Memetakan potensi oposisi Prabowo, siapa siap di luar pemerintah?
Pasangan calon (paslon) nomor 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, nyaris dipastikan memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sekalipun penghitungan resmi (real count) dan penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum dilakukan, tetapi beberapa partai politik (parpol) mulai melontarkan wacana atas sikapnya dalam pemerintahan berikutnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), misalnya. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini mengisyaratkan tidak akan bergabung dengan pemerintahan 2024-2029 meskipun Prabowo berniat merangkul lawan-lawannya pada pilpres.
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan, berada di luar pemerintahan bukanlah hal aneh bagi partainya. Dicontohkannya dengan pengalaman 2004-2014, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa.
"Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan [adalah] suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (15/2).
Berdasarkan hasil real count pada Sabtu (17/2), pukul 19.30 WIB, PDIP unggul dengan 8.971.754 suara (16,43%). Posisi berikutnya ditempati Golkar 7.993.543 suara (14,64%) dan Partai Gerindra 6.940.930 suara (12,71%).
Lalu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 6.000.472 suara (10,99%), Partai NasDem 4.937.927 suara (9,04%), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 4.087.032 suara (7,49%), Partai Demokrat 4.044.066 suara (7,41%), Partai Amanat Nasional (PAN) 3.727.557 suara (6,83%), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2.264.852 suara (4,15%). Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah 4%.
Kendati begitu, Hasto menyampaikan, PDIP hingga kini masih fokus mengawal hasil penghitungan dan rekapitulasi suara karena disinyalir terjadi kecurangan seperti 2009. "Kami akan analisis."
Sepatutnya oposisi
Terpisah, pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Ali Sahab, berharap parpol pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi oposisi Prabowo. Amin diusung NasDem, PKS, dan PKB, sedangkan Ganjar-Mahfud dijagokan PDIP dan PPP.
"Sebaiknya menjadi oposisi sebagai penyembang/kontrol pemerintah. Tapi, saya agak ragu dengan PDIP karena Jokowi berupaya bertemu Megawati," ucapnya kepada Alinea.id.
Ia menerangkan, keberadaan oposisi dalam demokrasi penting sebagai kontrol. Dengan begitu, kebijakan yang diambil pemerintah masih pada koridor yang benar dan berpihak pada rakyat.
"Tidak banyak parpol yang kuat jadi oposisi, tapi yang perlu dibangun sejak awal adalah sebuah perjuangan. Bukan apa yang kita dapat dari negara, tapi apa yang harus kita berikan kepada negara," tuturnya.
Ali mengakui bahwa yang memiliki pengalaman berada di luar pemerintahan hanya PDIP dan PKS. Pangkalnya, militansi belum tumbuh di kader selain kedua partai tersebut.
"Membangun militansi juga tidak mudah. Partai harus punya tokoh yang kharismatik dan ideologi yang jelas," ucapnya.
Kendati begitu, ia mengingatkan, langkah menjadi oposisi bisa berdampak positif terhadap parpol dari aspek elektoral selama konsisten menjalankan tugasnya melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat. "Ini bisa dilihat bagaimana PDIP berjaya ketika pasca-Orde Baru."
Potensi putar haluan
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komaruddin, juga meyakini tidak semua parpol pengusung Amin dan Ganjar bakal siap menjadi oposisi. Pangkalnya, hanya PDIP dan PKS yang teruji berada di luar kekuasaan.
"Sebenarnya yang paling kuat untuk bisa menjadi oposisi, ya, PDIP: punya pengalaman di Orde Baru [dan] di masa SBY [selama] 10 tahun. PDIP punya DNA beroposisi. PKS juga pernah menjadi oposisi," tuturnya kepada Alinea.id.
"Ya, [tetapi] PKS [peluangnya] masih 50:50, bisa bergabung pemerintah, bisa juga beroposisi. Nah, NasDem kemungikinan besar bergabung dengan 02. PKB kelihatannya juga bergabung dengan pemerintah. Jadi, saya melihat arah-arah koalisi partai seperti itu," sambungnya.
Ujang tidak bisa memastikan kapan peta oposisi dan pendukung pemerintahan Prabowo mantap. Sebab, semua tergantung dengan kompromi politik yang dilakukan masing-masing pihak.
"Semuanya masih cair, semua tergantung ketua umum masing-masing di koalisi yang kalah tersebut, baik 01 maupun 03. Semuanya masih banyak kemungikinan terkait skema koalisi itu. Tapi, DNA oposisi itu ada pada PDIP dan kemungikinan besar menjadi oposisi pada pemerintahan Prabowo," yakinnya.
Namun demikian, NasDem dan PKB diprediksi bakal berubah haluan menjadi pendukung pemerintahan mendekati pengumuman kabinet Prabowo. Ini sebagaimana pengalaman yang sebelumnya.
"Saat ini, mungkin juga sudah ditawari, didekati oleh kubu Prabowo. Tapi, soal kapan keputusan berputar haluan mendukung pemerintah, ya, tergantung mereka saja. Biasanya tarik-ulurnya menjelang persiapan penyusunan kabinet," katanya.
Dosen politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) itu melanjutkan, ada untung rugi di setiap keputusan mengubah arah dukungan partai, baik sedari awal maupun di tengah periode pemerintahan. Setidaknya akan lebih enak dan mendapatkan kue kekuasaan sedari dini jika putar haluan dilakukan sebelum Prabowo resmi memimpin. "Kalau di tengah jalan, kan, dianggap ketinggalan kereta."
Di sisi lain, Ujang berharap seluruh parpol pengusung Amin dan Ganjar berkomitmen berada di luar pemerintahan. Ini demi adanya koreksi terhadap jalannya roda pemerintahan Prabowo.
"Kita membutuhkan pemerintahan yang kuat. Di saat yang bersamaan, membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh. Oposisi yang kuat dan tangguh itu membutuhkan oposisi yang besar Dan banyak. Makanya, kalau 01 Dan 03 bergabung beroposisi, kan, bagus agar nanti ada check and balances kekuasaan," bebernya.