Sejumlah lembaga survei merilis riset skenario pilpres 2019. Riset-riset tersebut menunjukkan, ada polarisasi di dua tokoh besar Jokowi dan Prabowo Subianto sebagai peserta kontestasi tersebut. Kesimpulan itu diambil dengan mempertimbangkan angka elektabilitas dan popularitas tokoh. Lembaga survei umumnya juga membaca peta koalisi parpol dengan konsentrasi yang mengarah pada dua kutub utama. Hal itulah yang menutup rapat kemungkinan munculnya tokoh alternatif selain keduanya.
Jika muncul tokoh alternatif pun menurutnya tak lebih dari sekadar pemain gurem, yang miskin gagasan pembaruan. Realitas ini sangat disayangkan aktivis Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz. “Dialektika mengenai persoalan yang mestinya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah berjalan, dan bagi orang-orang yang berminat maju menjadi capres," katanya dalam diskusi Pencalonan Pilpres 2019 bertajuk Menantang Gagasan Anti Korupsi dan Demokrasi.
Dalam diskusi yang dihelat Selasa (6/3) di Jakarta ini, ia melihat sejumlah pihak telah ancang-ancang mempromosikan diri lewat publikasi yang bertebaran di ruang publik. Namun satu hal yang dicatat Donal, para bakal calon terlalu sibuk terjebak dalam politik identitas dan pelbagai tagline politik semata. Tujuannya agar popularitas mereka melejit hingga diminati oleh masyarakat. Sementara hal krusial seperti evaluasi dan rencana program yang konkrit kerap luput diprioritaskan.
Imbasnya, lanjut Donal, pemilu kita menjadi gersang dan hambar akan gagasan baru yang mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Seharusnya, momentum pemilu bisa melahirkan figur pemimpin terbaik yang dapat dipilih, tak sekadar jualan jargon dan popularitas saja. Calon pemimpin itu juga harus memiliki kapabilitas untuk membangun dan menegakkan hukum nasional. Yang terpenting, imbuhnya, mampu menjaga dan merawat demokrasi.
Donald menyarikan tiga kriteria ideal calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2019 mendatang. Pertama, ia harus sosok yang bersih, dibuktikan dari integritas dan rekam jejaknya di bidang hukum pada masa lalu. Sosok negarawan yang bersih dan berintegritas ini menjadi kriteria utama bagi mereka yang ingin berlaga di pilpres 2019.
"Saya melihat, sejumlah kandidat yang sudah mendeklarasikan diri sebagai cawapres, masih ada beban masa lalu yang tidak tuntas. Jangan sampai cawapres yang nanti mendampingi pemerintahan akan menjadi alat sandera baru bagi pemerintahan di periode mendatang," katanya.
Kedua, memiliki visi penegakan hukum dan demokrasi yang kuat dan konsisten. Visi penegakan hukum dan demokrasi tersebut bertujuan untuk memperkuat organ-organ dan regulasi demokratis sehingga mempersempit ketimpangan regulasi yang masih dihadapi hingga saat ini.
Donald mengemukakan, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, tahun pertama dihabiskan untuk konsolidasi politik, berikutnya konsolidasi di bidang ekonomi, terakhir memusatkan pada penegakan hukum. Namun konsolidasi hukum ini sendiri tidak berjalans ecara konsisten. Ini tampak dari maraknya OTT, satgas difungsikan secara kasuistik, dan tidak ada tindak lanjut berupa perbaikan lembaga itu sendiri.
Sangat jarang, lanjutnya, ada diskursus yang dibuka Jokowi perbaikan institusi demokrasi, termasuk diskusi dengan KPU, Bawaslu, DKPP, bahkan parpol. "Saya rasa jika hal ini tidak sampai ke Jokowi, harus ada lapis kedua yang ideologis untuk mengawal dan menyampaikan isu hukum dan demokrasi ini,” katanya.
Kriteria ketiga, orang yang berani melawan mafia hukum dan bisnis. Saat kondisi penegakan hukum terabaikan, maka mafia hukum dan bisnis akan leluasa bergerak. Untuk itulah dibutuhkan sosok pemberani yang mau membongkar kejahatan mereka.
"Saat isu ini terabaikan, akan banyak penyusup yang masuk ke dalamnya. Contoh lahan PJKAI yang terbengkalai, berapa banyak yang memanfaatkan lahan itu," kritiknya.
Ia tak menampik, tiga kriteria ideal itu memang sulit didapatkan pada figur politik dewasa ini. Namun itu bisa dijadikan pertimbangan bagi Jokowi maupun poros lain untuk mencari sosok pendamping.