Menguji kesaktian janji tiga kartu baru Jokowi
Pada 24 Februari 2019, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo memperkenalkan tiga kartu baru saat pidato politik bertajuk “Optimis Indonesia Maju” pada Konvensi Rakyat di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat.
Kemudian, Jokowi kembali memperkenalkan kartu-kartu “ajaibnya” saat menghadiri acara Ngobrol Pintar (Ngopi) bersama ratusan generasi milenial di salah satu warung kopi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (1/3).
Tiga kartu baru tersebut kemudian dipamerkan lagi di depan masyarakat di acara makan bakso bersama “Gebyar Bakso Merah Putih Indonesia Bersatu” di Cikarang, Bekasi, Minggu (3/3). Tiga kartu baru tersebut, antara lain Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan Kartu Pra Kerja.
Tak efektif
Direktur Penelitian dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, tiga kartu anyar yang akan dikeluarkan pemerintah tak efektif.
Manfaat tiga kartu baru tersebut, menurut Piter, sudah ada dalam kartu-kartu yang dikeluarkan sebelumnya. Tiga kartu yang sudah ada, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Program Keluarga Harapan (PKH) itu, kata dia, yang harus dioptimalkan.
“Jangan bikin kartu baru terus, nanti yang lama dilupakan,” kata Piter saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (4/3).
Piter mengatakan, kebijakan meluncurkan Kartu Indonesia Pintar Kuliah itu tidak konsisten. Lantaran Indonesia sudah membangun banyak sekolah berbasis kejuruan (Sekolah Menengah Kejuruan/SMK).
“Orang enggak harus kuliah, karena kuliah itu kan pilihan,” ujar Piter.
Lebih lanjut, Piter mencontohkan pemerintah Singapura yang menggratiskan pendidikan hanya sampai tingkat SMA.
Kartu Indonesia Pintar Kuliah bertujuan memuluskan anak-anak yang sudah lulus SMA/SMK atau sederajat bisa meneruskan studi ke tingkat perguruan tinggi.
Senada dengan Piter, anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Lais Abid mengatakan kuliah merupakan kebutuhan sekunder. Menurut Lais, pemerintah perlu fokus pada pemenuhan hak pendidikan dasar dahulu.
“Dari yang sudah-sudah, banyak masalah ditambah lagi tak efektif. Itu saja yang dibenahi dulu,” kata Lais ketika dihubungi, Senin (4/3).
Pada 24 Februari 2019, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo memperkenalkan tiga kartu baru saat pidato politik bertajuk “Optimis Indonesia Maju” pada Konvensi Rakyat di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat.
Kemudian, Jokowi kembali memperkenalkan kartu-kartu “ajaibnya” saat menghadiri acara Ngobrol Pintar (Ngopi) bersama ratusan generasi milenial di salah satu warung kopi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (1/3).
Tiga kartu baru tersebut kemudian dipamerkan lagi di depan masyarakat di acara makan bakso bersama “Gebyar Bakso Merah Putih Indonesia Bersatu” di Cikarang, Bekasi, Minggu (3/3). Tiga kartu baru tersebut, antara lain Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan Kartu Pra Kerja.
Tak efektif
Direktur Penelitian dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, tiga kartu anyar yang akan dikeluarkan pemerintah tak efektif.
Manfaat tiga kartu baru tersebut, menurut Piter, sudah ada dalam kartu-kartu yang dikeluarkan sebelumnya. Tiga kartu yang sudah ada, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Program Keluarga Harapan (PKH) itu, kata dia, yang harus dioptimalkan.
“Jangan bikin kartu baru terus, nanti yang lama dilupakan,” kata Piter saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (4/3).
Piter mengatakan, kebijakan meluncurkan Kartu Indonesia Pintar Kuliah itu tidak konsisten. Lantaran Indonesia sudah membangun banyak sekolah berbasis kejuruan (Sekolah Menengah Kejuruan/SMK).
“Orang enggak harus kuliah, karena kuliah itu kan pilihan,” ujar Piter.
Lebih lanjut, Piter mencontohkan pemerintah Singapura yang menggratiskan pendidikan hanya sampai tingkat SMA.
Kartu Indonesia Pintar Kuliah bertujuan memuluskan anak-anak yang sudah lulus SMA/SMK atau sederajat bisa meneruskan studi ke tingkat perguruan tinggi.
Senada dengan Piter, anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Lais Abid mengatakan kuliah merupakan kebutuhan sekunder. Menurut Lais, pemerintah perlu fokus pada pemenuhan hak pendidikan dasar dahulu.
“Dari yang sudah-sudah, banyak masalah ditambah lagi tak efektif. Itu saja yang dibenahi dulu,” kata Lais ketika dihubungi, Senin (4/3).
Masih banyak masalah
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio berpendapat, peluncuran tiga kartu baru itu merupakan janji kampanye yang efektif untuk pemilu. Namun Agus mengatakan, kartu-kartu tersebut sebaiknya diintegrasikan ke dalam satu kartu.
“(Diintegrasikan ke dalam) KTP misalnya,” katanya ketika dihubungi, Senin (4/3).
Sementara itu, Lais berpendapat implementasi tiga kartu “sakti” yang sudah dikeluarkan Presiden Jokowi masih punya masalah. Lais mengatakan, sebaiknya Jokowi membenahi tata kelola pelaksanaan program dan manajemen jaminan sosial yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Dari hasil penelitian ICW, sebut Lais, di Kota Medan, Kota Yogyakarta, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Kupang, KIP masih kurang efektif. Data ICW itu, kata Lais, menunjukkan sebanyak 41,9% warga miskin masih belum terdaftar sebagai penerima KIP.
Lais berpendapat, pemerintah menggunakan data keluarga miskin yang tak akurat. Data itu, kata Lais, sumbernya dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang kemudian diteruskan kepada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kementerian Sosial.
Selain itu, lanjut Lais, pemerintah juga kurang melakukan sosialisasi terhadap KIP. Dari penelitian ICW, menurutnya, responden menyatakan anak mereka tidak terdaftar KIP karena tidak tahu bagaimana cara mendaftarkan anak mereka untuk mengikuti program ini.
“Tidak banyak sosialisasi tentang KIP ini kepada masyarakat miskin, sehingga banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan KIP karena tidak tahu,” tutur Lais.
Hasil survei ICW tersebut juga menyatakan, akibat minim sosialisasi, banyak masyarakat miskin penerima KIP hanya menerima fisik kartunya saja, tetapi tidak mengurus pencairan uangnya. Mereka, kata Lais, tidak mengerti bagaimana mencairkan uangnya, karena tidak tahu cara mencairkan dan tidak tahu uangnya ada atau tidak.
“Akhirnya sampai satu tahun tidak dicairkan,” kata Lais.
Dari pandangan Lais, potensi penyelewengan dana KIP terjadi di masyarakat penerima, sehingga aspek korupsi sulit untuk disimpulkan.
Dihubungi secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menuturkan, pemerintah tak perlu membuat program baru melalui kartu-kartu tersebut. Namun, memperbaiki program yang sudah ada.
“Kan ada bidik misi, fokus perbaiki itu saja dulu. Bisa besarannya dinaikkan jadi Rp1 juta untuk biaya hidup, dan menjangkau di perguruan tinggi swasta juga,” ucap Darmaningtyas saat dihubungi, Senin (4/3).
Benahi vokasi
Selain menjanjikan Kartu Indonesia Pintar Kuliah, Jokowi juga memamerkan Kartu Pra Kerja. Kartu ini ditujukan untuk lulusan sekolah yang mencari kerja, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pekerja yang tengah mencari pekerjaan baru. Kartu Pra Kerja dijanjikan berfungsi untuk memberi pelatihan peningkatan keterampilan.
Pemegang Kartu Pra Kerja dijanjikan tak hanya pelatihan di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Bila pemegang kartu tak juga dapat pekerjaan, maka pemerintah akan memberikan honor sebagai bekal hidup.
Piter Abdullah melihat, rencana peluncuran Kartu Pra Kerja itu berlebihan, dan tidak efektif. Kartu tersebut, kata Piter, akan tumpang tindih dengan program vokasi—pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi atau keahlian—yang tengah dijalankan pemerintah.
“Yang dibutuhkan adalah pengembangan dan peningkatan keterampilan vokasi,” kata Piter.
Sedangkan Darmaningtyas memandang, program vokasi hanyalah omong kosong, bila tidak ada persyaratan perbaikan rekrutmen dari perekrut kerja.
“Jika rekrutmen masih mengandalkan ijazah, maka vokasi tak akan berkembang,” ujar penulis buku Pendidikan yang Memiskinkan (2015) ini.
Menurutnya, orang-orang jadi cenderung akan masuk ke universitas-universitas ternama, yang mudah diterima kerja di perusahaan.
Disinggung soal honor untuk pencari kerja, Piter mengatakan bila hal itu tak akan membebani perekonomian negara. Menurut dia, sepanjang program itu sudah dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tak akan ada beban pada keuangan negara.
“Saya tak melihat itu (honor pencari kerja) sebagai beban. Pemerintah pasti sudah punya hitung-hitungan,” tutur Piter.
Sedangkan disinggung tentang Kartu Sembako Murah, Piter kurang setuju. Alasannya, menurut dia, kartu tersebut sedikit-banyak overlap dengan Program Keluarga Harapan.
"Kenapa tidak Program Keluarga Harapan saja yang dimaksimalkan?" kata dia.
Selain itu, menurut Piter, program Kartu Sembako Murah akan sangat mudah dijadikan bahan politik untuk menuduh pemerintah memanfaatkan kartu ini sebagai kepentingan pemilu. Lebih lanjut, dia mengatakan, program bantuan sosial sangat membantu pengentasan kemiskinan. Namun, pengentasan yang terjadi tidak struktural.
"Paling menjadikan mereka tidak lagi miskin tapi masih mendekati miskin," ucap Piter.