Mencari formula terbaik pemilu serentak
Kematian 894 petugas penyelenggara pemilu ternyata tak membuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah desain keserentakan pemilu. Dalam putusannya saat menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), MK menyatakan pemilu serentak konstitusional.
"Mahkamah berpendirian bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang konstitusional adalah yang dilaksanakan secara serentak," kata hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (26/2) seperti dikutip dari Antara.
Dalam putusan itu, MK memaparkan ada enam desain pemilu serentak. Semua desain pemilu mewajibkan agar pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara bersamaan. Adapun pemilihan anggota DPRD, gubernur, serta wali kota dan bupati diperbolehkan digelar pada waktu berbeda.
Uji materi terkait keserentakan pemilihan umum dalam UU Pemilu itu diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Keruwetan Pemilu 2019 dan jatuhnya korban jiwa menjadi alasan Perludem mengajukan uji materi.
Meskipun ditolak, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, Perludem tetap mengapresiasi putusan MK. Menurut dia, di dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan fondasi dan batasan yang sangat kuat terhadap sistem penyelenggaraan pemilu serentak ke depan.
"Permohonan kami ditolak, tapi kami bahagia dalam putusan ini. Karena MK mengamini argumen dan permohonan Perludem," kata Titi saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (2/3).
Di dalam pertimbangan hukumnya, ada tiga hal utama yang diulas MK secara mendalam. Pertama, perdebatan dan maksud asli para pengubah UUD 1945 saat sejumlah amendemen terjadi pada periode 1999-2002.
Kedua, pendekatan penguatan sistem presidensial di dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Terakhir, pendalaman terhadap pertimbangan hukum MK pada putusan tentang pemilu serentak sebelumnya, yakni Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.
Berdasarkan pertimbangan hukum MK, menurut Titi, terdapat beberapa hal fundamental yang harus dipahami semua pemangku kepentingan. Pertama, MK menyatakan bahwa pemilu serentak lima kotak bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Kedua, MK tidak lagi membeda-bedakan rezim pemilihan, baik rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Perludem, lanjut Titi, menarik sejumlah kesimpulan yang mendasari amar putusan MK. Pertama, pemilu yang konstitusional di Indonesia adalah pemilu yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan eksekutif dengan pemilihan legislatif.
"Kedua, pembentuk undang-undang, DPR dan pemerintah, segera membuka kanal partisipasi masyarakat, dan seluruh kelompok kepentingan seluas-luasnya, untuk memberikan masukan, melakukan simulasi, dan menghitung segala kemungkinan dengan cermat dan hati-hati sebelum menentukan pilihan model pemilu serentak mana yang akan dipilih," katanya.
Dengan putusan itu, menurut Titi, perdebatan mengenai perlu atau tidaknya pemilu digelar serentak bergeser menjadi pembahasan mengenai model pemilu serentak mana yang lebih memperkuat kedaulatan rakyat, sistem presidensial, dan integritas demokrasi Indonesia ke depan.
"Pemilu DPRD, DPD dan presiden tidak boleh dilaksanakan terpisah. Misalnya ada PDI-P, Golkar, Demokrat, PAN yang mewacanakan ada pileg terpisah dengan pilpres. Maka, dengan putusan ini, diskursus itu berakhir. Memisahkan pemilu DPR, DPD, dan pemilu presiden tidak bisa lagi jadi pilihan pembuat undang-undang," ujar Titi.
Di Pemilu 2019, ada lima lembar surat suara yang harus diisi pemilih. Jika tiap tempat pemungutan suara (TPS) memiliki 300 daftar pemilih tetap (DPT), maka akan ada sekitar 1.500 surat suara yang harus dihitung. Itu belum termasuk mereka yang memakai formulir A5.
Berdasarkan hitung-hitungan itu, menurut Titi, MK juga mengamini bahwa pemilu serentak dengan lima surat suara tidak efektif dan efisien. Itu setidaknya terbukti dari besarnya jumlah surat suara yang tidak sah pada Pemilu 2019.
"Pemilu lima surat suara terbukti membuat pemilih kesulitan memberikan suara. Datanya bisa dilihat ini. Tadi disampaikan suara tidak sah kita di pemilu lalu sangat tinggi, DPD 19%, DPR 11%. Menandakan apa? Pemilih kesulitan," kata Titi.
Dianggap blunder
Pendapat berbeda diutarakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Hanura Gede Pasek Suardika. Menurut Pasek, putusan MK menggabungkan pileg dan pilpres merupakan sebuah blunder. Tak tertutup kemungkinan kematian penyelenggara pemilu kembali terulang pada 2024.
"Kemarin terbukti enam ratusan lebih korban pelaksana pemilu yang luar biasa. Kalau ada rasa kemanusiaan dan asas politik, tidak dilakukan pola sekarang,” ujar Pasek di Palembang seperti dikutip dari Antara, Minggu (1/3).
Pasek mengatakan tidak tepat jika pilpres serta pileg DPR dan DPD digabung dengan alasan memperkuat sistem presidensial. Pasalnya, rumpun eksekutif dan legislatif berbeda.
Ia pun mempertanyakan kepakaran para hakim MK ketika memutuskan hal itu. “Mereka (MK) juga belum pengalaman sebagai penyelenggara dan peserta, sehingga belum mengerti soal pemilu, hanya teori ketatanegaraan saja,” kata dia.
Lebih jauh, Pasek berharap pemerintah membahas lebih lanjut putusan MK tersebut. "Jadi, kembalikan saja kepada pembuat UU saja pilihan normanya bagaimana. Kami sarankan harusnya dikembalikan ke UU. Nanti putusan MK dibawa ke eksekutif dan legislatif dan kami minta rumpun legislatif dan eksekutif tetap terpisah," ujar dia.
Gayung pun bersambut. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa mengatakan DPR akan membahas putusan MK terkait desain pemilu. Apalagi, wacana untuk merevisi UU Pemilu sudah mulai digaungkan di Gedung DPR.
"Di antara enam itu mana yang paling memungkinkan untuk kita berlakukan di Indonesia untuk pemilu 2024 mendatang. Kan berbarengan dengan putusan MK, Komisi II juga mau merevisi UU Pemilu itu. Ya, nanti kita lihat," kata Saan kepada Alinea.id, Senin (2/3).
Saan tidak menampik jika Pemilu 2019 memiliki segudang masalah. Ia mencontohkan besarnya jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal saat dan sesudah menjalankan tugas-tugas terkait kepemiluan.
"Memang sih kita sebenarnya berharap ke depan itu pemilu tidak terlalu rumit, tidak terlalu njelimet, tidak terlalu makan energi yang banyak," katanya.
Lebih lanjut, Saan mengungkapkan, Komisi II sebenarnya ingin memisah pilpres dan pileg. Berkaca pada Pemilu 2019, menurut dia, publik cenderung lebih memperhatikan kontestasi pilpres ketimbang pileg.
"Padahal, dua-duanya sangat penting dalam konteks ke depan bangsa ini. Tapi, karena berbarengan dengan pileg, pilpresnya yang mendapat perhatian dari masyarakat. Pilegnya dianggap nomor dua aja sehingga warga tidak terlalu peduli," terangnya.
Pemerintah kaji putusan MK
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Bakhtiar mengatakan pemerintah bakal mengkaji putusan MK terkait keserentakan pemilu. Kemendagri juga akan menampung masukan dari masyakarat sipil.
"Minggu depan kami rencanakan akan mengundang rekan-rekan masyarakat sipil. Kemendagri mendengarkan masukan-masukan dan pikiran-pikiran rekan-rekan NGO (non government organization), aktivis dan akademisi terkait putusan MK tersebut," kata Bakhtiar kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (1/3).
Menurut Bakhtiar, persoalan-persoalan yang muncul dalam Pemilu 2019 juga menjadi kajiannya. Dari hasil kajian sementara, Kemendagri menemukan sejumlah faktor yang menyebabkan besarnya jumlah petugas pemilu yang meninggal, semisal syarat kesehatan petugas, kesiapan distribusi logistik, dan pemahaman petugas tentang aturan.
"(Petugas harus paham aturan) supaya tak stres jika diprotes kontestan, (lalu bagaimana) integritasnya, profesionalismenya, dukungan masyarakat sekitar TPS, desain surat suara, dan sarana dan prasarana TPS, beban kerja petugas, dan lain sebagainya," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Oscar Primadi mengatakan kesehatan petugas penyelenggara pemilu akan menjadi perhatian khusus kementeriannya. Kemenkes, kata dia, telah membangun kesepakatan dengan KPU untuk mencegah jatuhnya korban jiwa pada pemilu berikutnya.
"Kami betul-betul berkaca pada hal-hal dari pengalaman lalu. Tentunya ini langkah yang konkrit positif sehingga nanti kami betul-betul akan memberikan penguatan dari sisi layanan kesehatannya," kata Oscar.
Mencermati putusan MK, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengusulkan agar pemilu serentak dipisah, yakni serentak secara nasional untuk pilpres, pileg DPR, dan DPD, serta serentak untuk daerah, yakni pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan anggota DPRD.
"Karena pengalaman 2019 lalu jadi problem terkait keserentakannya. Crowded (pemilu dengan) lima kotak (surat suara) dan cukup menyulitkan bagi pemilih dan administratif penyelenggara," ujar Vri saat dihubungi Alinea.id, Senin (1/3) lalu.
Untuk keserentakan di daerah, Veri menganjurkan agar desain keserentakan dibagi berbasis kawasan, yakni regional barat, timur dan tengah. Menurut dia, penyelenggara dan pemilih bakal tetap kesulitan jika pemilu di daerah dilaksanakan pada waktu yang bersamaan.
"Ini bisa mengkhawatirkan bagi pemilih dan isu keamanan. Kalau pada 2024 ada pemilihan nasional, ya, paling tidak pada 2026, 2027, 2028 ada keserentakan daerah. Nah, 2029 bisa (pemilu serentak) nasional lagi," jelasnya.
Untuk mencegah isu keserentakan pemilu kembali menjadi polemik, Veri berharap desain pemilu dirinci dalam regulasi. "Sebaiknya DPR dan pemerintah segera mempertimbangkan kodifikasi UU pemilu. Kalau selama ini kodifikasinya di pemilu, maka sebaiknya digabungkan saja UU pemilu dan didesain kembali keserentakannya," tuturnya.