Pembuktian dugaan praktik mahar politik yang belum lama ini didengungkan beberapa kalangan, urung menemui jalan terang. Puncaknya, saat Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan bahwa penyelidikan beberapa kasus dihentikan. Alasannya, para pelapor dinilai Bawaslu tidak kooperatif memberikan bukti maupun keterangan resmi.
Mahar politik bukan hal baru dalam peta perpolitikan Indonesia. Dalam buku ‘Politik Uang di Indonesia’ (2015) yang diedit Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, praktik ini adalah bagian konsekuensi logis dari pelanggengan kekuasaan di era demokrasi baru.
“Hampir semua parpol melakukan hal sama, kalau tak ingin hegemoninya di lingkaran kekuasaan tergeser,” tegas dosen Ilmu Komunikasi UGM, Dodi Ambardi saat berbincang dengan Alinea, Jumat (2/2).
Menurut Dodi, fenomena itu lahir akibat tak ada sumber dana memadai untuk membiayai kegiatan parpol, mulai biaya kantor, personalia, kampanye, dan biaya tak terduga lainnya.
“Belum lagi, tak ada kasus parpol yang mampu menarik iuran dari anggota, sebagaimana parpol di Eropa,” jelasnya.
Di Indonesia, mahar berkembang ke arah buruk lantaran ketiadaan sistem pertanggungjawaban organisasi. Alhasil, mahar akhirnya dikuasai segelintir elit untuk kepentingan yang tak kalah berbaur, baik urusan partai atau pribadi. Ini membenarkan tesis Cornelis Lay (1994) yang menyebutkan besaran anggaran belanja parpol yang membengkak, memaksa mereka mencari sumber pendanaan baik budgeter maupun nonbudgeter. Dana nonbudgeter digalang kader parpol yang umumnya tergabung dalam kartel, yang punya akses langsung ke sumber dana negara baik di Kementerian, BUMN, dan parlemen.
Di luar itu, pendanaan bisa dari rente manapun, termasuk dari para kader yang memiliki kepentingan untuk maju di pesta demokrasi. Gejala pendanaan ini menguat, terutama pasca munculnya nyanyian sumbang dari sejumlah bakal calon kepala daerah, yang gagal diusung partai politik (parpol), seperti La Nyala Matalitti, Dedi Mulyadi, Hadi Prajoko, Siswandi, John Krisli, dan sederet nama lain.
ICW mencatat, pengakuan mereka jadi indikasi, parpol terburu-buru mencari sumber dana dari Pilkada 2018 untuk pendanaan Pemilu Presiden 2019. “Karena waktunya mepet, sedangkan parpol terus dikejar target,”tulis ICW di laman mereka.
Pengakuan mereka memang dinilai ICW, mampu jadi angin segar untuk membongkar praktik yang menggurita ini. Namun, Bawaslu sendiri gagal menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Kegagalan Bawaslu menurut analisis Dodi sangat mungkin terjadi, karena hampir semua parpol memberlakukan praktik mahar politik secara masif. “Kalau satu disemprit, maka seluruh parpol akan kena. Jadi secara kolektif, parpol akan berkilah secara seragam untuk menutupi urusan mahar ini,” ungkap Direktur Lembaga Survei Indonesia tersebut.
Bawaslu, lanjutnya, tentu tak mau mengorbankan reputasinya, karena dianggap tebang pilih kasus. Analisis tersebut dibantah Komisioner Bawaslu Fritz Siregar. Dia menyebut kegagalan itu muncul semata-mata akibat minimnya bukti yang bisa dijadikan alat untuk mengurai benang kusut praktik tersebut di sejumlah parpol.
“Apalagi untuk beberapa kasus spesifik, para pelapor justru tidak kooperatif dengan upaya penyelidikan. La Nyala misalnya, tiga kali dipanggil, tapi tak kunjung memenuhi undangan tersebut,” ungkapnya seperti dilansir dari Antara.
Hal senada disampaikan Komisioner Bawaslu lainnya, M Afiffudin. “Ini jadi isu krusial, tapi Bawaslu gagal mengungkap karena memang ketiadaan bukti yang kuat dan sulitnya meminta keterangan resmi dari para pelapor,” tuturnya.
Namun, mantan koordinator nasional pengurus Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) itu membantah Bawaslu gentar menindaklanjuti proses penyelidikan. Sebaliknya, dia menyebut pihaknya sudah bergerak dalam mencari bukti dugaan mahar politik.
“Pengalaman memanggil orang-orang seperti La Nyala, Siswandi justru baru dilakukan kali ini. Bawaslu tak mungkin bergerak tanpa bukti. Pencarian fakta lanjutan pun diatur dengan mekanisme yang harus kami taati,” jelasnya.
Dia menuturkan, penyelesaian ini harus dilakukan atas dasar kemauan bersama. Afif juga menuding bahwa para pelapor tak punya political will untuk membuka tabir mahar politik. “Kami tak mau suara sumbang dari pelapor hanya jadi noise di media saja, karena informasi yang disampaikan langsung bisa jadi pembuka peta jalan lanjutan,” pungkasnya.