Masyumi Reborn: Digagas barisan sakit hati, bidik massa anti-Jokowi
Hingga menjelang Magrib, Jeffry Ahmad Kurniadi masih mondar-mandir di ruangan di lantai dua Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Jalan Kramat Raya Nomor 45, Jakarta Pusat, itu. Setumpuk kertas ada di tangan pria berusia 48 tahun tersebut.
Itu tumpukan surat undangan yang ditujukan kepada anak-cucu pendiri Partai Masyumi. Menurut Jeffry, tumpukan undangan itu harus sudah terkirim, Jumat (6/3) malam itu. Pasalnya, bakal ada temu kangen para tokoh Masyumi keesokan harinya.
"Sebab Masyumi partainya ulama. Jadi, besok ulama dan ormas Islam kami undang untuk dimintai pandangannya," ucap Jeffry saat berbincang dengan Alinea.id di sela kesibukannya mempersiapkan "Silaturahim Nasional Keluarga Besar, Anak-Cucu dan Pecinta Masyumi".
Jeffry merupakan ketua panitia acara pertemuan tokoh-tokoh Masyumi itu. Hajatan tersebut, kata Jeffry, digagas eks Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban dan eks politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani.
"Saya generasi ketiga Masyumi. Kakek saya Lukman Harun merupakan anggota DPR RI dari Masyumi dulu. Saat diminta beliau-beliau (Kaban dan Yani) jadi ketua panitia, saya langsung mengiyakan," ucapnya.
Lukman Harun tercatat pernah menjadi anggota DPR RI pada era Orde Baru. Lukman adalah tokoh Muhammadiyah dan Persatuan Muslim Indonesia (Parmusi). Parmusi adalah partai politik yang didirikan oleh eks kader Masyumi setelah dibubarkan Sukarno pada 1960.
Dijelaskan Jeffry, temu kangen itu bukan pertemuan sembarangan. Pasalnya, Kaban dan Yani berencana menghidupkan kembali Masyumi dengan meminta dukungan anak dan cucu dari tokoh-tokoh Masyumi di masa lampau.
Di samping tokoh-tokoh Masyumi, puluhan ormas Islam juga turut diundang dalam pertemuan itu. Selain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), pihak panitia juga mengundang Front Pembela Islam (FPI), Persaudaraan Alumni (PA) 212, Forum Umat Islam (FUI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menurut Jeffry, panitia memang sengaja mengundang ormas-ormas Islam penentang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub DKI 2017 dan Jokowi pada Pilpres 2019. Para penggagas Masyumi Reborn berharap bakal didukung penuh oleh kelompok-kelompok tersebut karena ada pertautan ideologi.
Itulah kenapa, lanjut Jeffry, panitia Masyumi Reborn pun mengambil nama 411, mengacu pada gerakan "Aksi Bela Islam" pada 4 November 2016 yang menuntut agar kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok segera diselidiki.
"Jadi 411 itu Panitia Persiapan Pendirian Partai Islam Ideologis. P-nya ada empat dan I-nya ada dua. Jadi, namanya 411. Momen 411, menurut kami, lebih besar ketimbang (aksi) 212," ucap Jeffry.
Ditemui di sela-sela rapat di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yani membenarkan ia dan Kaban terinspirasi aktivisme politis umat Islam pada Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 saat menggagas Masyumi Reborn.
Berkaca pada kencangnya politik identitas dalam dua kontestasi elektoral itu, menurut Yani, publik terindikasi masih ingin ada parpol berbasis Islam kembali ke kancah politik nasional.
Apalagi, parpol berbasis agama semisal PPP, PKB, PKS, PBB, dan PAN dirasa belum bisa memenuhi ekspektasi publik. Parpol-parpol itu, kata Yani, tak lagi murni mengusung Islam sebagai ideologi sebagaimana Masyumi dulu.
"Semangat politik Islam itu yang ingin kita tarik ke Masyumi. Umat itu masih mengganggap kelima partai ini belum bisa menjadi wadah untuk menampung aspirasi mereka. Jadi, kami berusaha mengambil ceruk yang kecewa itu," ucap Yani.
Yani tak menepis anggapan bahwa Masyumi Reborn turut dibidani barisan sakit hati di PPP dan PBB pada Pilpres 2019. "Gerbong yang bergabung memang mayoritas yang kemarin mendukung Prabowo. Karena PPP dan PBB mendukung Jokowi-Ma'ruf, makanya mereka menarik diri," ucapnya.
Terkait peluang, Yani optimistis Masyumi bakal mampu bicara banyak. Ia mengklaim masyarakat di daerah lumbung suara Masyumi pada masa lalu sudah menyatakan dukungan. "Seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, dan Jawa Timur serta beberapa wilayah Sulawesi," imbuhnya.
Keesokan harinya, silaturahmi nasional (silatnas) "orang-orang" Masyumi itu akhirnya digelar. Sekitar 300 orang hadir di Gedung Dewan Dakwah. Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua, tokoh PA 212 Eggy Sudjana dan aktivis 1998 Sri Bintang Pamungkas juga terlihat di antara para peserta silatnas.
Dalam pertemuan itu, Yani, Kaban dan para peserta silaturahmi sepakat untuk membentuk panitia untuk merealisasikan mimpi membangkitkan kembali Masyumi.
"Spirit Masyumi dan persatuan umat diperlukan untuk membangun bangsa ke depan," kata Kaban saat berpidato.
Dipandang sebelah mata
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Mahfudz Siddiq, menilai kemunculan Masyumi Reborn bukan ancaman bagi partainya yang kini juga tengah merintis jalan ke kancah politik nasional. Ia yakin segmen pemilih yang disasar Masyumi berbeda dengan Partai Gelora.
"Saya kira akan ada segmentasi di kalangan pemilih, termasuk pemilih Muslim. Enggak ada masalah, Gelora sendiri bersifat terbuka dan inklusif," ucapnya.
Menurut Mahfudz, orientasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen. Karena itu, ada banyak ceruk suara yang bisa diperebutkan partai politik berjubah agama.
"Spektrumnya dari kiri, tengah, dan kanan. Ini pasar politik yang besar bagi semua partai, tapi segmen kanan memang sangat terbatas," jelas Mahfudz.
Senada, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Ferry Noor mengaku PBB tak bakal ambil pusing ihwal kemunculan Masyumi Reborn. Menurut Ferry, tak mudah membangun sebuah partai yang bisa eksis bila hanya bermodal ideologi.
"PBB tidak ada masalah. Silakan saja. Kami mendoakan Masyumi Reborn ini bisa ikut pemilu. Silahkan buktikan omongannya bila mereka yang disukai oleh orang dan rakyat," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (6/2).
PBB--yang menyematkan frasa bulan bintang dalam nama partai--kerap dianggap sebagai partai titisan Masyumi setelah Parmusi dikooptasi PPP pada dekade 1970-an. Pada Pemilu 1999, PBB sukses mengantarkan sejumlah kader ke Senayan. Namun, PBB tak pernah lagi lolos ambang batas parlemen.
Menurut Ferry, saat ini nama Masyumi sudah tak bisa lagi dijadikan "alat jualan" untuk memikat umat Islam. Pasalnya, para pengikut Masyumi telah terpecah ke berbagai partai. "Setelah dibubarkan oleh Bung Karno, tokohnya sampai anak-anak dan cucu-cucu itu sudah berada di banyak partai. Ada di PAN, PKS, PPP, PKB, PBB, bahkan di Golkar," ucapnya.
Ia pun mempersilakan Kaban dan Yani hengkang dari PBB jika serius merealisasikan gagasan mereka membangun Masyumi baru. "Sebab, di dalam PBB sendiri sudah banyak yang menginginkan para pengkhianat ini keluar dari PBB," ucapnya.
Kaban dan Yani saat ini memang masih tercatat sebagai politikus PBB. Yani meninggalkan PPP pada 2018 lalu setelah partai berlambang kakbah itu memutuskan mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019.
Seperti Yani, Kaban pun mendukung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Bahkan, Ketua Majelis Syura DPP PBB itu terang-terangan mengkritik keputusan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra yang membawa PBB ke barisan parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf.
Partai berjubah agama tak diminati
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai jalan Yani dan Kaban menghidupkan kembali Masyumi bakal terjal. Selain tak lagi populer, menurut Firman, Masyumi Reborn belum punya pemodal berdompet tebal.
"Tidak seperti Masyumi pada waktu dulu yang didukung banyak pengusaha besar. Masyarakat sekarang juga sudah sangat pragmatis dan cenderung tak peduli dengan ideologi," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (3/3).
Persoalan lainnya ialah dari sisi ketokohan. Menurut Firman, Masyumi yang digagas Yani dan Kaban tak punya tokoh kuat sekaliber Mohammad Natsir yang mampu membranding Masyumi sebagai kekuatan politik Islam.
"Saya lihat tokoh-tokoh yang tampil nanti hanya medioker saja. Tidak begitu dikenal masyarakat. Padahal, ketokohan dalam politik Indonesia itu penting," ucapnya.
Natsir merupakan salah satu pendiri Masyumi pada 1945. Saat didirikanm Masyumi disokong Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam dari berbagai wilayah di Tanah Air. Pada Pemilu 1955, Masyumi bahkan mampu meraup hingga hampir 8 juta suara.
Hal lain yang bikin Firman pesimistis ialah kegagalan partai-partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Perindo di Pemilu 2019. Menurut dia, kegagalan kedua partai itu menjadi cerminan betapa sulitnya mengelola parpol.
"Harry Tanoe (Ketua Umum Perindo) yang modalnya segitu besar pun gagal. Ceruk pemuda yang diusung PSI juga gagal. Bukan perkara mudah membuat partai eksis," jelas dia.
Guru besar adab dan humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Sukron Kamil sepakat peluang Masyumi untuk berjaya kembali di kancah politik nasional sangat kecil. Apalagi, partai-partai bernafaskan Islam mulai kurang diminati pemilih.
"Saya kira berat bagi Masyumi untuk hidup kembali. Partai Islam yang ada sekarang saja kecenderungannya ke tengah dan sudah tidak memperjuangkan syariah Islam. Itu pun mereka masih sulit untuk meraup suara signifikan," jelas Sukron.
Lebih jauh, Sukron menyarankan agar Masyumi Reborn berkaca kepada pengalaman PBB yang suaranya terus merosot di setiap pemilu. Menurut Sukron, nasib PBB mengindikasikan jika ideologi dan romantisme masa lalu tak lagi laku untuk menggaet pemilih Muslim.
"Soalnya kecenderungan kaum pemilih saat ini lebih ke alasan rasional seperti kemaslahatan publik dalam program dan juga alasan pragmatis bagi masyarakat yang kurang terdidik. Simbol Islam itu sudah enggak laku," ujarnya.