Pilpres 2019 kemungkinan tak jauh berbeda dengan kontestasi pilpres lima tahun sebelumnya. Survei terbaru yang digelar Poltracking pada 27 Januari hingga 3 Februari 2018 mengonfirmasi hal ini. “Hanya Jokowi dan Prabowo yang berpotensi meramaikan Pilpres 2019, karena elektabilitas keduanya cukup tinggi,” terang peneliti Poltracking, Faisal A. Kamil, Senin (19/2).
Tren elektabilitas dua tokoh tersebut tak jauh berbeda dengan hasil survei lembaga ini pada November 2017. Elektabilitas Ketua Umum Gerindra, Prabowo berkisar di angka 20%-33%, sedangkan elektabilitas Jokowi berada di kisaran 45%-57%. Angka ini diperoleh setelah Poltracking empat kali menggunakan simulasi tiga nama bakal capres.
Hasil survei memang menunjukkan ada sedikit kenaikan elektabilitas pada dua bakal capres. Alhasil, sejumlah nama lain yang masuk dalam bursa pencalonan, angkanya terpaut sangat signifikan. “Wajah lama dan tokoh baru yang muncul dalam dinamika elektoral tiga tahun terakhir, angka elektabilitasnya tak lebih dari 5%,” ungkap Direktur Eksekutif Poltracking, Hanta Yudha, dalam rilisnya.
Sementara tren elektabilitas Jokowi yang cenderung menguat, tak lantas menjadikan Jokowi berada di posisi aman. “Meski ada selisih elektabilitas Jokowi-Prabowo sekitar 20%, capres incumbent masih belum aman karena elektabilitasnya masih di bawah 60%,” imbuh Hanta lagi.
Dari segi popularitas, menurut Faisal, Jokowi masih berada di posisi pucuk yakni di atas 90%. Namun elektabilitasnya tak mencapai angka tersebut. Hal ini disebabkan ada sejumlah isu utama yang menjegal langkah Jokowi, seperti isu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. “Jika Jokowi tak bisa menyelesaikan problem-problem terkait isu itu, saya khawatir ia bisa mudah dijegal lawan politiknya,” ungkap Faisal.
Belum lagi, Ketua Umum Demokrat SBY yang digadang-gadang sebagai ‘king maker’ belum menentukan sikap akan merapat ke kubu manapun. Ada tiga skenario pilpres 2019, di mana SBY berada di poros tengah yang akan menentukan kekuatan koalisi capres-cawapres. Simulasi pertama, pilpres 2019 akan diramaikan dengan tiga poros, yakni poros Jokowi, Prabowo, dan SBY. Simulasi ini sangat mungkin jika SBY enggan berkongsi dengan pihak manapun dan memilih menggandeng partai oposisi kelas menengah.
Simulasi kedua, SBY merapat ke Jokowi bersama-sama dengan PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Hanura, Nasdem, dan PAN. Untuk PAN dan PKB, masih samar keberpihakan dan sikap politik mereka, sehingga peta koalisi parpol masih bisa bergeser. “Tapi intinya di simulasi ini, besar kemungkinan SBY akan mengetengahkan nama anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Dari survei Poltracking, jika SBY berpasangan dengan AHY elektabilitas AHY jadi 13,9%. Jika dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, elektabilitas AHY mencapai 15,85%,” ujar Faisal.
Karena angka elektabilitas lebih tinggi, maka simulasi ketiga, SBY mungkin akan merapat ke Prabowo bersama dengan Gerindra dan PKS. Koalisi tiga partai mengusung Prabowo sebagai capres dan AHY sebagai cawapres sangat memungkinkan. “Jika dilihat lebih jauh, jumlah kursi Gerindra dan PKS sebesar 20,18% sudah cukup mencapai presidential threshold sebesar 20%. Apalagi ditambah kekuatan Demokrat, ini akan jadi nilai lebih bagi kubu ini,” jelas Hanta.
Mengemukanya dua nama, Jokowi dan Prabowo menurut Faisal disebabkan karena beberapa faktor. Preferensi politik publik terhadap kedua calon bergantung dari rekam jejak, agama, gender, usia, asal daerah, dan suku. “Namun yang menonjol tentu rekam jejak masing-masing capres. Kita tahu ingatan publik masih lekat dengan nama Jokowi dan Prabowo yang pernah bertanding di pilpres 2014. Belum lagi, figur keduanya juga relatif kuat. Jokowi dicitrakan sebagai sosok merakyat yang kinerjanya dinilai memuaskan oleh sekitar 70% responden. Prabowo pun kuat karena ia pernah mencalonkan diri sebagai capres dan dekat dengan kantung-kantung Islam,” urai Faisal.
Survei Poltracking yang melibatkan 1.200 responden ini juga menyarikan sejumlah nama yang masuk dalam bursa capres-cawapres. Ditinjau dari elektabilitas, Jokowi tertinggi mencapai 57,9% saat dihadapkan dengan Prabowo 31,5%, dan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo 2,3%.