Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) nyaris bisa dipastikan kembali memenangkan pemilihan legislatif (pileg) untuk ketiga kalinya (hattrick). Pangkalnya, merujuk berbagai hasil, mengungguli partai-partai lain pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Berdasarkan laman pemilu2024.kpu.go.id pada Kamis (22/2), pukul 21.00 WIB, PDIP meraih 11.800.831 suara (16,8%). Lalu, Partai Golkar 10.629.288 suara (15,14%), Partai Gerindra 9.432.055 suara (13,43%), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 8.273.979 suara (11,78%).
Selanjutnya, Partai NasDem 6.615.724 suara (9,42%), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 5.260.972 suara (7,49%), Partai Demokrat 5.205.812 suara (7,41%), Partai Amanat Nasional (PAN) 4.874.722 suara (6,94%), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2.845.134 suara (4,05%). Jika hasil ini stabil hingga penetapan, maka DPR akan tetap diisi 9 partai/fraksi.
Namun, PDIP khawatir tidak otomatis menjadi ketua DPR 2024-2029. Ini seperti pengalaman pada 2014-2019 silam: pucuk pimpinan parlemen justru dikuasai paket Partai Golkar.
Hal tersebut memungkinkan terjadi mengingat revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bakal menjadi agenda utama Senayan setelah dilantik. Beleid tersebut turut mengatur tentang mekanisme penentuan pimpinan dewan.
Golkar pun mengklaim mempunyai peluang untuk kembali menjadi ketua DPR. Dalihnya, suara yang diperoleh pada Pileg 2024 merata di hampir seluruh wilayah.
"Ya, optimis [Golkar kembali jadi ketua DPR], kan, harus. Untuk saat ini, kan, suara-suara menunjukkan kami cukup baik. Artinya, tidak hanya dari perolehan, tapi juga dari sebaran," tutur Ketua DPP Golkar, Meutya Hafid, di Jakarta, pada Senin (19/2).
"Kalau untuk DPR-1, yang penting itu juga bukan jumlah suara, tapi sebaran kursi. Nah, Golkar ini cukup merata," sambungnya.
UU MD3 rentan diotak-atik
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyampaikan, ada semacam kebiasaan DPR untuk mengubah UU MD3 sejak 2014. Perubahan tersebut dilakukan sesuai kebutuhan sesaat.
Dicontohkannya dengan revisi UU MD3 pada 2018. Kala itu, perubahan dilakukan untuk memberikan 1 kursi pimpinan kepada PDIP, yang merupakan fraksi dengan perwakilan terbanyak di DPR. Namun, bukan kursi ketua lantaran mekanisme pemilihan pimpinan DPR sebelumnya berubah dari sistem proporsional ke paket. Apalagi, paket PDIP yang diajukan kalah suara saat pemilihan.
Yang tidak kalah heboh adalah revisi UU MD3 pada 2019. Perubahan ini dilakukan untuk mengakomodasi fraksi-fraksi di kursi pimpinan MPR. Jadi, semua fraksi dan kelompok anggota DPD memiliki satu perwakilan sehingga total pimpinan MPR menjadi gemuk (10 orang).
"Jadi, sejarah mencatat UU MD3 ini paling lunak, mudah diotak-atik sesuai dengan keinginan parpol (partai politik) yang mempunyai jatah kursi di parlemen," katanya kepada Alinea.id, Kamis (22/2).
Menerka konfigurasi pimpinan DPR
Lebih jauh, Lucius mengakui bahwa agenda pemilihan pimpinan DPR akan menjadi agenda para parpol ke depannya. Apalagi, komposisi kekuatan di legislatif mulai terbaca seiring adanya hasil hitung cepat (quick count) lembaga survei maupun hitung riil (real count) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas Pileg 2024.
"Perkembangan hasil pemilu akan sangat menentukan, apakah perlu merubah UU MD3 atau tidak," jelasnya.
Menurutnya, jika format paket kembali diterapkan, maka hasilnya ditentukan kesepakatan para elite ketika berkompromi dan lobi. Namun, tidak demikian jika sistem proporsional diterapkan, sebagaimana periode 2009-2014, lantaran kursi pimpinan diberikan kepada parpol sesuai dengan jumlah kursi yang diperoleh.
Lucius lantas membuat simulasi dengan perolehan hasil Pileg 2024 dan konstelasi politik sekarang. Katanya, kemungkinan akan ada 8 partai lolos parlemen jika PPP gagal menembus ambang batas 4%. Sementara itu, pimpinan terdiri dari 5 orang: 1 ketua dan 4 wakil ketua.
Jika terjadi demikian, maka ada peluang dari poros Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Amin (NasDem, PKB, dan PKS) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (PDIP) ataupun kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN) menarik satu parpol dari kubu seberang untuk menggenapi paket yang disodorkan. Dengan demikian, bakal ada negosiasi.
"Atau kalau mentok, mungkin saja sistem paket ke proporsional akan jadi jalan keluar. Tapi, itu artinya PDIP yang jadi ketua. Pasti koalisi pendukung Prabowo enggak mau terima begitu saja DPR dipimpin oposisi," jelasnya.