbit pada 2020, kewenangan izin pertambangan dikelola sepenuhnya oleh pemda. Kini, pemda hanya bisa mengurusi izin pertambangan jika pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan tersebut.
Contoh lainnya, kata Djohermansyah, ialah persyaratan ketat yang diberlakukan untuk dana-dana yang ditransfer dari pusat ke daerah. Untuk Dana Alokasi Umum (DAU), misalnya, presiden bebas menentukan besarannya bagi setiap daerah.
"Contohnya dana alokasi umum (DAU) itu sebenarnya bebas menggunakan untuk kebutuhan sesuai dengan kondisi lokalitas. Tapi, lalu dibuat aturan yang mengunci sehingga DAU itu rasa Dana Alokasi Khusus (DAK)," kata Djohermansyah kepada Alinea.id, Senin (2/12).
Djohermansyah juga mengkritik "settingan" koalisi parpol Prabowo-Gibran untuk memenangkan calon-calon kepala daerah yang diusung KIM di Pilkada Serentak 2024. Menurut dia, Prabowo sejak awal seolah mengindikasikan bakal mengutamakan kebutuhan kepala daerah yang diusung KIM.
Meskipun dalihnya sinkronisasi pembangunan pusat dan daerah, Djohermansyah justru khawatir Prabowo mempraktikan favouritism ala Jokowi. Jokowi, kata Djohermansyah, sempat menghukum Sumatera Barat karena raihan suaranya selalu kalah dari Prabowo pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
"Imbasnya, setelah Jokowi kembali berkuasa kali kedua, tidak ada proyek strategis nasional (PSN) di Sumatera Barat. Provinsi Sumbar dianaktirikan karena Jokowi kalah di sana. Jadi, itu contoh dari buruknya resentralisasi. Segala sesuatu harus sesuai maunya pusat," kata Djohermansyah.
Djohermansyah sepakat kebijakan menarik kewenangan pengelolaan PPL ke pusat menggerus kekuatan otonomi daerah. Hal itu setali tiga uang dengan pernyataan Wakil Menteri Perumahan Rakyat Fahri Hamzah yang meninginkan Pilkada 2024 menjadi yang terakhir dengan dalih proyek 3 juta rumah akan sulit terwujud jika ada raja kecil di daerah.
"Ini tanda ingin melakukan deotonomisasi atau ingin mendegradasi otonomi daerah. Padahal, otonomi daerah itu dijamin konstitusi. Jadi enggak bisa menteri dengan surat edaran dan pakai peraturan menteri, mau melakukan tindakan seperti itu. Otonomi itu dijamin dalam konstitusi. Jadi, bunyinya otonomi daerah seluas-luasnya. Pasal 18 UUD 1945," kata Djohermansyah.
Untuk mencegah tabrakan antar regulasi, Djohermansyah mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (UU Otda) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). "Jika tidak, maka perlahan otonomi daerah akan terdegradasi," tegasnya.
Senada, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menilai masa depan otonomi daerah bakal suram pada era Prabowo-Gibran. Gejala resentralisasi, kata dia, sudah dimulai sejak lahirnya sejumlah undang-undang sektoral yang mempreteli kewenangan pemerintah daerah, semisal UU Ciptaker dan UU Minerba.
"Ini (resentralisasi kewenangan ke pusat) sebenarnya bentuk pengkhianatan terhadap salah satu agenda reformasi. Salah satu agenda reformasi itu kan soal desentralisasi itu soal otonomi daerah," kata Herman kepada Alinea.id, Selasa (3/12).
Herman juga mengatakan potensial terbangun relasi sempit antara pemerintahan Prabowo dan kepala daerah jika kebanyakan kepala daerah terpilih berasal dari KIM. Kepala daerah bisa dianggap selayaknya pembantu presiden.
"Itu, menurut kami, ke depan yang perlu diluruskan kembali oleh pemerintah pusat bahwa hubungan pusat dan daerah itu bukan hubungan individual antara presiden dengan kepala daerah," kata Herman.
Untuk mencegah otonomi daerah semakin terdegradasi, Herman sepakat UU Pemda harus direvisi. Dalam revisi tersebut, perlu ditegaskan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama dalam memastikan muatan di undang-undang sektoral yang harus jadi kewenangan daerah.
"Dalam UU Pemda itu sebetulnya sudah ada kriteria soal eksternalitas. Kemudian efisiensi dan efektivitas sehingga itu bisa dibagi apa yang menjadi kewenangan provinsi kabupaten dan kota atau yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. UU Sektoral itu seharusnya patuh pada pengaturan itu. Kemudian di luar urusan pembagian kewenangan, itu perlu juga regulasi spesifik terkait pengelolaan belanja," kata dia.
Revisi UU Pemda, menurut Herman, juga perlu konsisten mendorong pendekatan asimetris yang mengakui keberagaman dan perbedaan antar daerah. Karena perbedaan karakteristik, satu daerah semestinya tidak diperlukan sama dengan daerah lainnya oleh pemerintah pusat.
"Semisal perlakuan Jakarta dengan provinsi lain. Mesti berbeda antara daerah-daerah yang punya kapasitas fiskal besar dengan daerah yang punya kapasitas fiskal rendah. Jangan diperlakukan sama. Daerah yang berbentuk kepulauan dengan yang daratan juga mesti diperlakukan berbeda," jelasnya.