Masyarakat mendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang narapidana korupsi dan kasus berat lain menjadi calon anggota legislatif.
Gagasan KPU untuk melarang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus kejahatan berat seperti korupsi, narkoba, terorisme dan tindakan kejahatan seksual terhadap anak, sebagai calon anggota legislatif, menuai jalan terjal setelah DPR dan Pemerintah maupun Bewaslu menolaknya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Selasa (22/5) di Parlemen.
Alhasil, hal ini pun menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat maupun praktisi anti korupsi di Indonesia. Pasalnya, hal ini dianggap beberapa pihak adalah tindakan yang tak kooperatif DPR terhadap pemberantan korupsi.
Salah satunya datang dari Direktur Ekstekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Dia menyayangkan tindakan DPR dan pemerintah maupun Bawaslu yang menolak gagasan KPU tersebut.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh KPU adalah suatu langkah positif dari KPU untuk memerangi korupsi dan menghadirkan calon rakyat yang berkualitas.
"Kalau tidak seperti itu, nanti rakyat itu bisa tertipu dengan calon-calon yang sebenarnya enggak bagus, oleh sebab itu ini salah satu langkah KPU untuk menghadirkan calon yang berkualitas," paparnya dalam diskusi yang bertajuk "Gagasan ditolak DPR, Pemerintah dan Bawaslu, KPU Harus Jalan Terus," di Kantor ICW kawasan Kalibata, Jakarta, Rabu (23/5).
Selain itu, Titik juga mengatakan bahwa tindakan korupsi yang kerap menjerat para anggota legislatif sebenarnya bisa ditekan, apabila partai politik (Parpol) memiliki itikad baik dan komitmen untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
Artinya, setiap Parpol jangan mencalonkan kadernya yang pernah terjerat korupsi dan kejahatan berat lainnya untuk menjadi wakil rakyat di DPR.
"Sebenarnya, andaikan hal itu dikedepankan, maka marwah partai itu sendiri akan naik, dan kepercayaan masyarakat pun akan meningkat," jelasnya.
Senada dengan Titik, Hadar Nafis Gumay yang merupakan anggota KPU periode 2012-2017, menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh KPU adalah suatu langkah yang progresif dan perlu didukung oleh setiap pihak termasuk DPR.
"Untuk DPD dan presiden saja tak boleh, masa DPR enggak mau, ini ada apa-apa pasti ada kepentingan dibelakangnya pasti," paparnya.
Hal serupa pun disampaikan oleh Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Sumatra Utara (PUSAKO) yang mengatakan bahwa DPR cinderung melindungi kepentingannya di balik penolakannya tersebut.
"Apa salahnya KPU ingin menghadirkan calon yang berkualitas, supaya rakyat juga enggak salah pilih, dan jangan lupa bahwa ini juga untuk menyelamatkan wajah DPR di masa depan, saya curiga penolakan ini jangan-jangan ada orang-orang yang sengaja ingin mencoreng wajah DPR," paparnya.
Lebih lanjut, Titik dan Hadar Gumay maupun Ferry berharap KPU tetap merealisasikan gagasanya untuk melarang para mantan narapidana korupsi dan kejahatan berat lainnya untuk maju sebagai caleg.
"Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 telah memberi kewenangan KPU untuk membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah memutuskan bahwa Rapat Konsultasi itu tidak mengikat, jadi tak ada alasan bagi KPU untuk berhenti," tuntasnya seraya berdoa.
Dalam kesempatan itu pula turut hadir Syamsudin Alimsyah dari Komite Pematau Legislatif (KOPEL) yang menyuarakan hal serupa untuk mendukung KPU dan dengan gagasanya.