Suasana muram menyelimuti panggung rakyat bertajuk ‘Bongkaaar’ yang dihelat di Stadion Madya, Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (9/12) petang. Hitam seolah menjadi warna dominan dari acara pentas musik dan orasi kebangsaan yang diinisiasi Aliansi Selamatkan Demokrasi Indonesia (ASDI) itu.
Mayoritas pengunjung, baik tua dan muda, terlihat menggunakan kaus berwarna hitam dan gelap. Lorong yang menghubungkan pintu masuk dan panggung utama dibiarkan temaram. Di dinding lorong, terpampang potret sejumlah pejuang HAM yang hilang atau "dihilangkan" di masa lalu, semisal Wiji Thukul, Petrus Bima Anugerah, dan Elang Mulia Lesmana.
Di panggung utama, sebuah banner dibentangkan. Tertulis dalam warna putih dan merah: Korupsi menjadi-jadi, kasus HAM dipendam. Para tokoh bergantian berorasi, di antaranya ekonom Faisal Basri, pegiat HAM Ririn Sefsani, pakar politik Universitas Indonesia Ikrar Nusa Bakti, dan aktivis antikorupsi Danang Widoyoko.
Seniman, budayawan, dan musikus juga turut hadir memeriahkan acara itu, di antaranya Goenawan Mohammad, rapper Iwa K, musikus Young Lex, Pas Band, dan eks front man Dewa-19, Once Mekel. Ada pula putri Gus Dur, Inayah Wahid, mantan petinggi KPK Laode Muhammad Syarif, dan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolingi.
Dalam orasinya, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia (AII) Usman Hamid mengatakan acara itu digelar untuk memperingati kemunduran demokrasi dan kasus-kasus pelanggaran HAM di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Kita di sini berkumpul karena demokrasi kita mengalami regresi, mengalami represi. Kebebasan berekspresi sedang direpresi," kata Usman.
Sebagaimana para pengunjung lainnya, Usman mengenakan kaus hitam. Ia membawa bendera hitam bertuliskan 'Reformasi Dikorupsi'. Saat berada di panggung, putra Wiji Thukul, Fajar Merah, menemani mantan koordinator KontraS itu.
Ia lantas membeberkan kasus-kasus kriminalisasi yang terjadi di era Jokowi. "Kasus Haris Azhar, Budi Pego di Jawa Timur, Bang Long di Rempang, Mama Yosepha di Papua, dan terakhir adalah kasus Butet Kartaredjasa. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan sedang resah karena rakyatnya mulai bicara," kata dia.
Awal Desember lalu, Butet mengungkap dugaan intimidasi dalam pentas teater di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Alih-alih dilindungi, Butet malah dilaporkan ke polisi oleh Advokat Lingkar Nusantara. Butet disebut berbohong soal intimidasi yang dia alami.
Setelah Usman, giliran Fajar Merah beraksi. Ia membawakan puisi 'Momok Hiyong'. Fajar tampil mengenakan kaus putih. Rambutnya yang gondrong dibiarkan terurai.
"Momok hiyong si biang kerok, paling jago bikin ricuh. Kalau situasi keruh, jingkrak-jingkrak ia," ujar Fajar membacakan larik puisi karya sang ayah itu.
Puisi itu dibikin Wiji Thukul pada 1996. Isi puisi mengkritisi keras kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, serta pengorbanan rakyat dan lingkungan alam. Sekitar dua tahun setelah bikin puisi itu, Wiji Thukul hilang.
"Momok hiyong, momok hiyong. Apakah ia abadi dan tak bisa mati? Momok hiyong, momok hiyong. Berapa ember lagi darah yang ingin kau minum?" kata Fajar.
Ekonom Faisal Basri turut menyampaikan kegelisahannya. Ia menyebut Indonesia sudah rapuh. “Rumah Indonesia sudah dimasuki rayap dan kecoa yang menghancurkan demokrasi,” kata dia.
Faisal mengungatkan supaya rayap dan kecoa dibasmi sebelum Indonesia hancur. Ia mengajak generasi muda bergerak. "Kita tahu apa yang sedang terjadi. Anak muda kita tidak buta," ujar Faisal.