close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Masyarakat Indonesia cenderung permisif terhadap praktik politik dinasti, termasuk yang dilakukan Jokowi. Foto Antara/Widodo S. Jusuf
icon caption
Masyarakat Indonesia cenderung permisif terhadap praktik politik dinasti, termasuk yang dilakukan Jokowi. Foto Antara/Widodo S. Jusuf
Politik
Kamis, 30 November 2023 21:57

Menelusuri akar masyarakat permisif terhadap politik dinasti

Praktik politik dinasti merusak demokrasi karena kontrol terhadap kekuasaan melemah sehingga memperbesar risiko terjadinya korupsi.
swipe

Isu politik dinasti kembali mengemuka di Indonesia seiring lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka kesempatan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) cum Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ia pun menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.

Persoalannya bukan karena Putusan 90 terbit, tetapi proses pemeriksaan hingga pemutusan perkara tersebut keluar karena keterlibatan paman Gibran atau ipar Jokowi sekaligus Ketua MK kala itu, Anwar Usman.

Hal ini menyalahi Sapta Karsa Hutama, utamanya prinsip integritas, ketidakberpihakan, kecakapan dan kesetaraan, kepantasan dan kesopanan, serta independensi. Itu diperkuat dengan Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) 02/MKMK/L/11/2023 sehingga Anwar dicopot sebagai Ketua MK karena melakukan pelanggaran etik berat.

Presiden Jokowi membantah bahwa dirinya membangun dinasti. Kilahnya, rakyat yang menentukan siapa yang akan menentukan siapa yang akan memimpin kelak dalam pemilu.

"Baik itu di pilkada, di pemilihan wali kota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, itu semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat," tuturnya di Jakarta, 24 Oktober silam.

Jawaban senada juga diutarakan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. "Yang milih siapa?" tanya Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini, 21 Oktober.

Dalam kesempatan terpisah, Prabowo secara diplomatis mengakui praktik dinasti Jokowi. Namun, baginya, itu lazim dengan dalih dilakukan banyak pihak.

"Semua dinasti, Bung!" tegas Prabowo usai Rapat Pimpinan Nasional Partai Gerindra di Jakarta, 23 Oktober. "Kita jangan cari yang negatiflah, [tetapi] cari yang positif. Orang mau berbakti apa salahnya?"

Lantas, apa sebenarnya arti politik dinasti?

Politik dinasti

Menurut dosen politik Fisipol UGM sekaligus Koordinator Staf Khusus Presiden Jokowi, AGN Ari Dwipayana, politik dinasti atau dinasti politik adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Ia identik dengan kerajaan (monarki), yang kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak.

Ari menambahkan, tren politik kekerabatan adalah gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional: sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis daripada merit system. Karenanya, ia menyebut dinasti politik sebagai neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dengan strategi baru: dahulu, pewarisan ditunjuk langsung; sekarang, lewat jalur politik prosedural.

Dalam sebuah diskusi, pakar hukum hukum tata negara, Bivitri Susanti, menguraikan, praktik politik dinasti merusak demokrasi. Pangkalnya, kontrol terhadap kekuasan melemah.

Jika ini dibiarkan, ia mengingatkan, memperbesar risiko terjadinya korupsi hingga pembajakan demokrasi. "Nancy Bermeo (peneliti Nuffield College, University of Oxford, red) bilang, democratic backsliding, yaitu demokrasi yang dibajak, tetapi dengan cara yang demokrasi."

Sayangnya, isu dinasti dan risikonya tidak menjadi atensi publik bahkan cenderung permisif. Ini tecermin dari hasil riset oleh beberapa lembaga survei.

Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 27 Oktober-1 November 2023, sebanyak 42,9% responden menganggap politik dinasti lumrah. Hanya 39,2% yang khawatir, sedangkan yang tak khawatir 9,6% dan 8,3% responden lainnya tidak menjawab.

Jika dibandingkan dengan hasil riset Indikator sebelumnya, 16-20 Oktober, responden yang khawatir dengan dinasti politik 47,6%. Dengan demikian, ada penurunan sekitar 8,4%. Sikap responden lainnya: 33,7% biasa saja, 5,9% tidak mengkhawatirkan, dan 1,6% tidak menjawab.

Sementara itu, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 29 Oktober-5 November 2023 melaporkan, sebesar 38% responden tahu atau pernah mendengar pengertian politik dinasti. Sebanyak 62% lainnya menjawab tidak tahu.

Lalu, sebanyak 53% responden yang tahu politik dinasti sepakat bahwa praktik tersebut tidak adil karena mengurangi kesetaraan kesempatan setiap orang untuk menjadi pejabat pemerintahan. Sebesar 45% lainnya merespon sebaliknya dan 2% tidak menjawab.

Hasil riset SMRC itu juga mendapati temuan bahwa hanya 37% responden yang mengetahui Presiden Jokowi sedang membangun politik dinasti. Adapun 63% lainnya menjawab sebaliknya.

Survei Populi Center pada 29 Oktober-5 November juga menunjukkan hasil senada. Isinya, 62,1% responden bersikap menerima dan biasa saja, sedangkan 27,4% lainnya merespons sebaliknya atas fenomena politik dinasti.

Pangkal publik permisif

Pengamat komunikasi politik Universitas Telkom, Catur Nugroho, menerangkan, tidak "pekanya" publik terhadap politik dinasti ataupun dinasti politik karena frasa itu cukup sulit untuk dipahami masyarakat awam. Faktor kedua, sejarah panjang penerapan sistem monarki di Tanah Air.

"Sejarah politik di Indonesia yang selama berabad-berabad di bawah sistem monarki, menurut saya, juga cukup berpengaruh dalam pemikiran publik. Sehingga, tidak cukup mengganggu ketika ada keluarga atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan secara bersama-bersama atau turun-temurun," tuturnya kepada Alinea.id.

Catur melanjutkan, dinasti politik juga jamak dilakukan beberapa elite politik lokal dan nasional sebelum Jokowi. Sebab, konstitusi membuka ruang kebebasan bagi setiap warga negara untuk maju menjadi pemimpin.

"Sehingga, keluarga bupati, wali kota, gubernur, menteri, hingga presiden memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk bertarung dalam proses pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Suatu hal yang menjadi lumrah dalam sistem demokrasi di Indonesia ketika istri atau suami, anak, adik, dan menantu berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kekuasaan di level nasional maupun di daerah," terangnya.

Dicontohkannya dengan Presiden ke-6 RI juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), membiarkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memimpin partai berlogo partai bintang mercy tersebut. Putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, pun menjabat Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.

"Jalur yang dipilih SBY ini berbeda dengan yang dilakukan Jokowi sekarang karena SBY memilih jalur partai untuk mewariskan power kepada anak-anaknya, sedangkan Jokowi lebih memilih jalur eksekutif dengan dukungan pada anak-anak dan menantunya menduduki jabatan eksekutif dan partai politik," urainya.

Untuk meningkatkan literasi publik tentang isu ini, Catur menyarankan perubahan frasa dinasti politik atau politik dinasti menjadi "politik kekerabatan. Menurutnya, diksi tersebut bisa membuka cakrawala masyarakat.

"Ketika seseorang berkuasa, kemudian keluarga atau orang-orang di lingkaran terdekatnya ikut menjadi bagian kekuasaan atau menggantikan kedudukan keluarga sebelumnya di lembaga eksekutif maupun legislatif, maka politik kekerabatan terjadi," jelas Direktur Data Politik Indonesia itu.

Catur juga mendorong elite politik dan media memberikan teladan. "Tidak sekadar bermain dengan bahasa dan wacana."

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Afrizal Kurnia
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan