Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD, mengakui bahwa masalah pertanahan di Indonesia cukup signifikan. Pangkalnya, berada 10.000 aduan masyarakat yang direkapitulasi Kementeri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), sebanyak 2.587 laporan di antaranya tentang kasus tanah.
Menurutnya, adanya regulasi yang mengatur tentang ini hingga putusan pengadila berkekuatan hukum tetap tidak serta merta menjadikan masalah selesai. Pangkalnya, banyak aparat penegak hukum yang tidak mau melaksanakan tugasnya dengan berbagai alasan.
"Ada perintah dari Mahkamah Agung. itu IUP (izin usaha pertama) yang di sana dicabut. Ini vonis sudah inkrah. [Namun] satu setengah tahun tidak jalan. Ketika kita ngirim orang ke sana, petugasnya tiba-tiba dipindah. Yang baru ditanya, 'Kami tidak tahu'. Padahal, sudah terjadi eksplorasi [dan] eksploitasi terhadap tambang-tambang nikel kita, misalnya," bebernya dalam debat kedua cawapres di Jakarta, Minggu (21/1) malam.
Bagi Menko Polhukam ini, solusi untuk mengatasi masalah pertanahan harus melalui penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum. "Kalau jawabannya laksanakan aturan, itu normatif."
"Jadi, kalau aparat penegak hukum itu hanya orang paling atas yang bisa memerintahkan. Siapa pimpinan penegak hukum itu?" sambungnya.
Pelibatan masyarakat adat
Pada kesempatan sama, cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menawarkan solusi berbeda. Baginya, semua pihak terdampak, terutama masyarakat adat sekitar lokasi, harus dilibatkan. Pelibatan bahkan dilakukan jauh-jauh hari sebelum mengeksekusi sebuah kebijakan.
"Kita harus betul-betul punya prinsip tidak ada satu pun yang ditinggalkan dalam mengambil keputusan. Libatkan itu masyarakat adat," tegasnya.
"Menghormati masyarakat adat bukan memakai pakaian adat setahun sekali [saat] 17 Agustus, bukan! Menghormati masyarakat adat adalah memberikan ruang hak ulayat mereka, hak budaya mereka, hak spiritual mereka, hak dan kewenangan mereka menentukan cara membangun," imbuhnya.
Cak Imin, sapaannya, meyakini cara-cara penghormatan tersebut bisa berdampak positif. Setidaknya masalah terselesaikan dan proyek pemerintah berlanjut. "Ini bagian dari agar kita tidak salah jalan di dalam melaksanakan pembangunan."
Sementara itu, jawaban cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming, lebih seperti klarifikasi pemerintah. Putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, pemerintah hingga kini terus mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat.
Kendati begitu, ia mengklaim, pemerintah telah melakukan upaya untuk meminimalisasi konflik tanah, khususnya menyangkut masyarakat adat, dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial. "Ini sudah ada 1,5 juta hektare hutan adat yang sudah diakui [melalui penerbitan Perpres 28/2023]."
Meskipun demikian, Gibran membenarkan bahwa perlu dialog dengan tokoh adat hingga tokoh masyarakat sebagai solusi penyelesaian masalah tersebut. "Jadi, jangan sampai ketika ada pembangunan yang masif ataupun ada PSN (proyek strategis nasional) jangan sampai masyarakat adat ini tersingkirkan. Justru harus dirangkul dan diberikan manfaat yang sebesar-besarnya, terutama untuk masyarakat lokal, pengusaha lokal, UMKM lokal, dan termasuk masyarakat adat setempat," urainya.
Kebijakan berbelit-belit
Kepada Alinea.id, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, mengkritisi regulasi yang diterbitkan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tanah ulayat masyarakat adat. Pangkalnya, berbagai kebijakan yang ditelurkan masih berbelit-belit secara birokrasi.
Ia lantas menyinggung megaproyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dalam debat kedua cawapres, menurutnya, Gibran hanya menyinggung kelanjutan program, khususnya dari aspek ekonomi.
Arman berpandangan, visi misi yang diusung Prabowo Subianto-Gibran dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nihil perhatian terhadap masyarakat adat. Ini berbeda dengan kedua pesaingnya, Anies Baswedan-Cak Imin (Amin) maupun Ganjar Pranowo-Mahfud.
"Tidak satu pun yang memikirkan nasib masyarakat terdampak IKN," katanya saat dihubungi, Selasa (22/1).
Arman juga menyoroti klaim Gibran soal 1,5 juta ha hutan adat yang diakui pemerintah. Ia menegaskan, data tersebut keliru dan belum mengarah ke pesisir kecuali hutan adat.
"Data per Agustus 2013, sebanyak 221.648 hektare hutan adat yang tersebar di 123 komunitas masyarakat adat," ujarnya.
Arman menerangkan, solusi untuk menyelesaikan masalah ini dengan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat segera, yang sudah mandek hingga 15 tahun. Namun, perlu ada perbaikan dalam perumusannya lantaran masih sarat omong kosong administrasi. "Seluruh adiminstrasi harus mudah bagi masyarakat adat," ucapnya.