Masifnya pelanggaran netralitas kades di Pilkada Serentak 2024
Kasus-kasus ketidaknetralan kepala desa di Pilkada Serentak 2024 kian marak. Bawaslu RI mencatat setidaknya sudah ada 195 kasus dugaan pelanggaran netralitas kepala desa sepanjang pilkada berlangsung. Sebanyak 59 merupakan temuan Bawaslu dan 136 berasal dari laporan masyarakat.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan kasus-kasus keterlibatan kepala daerah dalam upaya pemenangan salah satu kandidat tersebar di 25 provinsi. Sebanyak 130 kasus dugaan pelanggaran netralitas kades telah diregister Bawaslu.
"Dari 130 perkara diregister, sebanyak 12 perkara merupakan tindak pidana pelanggaran pemilihan. Sebanyak 97 (kasus) merupakan pelanggaran peraturan perundangan lainnya dan 42 bukan pelanggaran,” kata Bagja dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/10).
Pelanggaran netralitas itu di antaranya menghadiri kampanye, memberikan dukungan dan mengarahkan untuk berpihak kepada salah satu pasangan calon, menggelar kegiatan yang mengundang pasangan calon kepala daerah, serta melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Selain itu, ada juga kepala desa yang terbukti mengizinkan pemasangan alat peraga kampanye (APK) di lingkungan balai desa, terlibat dalam pembentukan tim bakal calon atau tim kampanye, serta berfoto bersama dengan calon pada kegiatan kampanye dan memegang APK.
Salah satu dugaan mobilisasi kades paling masif diberitakan terjadi di Jawa Tengah. Selama sebulan terakhir, Bawaslu mendeteksi adanya pertemuan-pertemuan perangkat desa di sejumlah kabupaten yang terindikasi upaya memobilisasi dukungan terhadap salah satu pasangan calon.
Analis politik dari Universitas Medan Area, Sumatera Utara, Khairunnisa Lubis menilai bukan perkara mudah untuk mencegah kepala desa bermain politik praktis saat pilkada. Tidak adanya sanksi yang tegas dari penyelenggara pemilu dan aparat terkait jadi salah satu penyebab berulangnya kasus-kasus ketidaknetralan perangkat desa dalam pemilu.
"Sudah ada edaran dan regulasi dari tingkat pusat hingga daerah, dari mulai sanksi pidana kurungan dan denda. Tetapi, ini seakan menjadi angin lalu, makin tahun keberpihakan kepala desa terhadap salah satu pasang calon kepala daerah semakin jelas terlihatnya. Mereka sudah berani, tidak bermain samar," ucap Nisah, sapaan akrab Khairunnisa, kepada Alinea.id, Selasa (29/10).
Keterlibatan kepala desa dalam pemenangan pasangan calon tak diperkenankan beragam regulasi. Salah satunya termuat pada Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Pada pasal itu disebutkan bahwa kampanye pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa, lurah, perangkat desa, atau perangkat kelurahan.
Kepala desa, kata Nisah, kerap didekati paslon atau tim suksesnya lantaran punya pengaruh kuat di lingkungan mereka masing-masing. Preferensi politik kepala desa kerap jadi rujukan bagi warga setempat. "Jelas persoalan ini bukan hal mudah untuk diatasi," imbuh Nisah.
Menurut Nisah, kepala desa yang mudah tersandera kasus hukum karena tidak beres mengelola dana desa. Karena itu, mereka kerap menjadi sasaran empuk kandidat untuk diintimidasi dan selanjutnya diperdaya sebagai vote getter alias penjaring suara.
"Bagi yang mungkin tersandera atau memang sukarela kepala desa cukup merasa gembira jika musim pilkada sudah masuk. Masing-masing memiliki harapan atau mungkin sampai janji kepada salah satu calon pasang kepala daerah," kata Nisah.
Sosiolog dari Universitas Trunojoyo Madura, Aminah Dewi Rahmawati mengatakan fenomena kepala desa menjadi bagian dari tim sukses pasangan calon peserta pemilu kini kian lazim. Salah satu penyebabnya ialah karena Bawaslu tidak memberi sanksi tegas.
Padahal, UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sudah tegas melarang kepala desa berpolitik praktis. Pasal 51 huruf (g) UU tersebut menyebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
"Situasi ini pernah terjadi ketika pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin. Apa yang dilakukan oleh aparat negara di atasnya itu akan menjadi contoh bagi aparatur di bawahnya. Jadi, tidak aneh kalau (pelanggaran netralitas) itu terus terjadi," ucap Aminah kepada Alinea.id, Selasa (29/10).
Menurut Aminah, tak sulit untuk meminimalisasi kasus-kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan kepala desa. Bawaslu, kata dia, hanya perlu menegakkan aturan dan tidak tebang pilih dalam menghukum kepala desa atau paslon yang terbukti "memaksa" kepala desa berpihak kepada mereka.
"Seakan-akan sekarang mem-blow up seperti itu. Padahal, kemarin- kemarin (Pilpres 2024 dan Pileg 2024), ada peristiwa seperti itu mereka diam saja. Itu yang kita lihat sebagai evaluasi pelaksanaan dari pemilu ke pemilu," kata Aminah.
Aminah memahami bila banyak kepala desa yang terdesak menjadi tim pemenangan paslon karena diintimidasi dan diancam dikriminalisasi dengan dalih buruknya pengelolaan dana desa. Namun, Aminah melihat situasi semacam itu terjadi karena kecerobohan dari kepala desa sendiri.
"Kalau tidak ada salah, mau digebrak atau mau diancam apa pun tentang tadi keterlibatan kepala desa, ya, mereka tetap harus berani untuk kemudian bersikap netral," kata Aminah.
Menurut Aminah, posisi para kepala desa sebenarnya sangat kuat sebagai penentu bersihnya Pilkada Serentak 2024 dari praktik-praktik kecurangan. Apalagi, jumlah kepala desa mencapai puluhan ribu dan terkoneksi lewat beragam asosiasi perangkat desa.
"Kalau mereka memiliki gerakan menolak politik praktis, mereka itu posisinya sangat kuat. Jadi, kalau kita lihat beberapa kali kepala desa demo (terkait UU Desa). Akhirnya, pemerintah keder juga. Seandainya dalam posisi netral kepala desa itu dan mereka berani melakukan gerakan itu, saya pikir, luar biasa," kata Aminah.