close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mahasiswa berunjuk rasa di tengah ancaman DO dari pihak kampus. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Mahasiswa berunjuk rasa di tengah ancaman DO dari pihak kampus. Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Jumat, 04 Oktober 2019 19:10

Membonsai gerakan mahasiswa ala rezim Jokowi 

Dari laporan yang masuk, sejumlah mahasiswa terancam dikeluarkan dari kampusnya karena ikut aksi unjuk rasa.
swipe

Sehari setelah aksi unjuk rasa mahasiswa menolak pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berujung ricuh, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir ke Istana Negara, Jakarta. 

Kepada Nasir, Jokowi berpesan agar Kemenristek Dikti turut membantu meredakan aksi unjuk rasa yang digelar mahasiswa di Jakarta dan di berbagai daerah lainnya. 

Arahan Jokowi itu ditanggapi serius oleh Nasir. Empat hari berselang, tepatnya pada Senin (30/9), Nasir memanggil 130 rektor dan perwakilan perguruan tinggi ke kantornya di Jalan Sudirman, Senayan, Jakarta. 

Dalam pertemuan itu, Nasir mengancam akan memberikan sanksi tegas kepada rektor dan dosen yang ikut-ikutan mendorong mahasiswa turun ke jalan memprotes revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU kontroversial lainnya.  

"Demo hak mahasiswa, silakan, tapi jangan dikerahkan. Akan lebih baik rektor mengajak diskusi atau dialog atau (mengajak) kampus (menggelar) kegiatan-kegiatan yang lebih produktif," ujar Nasir kepada wartawan.

Imbauan Nasir sejak bertemu Jokowi itu direspons para petinggi berbagai perguruan tinggi. Di Universitas Bina Nusantara (Binus), ancaman drop out (DO) sempat membayangi mahasiswa yang ikut unjuk rasa. Larangan aksi unjuk rasa juga diberlakukan di Universitas Pelita Harapan dan sejumlah kampus lainnya. 

Kepada Alinea.id, Alvin, salah satu mahasiswa Binus, mengatakan, kampusnya memang melarang aksi unjuk rasa dalam bentuk apa pun. Karena itu, ia mengaku tak heran mendengar ancaman Nasir kepada para petinggi universitas. 

"Sejak saya mahasiswa baru, ada semacam aturan tidak tertulis di Binus, (yakni) jika mahasiswa Binus itu tak boleh melibatkan diri dalam unjuk rasa, demonstrasi, dan semacamnya," ujarnya di sela aksi unjuk rasa di DPR, Senayan, Senin (30/9) lalu. 

Meskipun diimbau menghentikan unjuk rasa, Alvin dan rekan-rekannya nekat untuk tetap ikut meramaikan aksi protes mahasiswa di Senayan. Menurut dia, pihak rektorat sudah memberikan lampu hijau. Asalkan tertib, mahasiswa Binus diperbolehkan turun ke jalan. 

"Setelah ada kesepakatan antara mahasiswa dengan rektor yang dilakukan pada 28 September 2019, saya dan kawan-kawan berangkat ke Senayan," ujar salah satu rekan Alvin yang tidak mau menyebutkan namanya. 

Sejauh ini, upaya rezim Jokowi menggembosi gerakan mahasiswa tampaknya berhasil. Gelombang aksi mahasiswa mulai surut. Hingga kini, belum tersiar kabar kelompok mahasiswa akan menggelar aksi unjuk rasa susulan. Padahal, pembatalan revisi UU KPK--yang menjadi salah satu tuntutan utama mahasiswa--belum dipenuhi pemerintah. 

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Royyan A Dzakiy (tengah) di sela aksi unjuk rasa di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/9). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Para pentolan aksi unjuk rasa mahasiswa pun seolah 'tiarap'. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Atiatul Muqtadir, Presiden BEM Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah, dan Ketua BEM UI Manik Marganamahendra tak mau menanggapi permintaan wawancara Alinea.id terkait ancaman Nasir. 

Hanya Ketua BEM Institut Teknologi Bandung (ITB) Royyan A Dzakiy yang berani angkat suara. Royyan menyayangkan upaya Nasir mengebiri gerakan mahasiswa. Menurut dia, sikap Menteri Nasir merupakan bentuk teror kepada kaum intelek. 

"Sebab kebijakan ini bakal membatasi ruang gerak kaum akademisi untuk menunjukkan sikapnya dan menyampaikan idenya," ujar Royyan saat dihubungi, Selasa (1/10).

Kritik juga disuarakan mantan aktivis 1998 Ubedilah Badrun. Ia menyebut upaya pemerintah menggembosi gerakan mahasiswa dengan ancaman sanksi terhadap kampus tidak etis. Apalagi, aksi unjuk rasa diperbolehkan oleh konstitusi. 

"Menristekdikti mestinya memberi contoh bagaimana menyatakan pendapat melalui demonstrasi. Itu (unjuk rasa) kan dijamin UUD 1945. Bukan malah bertindak seperti pejabat kolonial yang pikirannya terlihat sangat polisionil. Sedikit-sedikit beri sanksi," ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (3/10).

Ubedilah pun mendesak Menristekdikti mencabut pernyataan yang ingin memberi sanksi kepada rektor dan dosen yang membiarkan mahasiswanya ikut aksi. "Sebab itu bertentangan dengan prinsip universitas yang memegang teguh academic freedom," imbuhnya.

Sejumlah mahasiswa terlibat kericuhan saat berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa (24/9). /Antara Foto

Ancaman DO pascaaksi

Sanksi terhadap mahasiswa atau pelajar yang ikut demonstrasi menolak RUU kontroversial bukan isapan jempol semata. Menurut catatan Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKD) per Jumat (4/10), setidaknya ada 40 laporan berkaitan ancaman terhadap hak pendidikan mahasiswa dan pelajar setelah rangkaian aksi di sejumlah daerah.

Ada empat kategori laporan. Pertama, pelajar dan mahasiswa yang melaporkan sudah di-DO gara-gara ikut aksi. Kedua, diancam di-DO atau sudah diberi sanksi. Ketiga, ditangkap polisi dan diintimidasi. Terakhir, ancaman lisan dan larangan-larangan. 

Anggota tim advokasi AMUKD Alghiffari Aqsa mengatakan, ada dua mahasiswa dan pelajar yang melaporkan sudah di-DO karena ikut aksi unjuk rasa. Sebanyak 15 lainnya mengaku terancam dikeluarkan dari kampus dan sekolahnya. 

"Ini masih kita verifikasi. Total ada 40 laporan yang masuk hari ini. Mungkin akan bertambah lagi (aduan) lewat form online," ujar Alghiffari saat dihubungi Alinea.id. 

Tak hanya disanksi pascaaksi, menurut Alghiffari, sebenarnya ada banyak mahasiswa dan pelajar yang ditangkap bahkan sebelum sempat mengikuti aksi unjuk rasa. 

"Cuma yang ngadu ke kita hanya 3 dan ada yang diancam dengan kekerasan seksual juga. Nah, itu yang mengadu adalah teman-temannya," jelas dia. 

Terkait larangan-larangan, Alghiffari mengatakan, ada 18 laporan yang masuk ke AMUKD. Namun, ia belum bisa mengungkapkan mahasiswa perguruan tinggi atau pelajar dari sekolah mana yang mengadukan hal itu. 

"Sampai dikirimin surat edaran (berisi larangan) dari pihak sekolah dan kampusnya. Tapi, kami masih tahap verifikasi," kata dia.

Total ada 1.365 mahasiswa dan pelajar yang ditangkap polisi dalam aksi unjuk rasa yang diwarnai kerusuhan di sekitar gedung DPR pada periode 23-30 September. Meskipun sebagian telah dipulangkan, hingga kini masih ada ratusan mahasiswa yang mendekam di bui. 

Meskipun tidak ada korban jiwa dari kalangan mahasiswa dan pelajar, tercatat ada satu warga yang tewas dalam aksi unjuk rasa di Jakarta. Korban meninggal bernama Maulana Suryadi alias Yadi. Sehari-hari, Yadi bekerja sebagai juru parkir di kawasan Tanah Abang. 

Tak hanya kepada civitas kampus, para pendukung aksi mahasiswa juga menjadi target 'pemberangusan'. Pekan lalu, musikus dan eks jurnalis Ananda Badudu sempat digiring ke Polda Metro Jaya. Di sana, Ananda dicecar terkait aktivitas penggalangan dana yang ia lakukan untuk membiayai aksi para mahasiswa di Gedung DPR.

Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9). /Antara Foto

Rawat gerakan mahasiswa 

Terpisah, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Petrus Heriyanto menilai tak sepatutnya rezim Jokowi dan pihak kampus melarang aksi unjuk rasa mahasiswa. Menurut dia, seharusnya pihak kampus mengapresiasi mahasiswanya yang aktif menyuarakan aspirasi membela kepentingan publik. 

Terlebih, aksi unjuk rasa mahasiswa kali ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan rezim pemerintah yang dipilih secara demokratis. Mahasiswa, lanjut dia, justru serempak bergerak karena ingin mengoreksi kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng. 

"Salah satunya tentang pelemahan KPK. Mahasiswa kan sedang tidak merencanakan tumbangnya rezim Jokowi? Bukan itu targetnya. Targetnya, Jokowi berani mengambil sikap tegas dengan memenuhi tuntutan publik, utamanya soal penetapan Perppu tentang KPK," jelas dia.  

Petrus juga menyebut kekhawatiran Menko Polhukam Wiranto aksi mahasiswa ditunggangi berlebihan. Menurut dia, aksi unjuk rasa mahasiswa jauh dari kepentingan politik. Itu setidaknya terlihat dari cara para mahasiswa mengemas isu secara kreatif dan jenaka. 

"Mereka itu sadar kalau mereka bisa ditunggangi. Makanya, mereka lebih waspada terhadap masuknya unsur lain. Isu mereka kemas agar tidak ada kekuatan politik lain masuk," kata dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arief Patramijaya mengatakan, tak sepatutnya gerakan mahasiswa digembosi di era demokrasi. Apalagi, aksi unjuk rasa digelar untuk mengawal kepentingan publik.

"Jangankan Kemenristekdikti, Presiden pun tak boleh mengancam dan menghalangi seperti itu," ujar aktivis 1998 itu. 

Selama dijalankan dengan damai, menurut Arief, seharusnya aksi unjuk rasa diperbolehkan. "Nah, sebaliknya, tindak tegas jika ada pelanggaran hukum, seperti merusak fasilitas umum atau menggunakan kekerasan dalam berunjuk rasa," tutur dia.

Senada, aktivis 98 Titok Hariyanto mengatakan, pemerintah dan kampus seharusnya merawat aktivisme politik mahasiswa. Pasalnya, tanpa gerakan mahasiswa, demokrasi di Indonesia tak akan mungkin bisa dewasa. 

"Dalam sejarah republik ini, mahasiswa selalu tampil sebagai kontrol ketika ada situasi yang mengganggu rasa keadilan di masyarakat. Catat itu," katanya.

Meskipun digelar secara spontan, Titok mengatakan, aksi unjuk rasa mahasiswa dari kalangan milenial itu efektif. Itu setidaknya terlihat dari keputusan Jokowi menunda pengesahan RUU KUHP. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan